Putin: Ekonomi Rusia Stabil

Putin sebut Rusia telah bertahan dari tekanan dan situasi ekonomi stabil

Sergei Chirikov/Pool Photo via AP
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, situasi perekonomian di negaranya stabil.
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, situasi perekonomian di negaranya stabil. Nilai tukar mata uang rubel juga kembali ke level seperti awal Februari, yakni sebelum Rusia menggelar operasi militer khusus di Ukraina.

“Rusia telah bertahan dari tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini. Situasinya stabil, nilai tukar rubel telah kembali ke level paruh pertama Februari dan ditentukan oleh keseimbangan pembayaran yang kuat secara objektif,” kata Putin pada Senin (18/4/2022), dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.

Dia mengungkapkan, surplus neraca pembayaran berjalan di Rusia melebihi 58 miliar dolar AS di kuartal pertama. "Ini mencapai titik tertinggi baru sepanjang masa," ucap Putin seraya menambahkan bahwa uang tunai valuta asing kembali ke sistem perbankan negara dan volume deposito warga meningkat.

Menurut Putin, inflasi di Rusia pun stabil saat ini. "Saya secara terpisah akan mencatat masalah inflasi. Sekarang stabil," ujarnya.

Dia menjelaskan harga konsumen tumbuh terutama selama 1,5 bulan terakhir, yakni sebesar 9,4 persen. Sementara secara tahunan pada 8 April inflasi sebesar 17,5 persen. Putin mengatakan stabilitas keuangan jangka panjang Rusia baik di tingkat federal maupun regional harus tetap menjadi tugas utama otoritas negara. Ia mencatat rekor tingkat surplus sistem anggaran untuk kuartal pertama tahun ini.

"Keputusan tambahan diperlukan di sini, dan perlu untuk menerapkannya tepat pada saat ekonomi paling membutuhkannya," ucapnya.

Putin mengungkapkan, Bank Sentral Rusia juga mulai menurunkan suku bunga. “Ini tentunya akan membuat kredit dalam perekonomian lebih murah,” ujarnya.

Sejak melancarkan serangan militer ke Ukraina, Rusia sudah dijatuhi sanksi ekonomi berlapis oleh Barat. Banyak perusahaan asing, terutama dari Eropa dan Amerika, yang memutuskan menangguhkan atau bahkan menghentikan bisnisnya di Rusia.


Baca Juga

Amerika Serikat (AS) bersama Uni Eropa dan Inggris juga mengeluarkan Rusia dari Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication atau SWIFT. Ia merupakan jaringan keamanan tinggi yang menghubungkan ribuan lembaga keuangan di seluruh dunia. SWIFT memungkinkan bank untuk memindahkan uang dengan cepat dan aman, mendukung triliunan dolar dalam arus perdagangan serta investasi. Dikeluarkannya Rusia dari SWIFT dianggap sebagai hukuman ekonomi terberat karena dengan sanksi itu, Moskow menjadi lebih terisolasi secara ekonomi dibandingkan sebelumnya.

Tak berhenti di sana, sejumlah negara Barat pun menerapkan larangan ekspor-impor dari dan ke Rusia. Saat ini Eropa sedang berusaha menyetop ketergantungan mereka pada pasokan energi Rusia. Serangkaian sanksi Barat sempat membuat nilai rubel merosot di hadapan dolar AS.

Salah satu upaya Rusia mengonter rentetan sanksi Barat adalah dengan mewajibkan pembayaran menggunakan mata uang rubel untuk pembelian gas mereka. Pada Maret lalu, Moskow telah mengusulkan agar pembeli gas Rusia membuka rekening di Gazprombank. Pembayaran menggunakan euro atau dolar akan dikonversi ke rubel.

Pada 1 April, Gazprom secara resmi mengumumkan, terhitung sejak hari itu, setiap pembelian dan pengiriman gas dari mereka harus dibayar menggunakan mata uang rubel. Mengingat ketergantungan pasokan dan kontrak yang telah dijalin, Eropa mengkritik keputusan tersebut. Mereka menuding Moskow telah melanggar perjanjian kontrak awal.

 
Berita Terpopuler