MK Gelar Sidang Putusan 10 Perkara Termasuk Uji Materi UU Pemilu

MK menjatuhkan putusan UU Pemilu mengenai ketentuan ambang batas pencalonan presiden

MK
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan/ketetapan terhadap 10 perkara pada Selasa (29/3/2022).
Rep: Mimi Kartika Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan/ketetapan terhadap 10 perkara pada Selasa (29/3/2022). Setengah perkara yang diadili merupakan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Namun dari kelima gugatan UU Pemilu, hanya satu yang dikabulkan MK, itu pun sebagian permohonan. Sedangkan sisanya tidak dapat diterima serta ada pula yang permohonannya ditarik oleh pemohon.

Permohonan yang dikabulkan sebagian oleh MK ialah perkara nomor 32/PUU-XIX/2021. Perkara ini diajukan Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Evi Novida Ginting Manik dan Arief Budiman periode 2017-2022 yang mempersoalkan Pasal 458 ayat 13 UU Pemilu yang menyebut putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersifat final dan mengikat.

"Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang diakses melalui siaran langsung Youtube MK, Selasa.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan ketentuan Pasal 458 ayat 13 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat 10 mengikat bagi presiden, KPU, KPU Provinsi KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN."

Hakim MK Suhartoyo menjelaskan presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu harus melaksanakan putusan DKPP dan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP tersebut. Putusan DKPP dan keputusan tindak lanjutnya dapat dijadikan objek gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh pihak yang tidak menerima putusan DKPP.

Putusan PTUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Dengan kata lain, yang dimaksud final dan mengikat adalah presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti putusan DKPP yang produknya dapat menjadi objek gugatan pada PTUN.

"Dengan demikian dalam konteks ini, presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara pemilu sesuai tingkatannya, tidak mempunyai kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan putusan DKPP ataupun putusan TUN yang mengoreksi ataupun menguatkan putusan DKPP," jelas Suhartoyo.

Sebelum memutus perkara nomor 32/PUU-XIX/2021, MK juga telah membaca dan mendengar keterangan DPR dan presiden. Termasuk, keterangan tertulis yang disampaikan DKPP sebagai pihak terkait.

Sebelumnya, Evi dan Arief menilai pelaksanaan ketentuan Pasal 458 ayat 13 UU Pemilu merugikan hak konstitusionalnya. Keberadaan pasal ini  masih menjadi dalil DKPP atau setidaknya sejumlah anggota DKPP untuk tidak mengakui Evi sebagai anggota KPU RI yang sah.

Memang sebelumnya Evi pernah diberhentikan dengan keputusan presiden (Kepres) atas tindak lanjut putusan DKPP yang menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Evi karena melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Namun tak tinggal diam, Evi menggugat Kepres tersebut ke PTUN Jakarta. Hingga akhirnya PTUN mengabulkan permintaan Evi dan membatalkan Kepres mengenai pemberhentian dirinya sebagai anggota KPU.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tak mengajukan banding sehingga putusan PTUN telah berkekuatan hukum tetap. KPU menganggap Evi tidak jadi diberhentikan dan masih menjadi anggota KPU RI periode 2017-2022.

Atas persoalan Evi dan DKPP tersebut, DKPP kemudian menjatuhkan sanksi kepada Arief Budiman yang melanggar kode etik penyelenggara pemilu karena ikut mendampingi Evi Novida di PTUN Jakarta. Sedangkan, Arief berpendapat sikapnya itu hanya sebagai bentuk kepedulian dari kolega.

Pengujian atas norma putusan DKPP yang final dan mengikat sudah pernah digugat sebagaimana putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 pada 3 April 2014. Dalam putusannya, MK menyatakan sifat final dan mengikat atas putusan DKPP tidak sama dengan lembaga peradilan, tetapi harus dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, serta Bawaslu.

