Muslim Amerika Masih Alami Diskriminasi di Bandara

Muslim Amerika masih mengalami diskriminasi di bandara

Google.com
Muslim Amerika (ilustrasi)
Rep: Umar Mukhtar Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID,  WASHINGTON -- Warga Amerika yang kembali dari perjalanan ke luar negeri sering disambut oleh petugas perbatasan dengan kalimat selamat datang. Namun, salam tersebut tidak berlaku untuk Abdirahman Aden Kariye, seorang imam Muslim Amerika yang tinggal di Bloomington, Minnesota.

Kariye mengatakan, tidak ada salam seperti itu untuknya. Pria yang merupakan putra pengungsi yang datang ke AS dari Somalia, ini menyampaikan pengalamannya di bandara yang dihinggapi rasa cemas yang mendalam. Dia mengaku sering dibedakan dan dibawa ke kamar pribadi untuk diinterogasi selama berjam-jam oleh petugas perbatasan AS.

"Saya sudah berkali-kali diberhentikan, hampir 90 persen," kata Kariye, menceritakan pengalamannya bepergian di dalam dan luar negeri, seperti dilansir ABC News, Selasa (29/3/2022).

Selama beberapa tahun terakhir, saat kembali dari perjalanan internasional, dia diberi rentetan pertanyaan untuk mencari tahu keyakinan dan praktik agamanya. Pengalaman itu membuat dirinya melakukan upaya yang menjadikannya kurang terlihat sebagai seorang Muslim.

Pertanyaan yang diberikan, lanjut Kariye, menimbulkan begitu banyak kecemasan sehingga saat bepergian dia berhenti melakukan sholat di bandara dan tidak lagi membawa teks-teks agama yang ditulis dalam bahasa Arab. Ia bahkan berhenti memakai kufinya, topi tanpa pinggiran yang dipakai beberapa pria Muslim di seluruh dunia.

Baca Juga

"Saya merasa seperti saya tidak memiliki kebebasan untuk menjadi seorang Muslim di Amerika," tambahnya.


Beberapa pertanyaan yang dilontarkan petugas perbatasan AS, menurut Kariye, antara lain tipe Muslim apa dia, apakah dia Sunni atau Syiah, berapa kali dia shalat, masjid apa yang dia hadiri, pandangannya tentang ulama tertentu, apakah dia mendengarkan musik, apakah dia belajar Islam dan di mana dia belajar Islam.

"Ketika Anda mengajukan pertanyaan semacam ini tentang keyakinan pribadi saya. Anda memberi tahu saya bahwa Anda memiliki kecurigaan tentang Muslim, bahwa mereka secara inheren merupakan ancaman bagi keamanan nasional," kata Kariye.

Kariye ditanyai tentang keyakinan dan praktik agamanya selama setidaknya lima insiden terpisah di berbagai bandara setelah kembali ke AS dari perjalanan dan liburan ke luar negeri antara 12 September 2017 hingga 1 Januari 2022.

Saat bepergian untuk liburan atau mengunjungi keluarga di luar negeri, Kariye sering tidak dapat mencetak boarding pass-nya di kios swalayan sampai seorang karyawan maskapai menelepon untuk mendapatkan izin dari supervisor atau lembaga pemerintah. Ini sampai memakan waktu hingga dua jam. "Dan setelah menerima boarding pass-nya, dokumen perjalanan ditandai dengan "SSSS" (Seleksi Pemeriksaan Keamanan Sekunder)," tutur Kariye.

Kariye menambahkan, beberapa dari pengalaman-pengalaman di Amerika pasca 9/11 telah membuatnya merasa, sebagai seorang Muslim, dia dipandang sebagai kurang Amerika. Dia berharap dengan berbicara dia dapat memberdayakan orang lain yang memiliki pengalaman serupa.

"Yang penting kami ingin mengubah kondisi komunitas Muslim kami di sini di Amerika. Kami orang Amerika, kami di sini untuk tinggal di sini dan menjadi bagian dari pengalaman Amerika ini. Bagi saya, saya melihat ini sebagai bagian dari pelayanan saya sebagai seorang imam, untuk menjadi suara bagi mereka yang tidak memilikinya dan mengadvokasi keadilan," kata Kariye.

American Civil Liberties Union telah mengajukan gugatan federal atas nama Kariye dan dua Muslim Amerika lainnya yang diduga mengalami pertanyaan agama serupa di perbatasan. Gugatan diajukan terhadap Departemen Keamanan Dalam Negeri dan pejabat perbatasan AS di Pengadilan Distrik Amerika Serikat untuk Distrik Pusat California atas nama Kariye, Mohamad Mouslli dan Hameem Shah. Mereka beberapa kali menjadi sasaran pertanyaan terperinci tentang agama mereka oleh petugas perbatasan.

Shah adalah warga negara AS yang tinggal di Plano, Texas dan bekerja di layanan keuangan, sementara Mouslli bekerja di real estat komersial dan tinggal di Gilbert, Arizona, bersama istri dan tiga anaknya, menurut gugatan itu.

Gugatan tersebut menyatakan bahwa pertanyaan tersebut melanggar hak konstitusional penggugat dengan melanggar hak Amandemen Pertama mereka untuk kebebasan beragama, serta Undang-Undang Pemulihan Kebebasan Beragama (RFRA), undang-undang yang disahkan oleh Kongres pada tahun 1993.

"Karena pertanyaan ini memberikan tekanan besar pada penggugat untuk menyembunyikan ekspresi keagamaan mereka ketika mereka bepergian - untuk mengubahnya di bandara, dan karena tidak melayani tujuan penegakan hukum yang sah, itu melanggar (RFRA), dan juga melanggar Konstitusi," kata Ashley Gorski, staf pengacara senior di Proyek Keamanan Nasional ACLU.

"Dengan mengajukan pertanyaan yang mengganggu tentang kepercayaan, praktik, dan asosiasi agama Islam, pemerintah AS menyampaikan ketidaksetujuan terhadap Islam. Ini menyampaikan pesan stigmatisasi dan memandang ketaatan terhadap keyakinan dan praktik agama ini sebagai sesuatu yang mencurigakan," kata Gorski.

 
Berita Terpopuler