Mengapa Orang di Sekitar Tak Menolong Pelajar Korban Penodongan di Bandung?

Seorang pelajar di Bandung tak mendapatkan bantuan ketika menjadi korban penodongan.

Republika/Edi Yusuf
Suasana Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (18/10/2017). Seorang pelajar di Bandung menjadi korban penodongan pada Rabu (23/3/2022) dan tidak seorangpun di sekitarnya memberikan pertolongan.
Rep: Rr Laeny Sulistyawati Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman mengatakan, ada dua aspek yang membuat warga yang berada di sekitar tidak menolong pelajar Kota Bandung, Jawa Barat, yang menjadi korban penodongan. Ia menyebut, ada dua aspek, yaitu dari segi peristiwa dan masyarakatnya.

"Dari segi peristiwanya, kejahatannya terjadi siang hari, maka biasanya pelakunya komplotan karena berani melakukannya saat siang. Kalau pelakunya perorangan, (tindakannya) hanya mencopet," ujar Sunyoto, saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (27/3/2022).

Baca Juga

Sunyoto menilai, orang yang membantu juga bisa menjadi korban ketika menghadapi kejahatan di siang hari dengan pelaku banyak. Bahkan, ia pernah mendengar di kasus yang berbeda, ada anggota TNI yang juga menjadi korban ketika menolong.

Dari aspek masyarakatnya, Sunyoto menilai, tolong-menolong sudah lama menipis. Sebab, masyarakat kini semakin individualis, lebih fokus pada urusannya sendiri, dan menganggap masalah penodongan jadi ranah polisi. Di samping itu, masyarakat sudah menjadi acuh tak acuh.

"Bukan berarti membela komplotan penodong itu, tetapi lebih karena masyarakat menganggap itu bukan urusan saya karena ada polisi dan keamanan," katanya.

Sunyoto mengatakan, rasa individualisme ini berimplikasi pada distribusi peran sehingga peran publik dikotak-kotakkan berdasarkan fungsi. Apalagi, masyarakat urban yang tinggal di perkotaan bersifat heterogen dan lebih formal.

Sunyoto menyebut, masyarakat di kota memiliki referensi nilai yang berbeda-beda. Ini berbeda dengan masyarakat yang ada di daerah pingiran atau di desa yang homogen dan merasa satu entitas atau bersaudara. Jadi, masyarakat desa menganggap tetangga adalah saudara, komunalnya lebih kuat.

"Nilai ini semakin terkikis di kota besar karena tak punya ikatan komunal yang kuat. Individualisme di kota lebih kental, berbeda di desa yang merasakan kolektivisme," katanya.

Di sisi lain, Sunyoto mengatakan, masyarakat tidak sontak memberikan pertolongan kepada korban kalau tak tahu caranya. Sebab, itu justru membahayakan diri sendiri.

Terkait empati terhadap korban kejahatan, apalagi korban masih pelajar, Sunyoto menilai perasaan seperti ini butuh waktu lama. Empati mungkin muncul setelah identitas korban diketahui dan tahu barang apa yang diambil.

Untuk mengantisipasi terulangnya kejadian serupa, Sunyoto menilai, peran polisi sangat penting. Ia merekomendasikan polisi lebih aktif lagi melakukan patroli keliling. 

"Jadi mereka terus proaktif, tidak hanya menunggu laporan," ujar Sunyoto.

Pada Rabu (23/3/2022), seorang pelajar SMP di Jalan Pungkur, Kota Bandung, Jawa Barat menjadi korban pencopetan. Tindak kejahatan yang dilakukan oleh dua orang pelaku itu  terjadi sekitar pukul 16.00 WIB.

Dalam rekaman CCTV tampak korban sempat teriak meminta tolong, namun tidak ada warga yang merespons. Fitri Komaladewi selaku orang tua korban mengatakan, saat itu anaknya hendak pulang sekolah bersama tiga temannya.

"Pas daerah Kebon Kalapa, dia berpisah sama temannya, soalnya beda jurusan angkot. Jadi, pas anak saya sendirian jalannya, dia disergap dari belakang, satu lagi dari depan, jadi tidak bisa apa-apa tuh, yang depan itu nodong pakai pisau katanya," ujar Fitri, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (25/3/2022).

 
Berita Terpopuler