Baca Juga

Ambang Batas Pencalonan Presiden

MK menjatuhkan putusan tidak dapat diterima untuk perkara nomor 8/PUU-XX/2022 dan 11/PUU-XX/2022 yang menggugat Pasal 222 UU Pemilu mengenai ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Kedua permohonan ini diajukan pemohon yang berbeda tetapi sama-sama memberikan kuasa kepada Denny Indrayana dan Refly Harun.

Sedangkan, perkara nomor 16/PUU-XX/2022 yang diajukan Jaya Suprana dan 26/PUU-XX/2022 yang dimohonkan Djujur Prasasto telah ditarik kembali oleh masing-masing pemohon. Jaya Suprana mempersoalkan Pasal 222 terkait ketentuan presidential threshold, sementara Djujur Prasasto menggugat Pasal 2 mengenai asas, prinsip, dan tujuan pemilu.

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan/ketetapan terhadap 10 perkara pada Selasa (29/3/2022). - (MK)


Perkara 17/PUU-XX/2022 pun ditarik kembali oleh pemohon yang menguji Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ketiga pemohon yang menarik permohonannya tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.

MK juga menolak permohonan nomor 20/PUU-XIX/2021 terkait pengujian UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Selain itu, MK menolak permohonan nomor 62/PUU-XIX/2021 mengenai pengujian materi Pasal 53 dan Pasal 71 huruf a UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Namun dalam perkara itu, Hakim MK Aswanto, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Enny memaparkan TNI dan Polri sama-sama menggunakan golongan kepangkatan bintara dan tamtama, tetapi terdapat perbedaan pengaturan batas usia pensiun prajurit dalam golongan kepangkatan tersebut.

Usia pensiun bintara tamtama di kepolisian ialah 58 tahun, sedangkan di TNI ditentukan 53 tahun. Enny menuturkan dengan tingginya angka harapan hidup di Indonesia sudah semestinya perlu diimbangi dengan penentuan batas usia pensiun prajurit TNI bagi bintara dan tamtama yang setara dengan usia pensiun anggota Polri.

Penyetaraan tersebut merupakan bentuk penghargaan negara atas pengabdian yang telah dilakukan oleh prajurit yang masih berada dalam rentang usia produktif. Sekaligus memberikan jaminan kesejahteraan yang lebih lama atau setidak-tidaknya setara dengan yang dinikmati anggota Polri dalam jabatan yang sama atas kelangsungan hidup mereka.

Berkenaan dengan perubahan UU 34/2004 yang menyertakan usia pensiun prajurit bintara dan tamtama TNI menjadi bagian dari materi pun tidak dapat dipastikan selesai dalam periode Prolegnas 2020-2024. Hal ini mengingat rencana perubahan UU 34/2004 sudah diajukan sejak Prolegnas 2010-2014 dan belum juga diprioritaskan untuk dibahas.

"Dengan demikian, dikarenakan adanya ketidakjelasan waktu penyelesaian RUU
perubahan UU 34/2004, maka menurut kami, Hakim Konstitusi Aswanto, Hakim
Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, dan Hakim Konstitusi
Enny Nurbaningsih, berkenaan dengan batasan usia pensiuan bintara dan
tamtama disamakan dengan usia pensiun pada anggota Polri, merupakan hal yang
seharusnya dikabulkan oleh Mahkamah karena beralasan menurut hukum," kata Enny.

Gugatan tersebut dilayangkan oleh pensiunan TNI Euis Kurniasih bersama lima orang lainnya pada November 2021. Mereka memohon kepada MK untuk memberikan penafsiran usia pensiun prajurit TNI bagi bintara dan tamtama sama dengan usia pensiun anggota Polri. Adanya perbedaan usia pensiun antara TNI dan Polri itu menimbulkan ketidakadilan.

Lalu yang terakhir, MK tidak dapat menerima permohonan perkara nomor 10/PUU-XX/2022 mengenai pengujian UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana diubah dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. MK juga tidak dapat menerima permohonan perkara nomor 12/PUU-XX/2022 terkait pengujian UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

 
Berita Terpopuler