Kasus Paniai: Tersangka dari Kalangan TNI Dirahasiakan, Penyidikannya Dinilai Janggal

Kejagung menetapkan tersangka kasus pelanggaran HAM berat Paniai berinisial IS.

ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan melakukan Aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka, Jakarta. Aksi Kamisan itu menuntut pembuktian pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang akan mengambil langkah strategis untuk mempercepat penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Flori Sidebang, Rizky Suryarandika

Baca Juga

Kejaksaan Agung (Kejakgung) akhirnya menetapkan tersangka pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam peristiwa Paniai Berdarah di Provinsi Papua pada 2014. Penetapan tersangka tersebut, dilakukan oleh tim penyidik pelanggaran HAM berat pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Jumat (1/4/2022).

“Tim penyidikan pelanggaran HAM berat pada Jampidsus, menetapkan satu orang tersangka, yaitu IS terkait dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Paniai 2014,” begitu kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Ketut Sumedana, dalam siaran pers yang diterima wartawan di Jakarta, Jumat.

Ketut menolak menyebutkan identitas lengkap dari tersangka IS ini. Namun, ketika ditanya apakah IS adalah anggota, atau personel militer, Tentara Nasional Indonesia (TNI) Ketut membenarkan.

“Ya. Benar (anggota TNI),” ujar dia.

Akan tetapi, Ketut menolak menjawab, dan merahasiakan strata kepangkatan, maupun status keaktifan tersangka IS saat ini di militer. Ketut hanya menerangkan, tersangka IS bertanggung jawab atas jatuhnya empat korban meninggal dunia, dan 21 orang lainnya luka-luka dalam peristiwa Paniai Berdarah 2014 lalu.     

Mengacu rilis resmi, tim penyidik, menjerat IS dengan sangkaan Pasal 42 ayat (1) juncto Pasal 9 huruf a, juncto Pasal 7 huruf b UU 26/200 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Penyidik juga menjerat tersangka IS, dengan sangkaan Pasal 40 juncto Pasal 9 huruf h, juncto Pasal 7 huruf b UU Pengadilan HAM. Pasal-pasal tersebut mengatur soal peran pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan, dan kejahatan terhadap kemanusian, serta mengatur soal komandan militer dalam pengendalian pasukan. 

“Peristiwa pelangaran HAM yang berat terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komandan militer yang secara de jure dan atau de facto berada di bawah kekuasaan pengendaliannya, serta tidak mencegah, atau menghentikan perbuatan pasukannya dan juga tidak menyerahkan pasukannya sebagai pelaku (pembunuhan, dan kejahatan terhadap kemanusiaan),” begitu kata Ketut.

Pasal-pasal yang disangkakan kepada tersangka IS tersebut, serta mengatur soal ancaman penjara selam 20 tahun, atau paling ringan 10 tahun penjara.

Peristiwa Paniai Berdarah, terjadi pada 2014. Peristiwa itu, terkait dengan aksi personel militer, dan kepolisian saat pembubaran paksa aksi unjukrasa dan protes masyarakat Paniai, di Polsek, dan Koramil Paniai, pada 7-8 Desember 2014.

Aksi unjukrasa tersebut, berujung dengan pembubaran paksa dengan menggunakan peluru tajam. Lima orang tewas dalam pembubaran paksa itu.

Pada 2020, hasil penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), memutuskan peristiwa tersebut, sebagai bentuk dari pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat negara. Kasus Paniai Berdarah ini, sempat menjadi atensi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada peringatan Hari HAM 2021, dengan memerintahkan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat tersebut.

Jaksa Agung, pun memastikan untuk membuka kembali kasus itu dengan memerintahkan Jampidsus melakukan penyidikan. Selama penyidikan berjalan, tim di Jampidsus, sudah memeriksa total sebanyak 60-an orang saksi. Para saksi tersebut, terdiri dari anggota Polri, maupun anggota TNI, serta masyarakat sipil yang terlibat, dan mengetahui peristiwa Paniai Berdarah itu.

 

 

Sebelumnya, KontraS, YLBHI, Amnesty International Indonesia dan keluarga korban kasus Paniai (7 – 8 Desember 2014) menyoroti sejumlah kejanggalan dalam proses penyidikan pelanggaran HAM berat kasus Paniai oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). 

