Negara-Negara Teluk Bahas Perang Yaman Tanpa Houthi

Kelompok pemberontak Houthi memboikot pertemuan negara Arab.

AP/Hassan Ammar
Sebuah pesawat penumpang terbang di atas api yang membara di depot minyak Saudi Aramco setelah serangan pemberontak Houthi Yaman, menjelang balapan Formula Satu saat matahari terbit di Jeddah, Arab Saudi, Sabtu, 26 Maret 2022.
Rep: Lintar Satria / Dwina Agustin Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Negara-negara Teluk Arab yang bergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC) akan berkumpul untuk melakukan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang membahas peran Yaman yang telah berlangsung bertahun-tahun pada Selasa (29/3/2022). Hanya saja, pertemuan ini diboikot oleh Houthi karena diselenggarakan di Riyadh, Arab Saudi.

Houthi yang didukung Iran mempertanyakan efektivitas pertemuan yang diadakan Dewan Kerjasama Teluk (GCC) yang bermarkas di Arab Saudi tersebut. PBB, diplomat dan pihak lain mendesak kelompok yang bertikai di Yaman untuk menggelar gencatan senjata menjelang bulan suci Ramadhan.

Baca Juga

Langkah yang sudah coba dilakukan selama bertahun-tahun. Sementara Ramadhan tampaknya akan dimulai awal bulan depan. GCC yang terdiri dari enam negara anggota yakni Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab menggelar pertemuan di Riyadh, Selasa (29/3/2022).

Pada Senin (28/3/2022) kemarin Sekretaris Jenderal GCC Nayef al-Hajraf bertemu Duta Besar Inggris untuk Yaman Richard Oppenheim dan pejabat Yaman yang berada di pengasingan tapi diakui masyarakat internasional sebagai pemerintah sah negara itu.  

"(Membahas) upaya untuk mengakhiri perang dan cara untuk mencapai perdamaian komprehensif untuk mengangkat penderitaan manusia yang disaksikan rakyat Yaman," kata al-Hajraf seperti dikutip kantor berita Saudi Press Agency.

Sementara Houthi menolak pertemuan tersebut karena digelar di Arab Saudi yang merupakan musuh mereka. Selain itu koalisi yang dipimpin Arab Saudi juga masih menutup bandara Sana'a dan pelabuhan-pelabuhan di Yaman.

Kelompok ini telah menyerukan agar pembicaraan diadakan di negara yang netral. Tempat yang menjadi tuan rumah pembicaraan harus dalam suasana tenang, jauh dari tekanan militer atau masalah kemanusiaan apa pun.

"Rezim Arab Saudi harus membuktikan serius melangkah menuju perdamaian, dengan merespon gencatan senjata, mencabut pengepungan dan mengusir pasukan asing dari negeri, kemudian kedamaian akan datang dan waktunya untuk membahas solusi politik di atmosfer yang tenang jauh dari tekanan kemanusiaan dan militer," kata juru bicara Houthi Mohammad Abdul-Salam di Twitter.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken berbicara dengan Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan pada Senin malam. Kementerian Luar Negeri AS mengatakan mereka membahas dukungan pada usulan PBB untuk gencatan senjata selama Ramadhan dan upaya meluncurkan proses perdamaian baru yang lebih inklusif dan komprehensif di Yaman.

Perang Yaman di mulai tahun 2014 ketika pemberontak Houthi menggulingkan pemerintahan di Sana'a. Kemudian memaksa Presiden Abdrabbuh Mansur Hadi yang terpilih pada tahun 2012 diasingkan.

Pada bulan Maret 2015 koalisi yang dipimpin Arab Saudi menggelar operasi intervensi untuk mengembalikan pemerintahan yang terpilih berkuasa. Tapi perang berlangsung selama bertahun-tahun dan mendorong Yaman ke jurang kelaparan.

Proyek Data Lokasi dan Peristiwa Konflik Bersenjata mencatat perang Yaman telah menewaskan 150 ribu orang. Termasuk para kombatan dan sipil, angka rakyat sipil yang tewas dalam perang ini  mencapai 14.500 orang.

Serangan udara koalisi Arab Saudi menewaskan ratusan rakyat sipil dan menghancurkan infrastruktur negara itu. Sementara Houthi menjadikan anak-anak sebagai tentara dan menanam ranjau di seluruh negeri.

 
Berita Terpopuler