Gejala Long Covid akan Berbeda-beda, Bergantung pada Jenis Varian Virusnya

Gejala long Covid berbeda-beda, tergantung varian SARS-CoV-2 yang menginfeksi.

www.pixabay.com
Covid-19 (ilustrasi), Penelitian terbaru mengungkap, gejala long Covid yang dirasakan penyintas akan berbeda-beda, tergantung varian SARS-CoV-2 yang menginfeksinya.
Rep: Mabruroh Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, ROMA — Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa gejala long Covid yang dirasakan setiap individu tidak akan sama. Variasi gejala ini terjadi karena perbedaan jenis varian dari SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.

Temuan tersebut akan dipresentasikan pada Kongres Mikrobiologi Klinis & Penyakit Menular Eropa (ECCMID 2022) di Lisbon bulan depan. Kesimpulan tersebut berasal penelitian yang dipimpin oleh dr Michele Spinicci dari University of Florence dan Careggi University Hospital di Italia.

"Peneliti Italia mengindikasikan bahwa individu yang terinfeksi varian alpha dari SARS-CoV-2 menunjukkan gejala emosional dan neurologis yang berbeda dibandingkan dengan mereka yang terinfeksi bentuk asli SARS-CoV-2," kata rilis awal dari ECCMID mengenai penelitian ini.

Peneliti dari University of Florence dan Careggi University Hospital melakukan studi observasional retrospektif terhadap 428 pasien yang dirawat di layanan rawat jalan pasca Covid di Careggi University Hospital antara Juni 2020 dan Juni 2021. Menurut laporan tersebut, setidaknya tiga per empat 325/428 (76 persen) pesien melaporkan setidaknya satu gejala persisten.

Baca Juga

Gejala yang paling umum dilaporkan oleh kelompok pasien long Covid adalah sesak napas (37 persen) dan kelelahan kronis (36 persen). Ini diikuti oleh masalah tidur (16 persen), kabut otak (13 persen), dan masalah visual (13 persen).

Analisis para peneliti menunjukkan bahwa individu dengan kasus parah, yang memerlukan obat imunosupresan seperti tocilizumab, enam kali lebih mungkin melaporkan gejala long Covid. Mereka yang dirawat dengan dukungan oksigen aliran tinggi 40 persen lebih mungkin mengalami gejala long hauler.

Rilis itu juga mencatat bahwa perempuan hampir dua kali lebih mungkin melaporkan gejala long Covid dibandingkan pria. Para penulis mencatat bahwa pasien dengan diabetes tipe 2 tampaknya memiliki risiko lebih rendah untuk mengembangkan gejala long Covid. Mereka mengatakan, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk lebih memahami temuan ini.

Setelah evaluasi lebih lanjut dari gejala long Covid, para peneliti menemukan perubahan substansial dalam pola masalah neurologis dan kognitif (emosional) yang dilaporkan oleh pasien yang terinfeksi selama periode antara Maret hingga Desember 2020, ketika SARS-COV-2 asli dominan, dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh pasien yang terinfeksi antara Januari hingga April 2021 ketika alpha adalah varian dominan.

Rilis tersebut menyatakan bahwa para peneliti menemukan ketika varian alpha adalah strain yang dominan, prevalensi nyeri dan nyeri otot, insomnia, kabut otak, dan kecemasan/depresi meningkat secara signifikan. Sementara itu, kehilangan penciuman, dysgeusia (indra pengecap yang terdistorsi), dan gangguan pendengaran termasuk kurang umum.

"Banyak gejala yang dilaporkan dalam penelitian ini telah diukur, tetapi ini adalah pertama kalinya dikaitkan dengan varian Covid-19 yang berbeda," kata dr Spinicci dalam rilisnya, dilansir Fox News, Senin (28/3/2022).

"Durasi panjang dan rentang gejala yang luas mengingatkan kita bahwa masalahnya tidak akan hilang, dan kita perlu berbuat lebih banyak untuk mendukung dan melindungi pasien ini dalam jangka panjang. Penelitian di masa depan harus fokus pada dampak potensial dari varian kekhawatiran dan status vaksinasi pada gejala yang sedang berlangsung," ujarnya.

Data untuk penelitian ini diperoleh dari rekam medis elektronik pasien yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19 dan dipulangkan antara empat hingga 12 pekan sebelum dilihat untuk layanan rawat jalan. Data untuk penelitian ini termasuk kuesioner tentang gejala persisten yang diisi oleh individu rata-rata 53 hari setelah keluar dari rumah sakit.

Data tambahan termasuk demografi pasien, riwayat medis, dan periode mikrobiologis dan klinis Covid-19. Kepala penyakit menular di Mount Sinai South Nassau di New York, dr Aaron Glatt, yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan kepada Fox News bahwa akan mengejutkan jika tidak ada perbedaan seperti itu.

Glatt mengatakan, varian berbeda tentu memiliki kemampuan yang berbeda. Beberapa di antaranya lebih menular dan beberapa di antaranya dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah.

"Beberapa varian juga memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk kelompok usia yang berbeda. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa mungkin ada perbedaan long Covid di antara varian penyebab infeksinya," ujar Glatt yang juga juru bicara Infectious Diseases Society of America.

Rilis itu juga menyatakan bahwa penulis mengakui, studinya bersifat observasional dan tidak membuktikan sebab dan akibat. Mereka tidak dapat memastikan varian virus mana yang menyebabkan infeksi pada pasien yang berbeda hingga dapat membatasi kesimpulan yang dapat ditarik.

 
Berita Terpopuler