Berdasarkan sedikitnya delapan siaran pers Kejagung sejak Desember 2021 hingga Maret 2022, ada 61 orang yang terdiri dari warga sipil dan anggota TNI-POLRI telah diperiksa oleh para penyidik Kejagung. Proses ini berlangsung setidaknya di tiga lokasi yakni Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Papua dan Sumatera Barat. 

"Namun berdasarkan informasi kredibel yang kami terima, sampai hari ini tidak ada komunikasi dari pihak Kejaksaan Agung kepada keluarga korban maupun para pendamping proses advokasi. Padahal dalam Sistem Peradilan Pidana termasuk untuk pelanggaran HAM berat, Jaksa merupakan sosok pembela dan pendamping korban untuk bisa meraih keadilan dan hak-hak lainnya," tulis keterangan resmi KontraS dikutip Republika pada Selasa (29/3/2022). 

KontraS juga menyebut Kejagung belum menggunakan kewenangannya untuk mengangkat penyidik ad-hoc dari unsur masyarakat sipil sebagaimana diakomodir dalam Pasal 21 ayat (3) UU Pengadilan HAM. Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Trioria Pretty menjelaskan, keterlibatan penyidik sipil penting untuk membuat penyidikan partisipatif dan independen guna bisa mendapatkan dan menggunakan bukti sebaik-baiknya dalam proses peradilan yang tengah berlangsung.

Sebab, jelas dia, jaksa merupakan sosok pembela dan pendamping korban untuk bisa meraih keadilan dan hak-hak lainnya.

 

"Tentunya masyarakat sipil yang dilibatkan ialah yang memang telah terbukti memiliki rekam jejak bekerja untuk HAM dan memiliki kepedulian terhadap korban (kasus Paniai)," kata Pretty. 

KontraS pun menyinggung pembelajaran dari proses Pengadilan HAM untuk tiga pelanggaran HAM berat lainnya, yakni kasus Abepura, kasus Tanjung Priok dan kasus Timor Leste menghadirkan keraguan. KontraS meyakini lemahnya koordinasi dari Kejagung dengan keluarga korban hingga lemahnya dakwaan dan tuntutan dari proses-proses tersebut masih terekam dengan jelas. 

Oleh karena itu, KontraS khawatir keberulangan akan tidak optimalnya Kejagung selama proses tersebut bisa terjadi kembali. Apalagi tercatat hanya satu dari 15 pelanggaran HAM berat yang ditingkatkan statusnya ke proses penyidikan selama hampir delapan tahun masa kepemimpinan Presiden Jokowi. 

"Pihak keluarga korban kasus Paniai juga menyampaikan keraguan mereka akan proses penegakan hukum atas kasus Paniai bisa berujung pada keadilan. Keraguan ini berkaca pada tidak terselesaikannya berbagai kasus di Papua yang dilakukan oleh aparat baik anggota POLRI atau TNI," kata Pretty. 

Berdasarkan hal tersebut, KontraS, YLBHI, Amnesty International Indonesia dan Keluarga Korban kasus Paniai mendesak Kejagung mengangkat penyidik HAM ad-hoc dari unsur masyarakat yang memiliki kapasitas dalam bidang HAM dan keberpihakan kepada korban untuk turut serta dalam penyidikan kasus Paniai. Kedua, Kejagung menarik pertanggungjawaban beberapa petinggi POLRI dan TNI di balik kasus Paniai dengan memperhatikan konsep rantai komando yang diatur dalam Pasal 42 UU Pengadilan HAM.

 

"Ketiga, Presiden Joko Widodo menghentikan pelanggaran HAM yang terus terjadi di Papua. Salah satunya dengan mengganti pendekatan keamanan dengan melakukan demiliterisasi menjadi pendekatan kesejahteraan yang bertumpu pada dialog dan penegakkan HAM."

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah pernah menegaskan, proses penyidikan kasus Paniai akan berlanjut ke pengadilan. Febrie mengatakan hal tersebut, sebagai komitmen kejaksaan, dalam penuntasan salah satu kasus pidana pelanggaran HAM berat, lewat mekanisme penegakan, dan penindakan hukum. “Kalau sudah ada penetapan tersangka, pasti mekanisme selanjutnya dari kasus (pelanggaran HAM berat) Pania ini, akan dibawa ke pengadilan,” kata Febrie, Kamis (31/3/2022).

 

 

Skenario Pemekaran Papua - (Infografis Republika.co.id)

 

 
Berita Terpopuler