Kesan Glodziher Yahudi Dulu dan Sikap Hungaria Kini Terhadap Islam dan Muslim 

Hongaria tengah berupaya terapkan kebijakan xenofobia terhadap Muslim

EPA
Jamaah melakukan shalat di Masjid Da El Salam di Budapest, Hongaria (ilustrasi). Hongaria tengah berupaya terapkan kebijakan xenofobia terhadap Muslim
Rep: Kiki Sakinah Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ignaz Goldziher (1850-1921) menggambarkan pengalamannya ke Asia Timur sebagai perjalanan menuju toleransi, sebab di Eropa Kristen dia terbiasa dengan penghinaan masyarakat yang mengecualikan orang Yahudi. Goldziher adalah seorang Yahudi Hongaria yang kebanyakan menulis dalam bahasa Jerman. 

Baca Juga

"Saya berangkat ke Alexandria dalam lautan badai, saya diliputi oleh perasaan melankolis yang mendalam ketika saya menyaksikan menara-menara perlahan-lahan menghilang. Perjalanan itu berarti saya pamit dari periode terbesar dalam hidup saya."

Dia menuliskan pengalaman tentang kepergiannya melalui Mediterania ke Eropa pada 1874 itu dalam buku hariannya. Pemuda dari Budapest itu telah menghabiskan beberapa bulan di Mesir, Palestina, dan Damaskus. Goldziher melakukan diskusi dalam bahasa Arab yang fasih dengan "para cendekiawan Islam" dan "pemikir bebas." 

Dia menggambarkan ketika berada di antara jamaah dan dengan khidmat mengusapkan dahinya di lantai Masjid Azhar. Dia mengatakan dia tidak pernah merasa seperti orang asing meskipun keyakinan agamanya berbeda. 

Goldziher adalah orang pertama yang membawa orang Eropa lebih dekat dengan Islam melalui analisis akademis. Karyanya "Lectures on Islam", "Muslim Studies" dan "Islamic Quran Interpretations" adalah karya-karya dasar dari studi Islam modern di Eropa. 

Dia tidak bisa dicurigai mengejar agenda kolonialis dalam usahanya, sebab dia berbicara dengan jelas menentang 'Eropaisasi' dan 'perpindahan agama' dari Timur. 

Goldziher disebut seorang cendekiawan pakar Islam asal Hongaria dan dia dianggap sebagai pendiri kajian Islam modern di Eropa. Harapan Goldziher untuk membawa Eropa lebih dekat dengan Islam rupanya berbanding terbalik dengan upaya yang dilakukan Hongaria di masa kini. 

Saat ini, tingkat empati terhadap Islam dari seorang profesor di Universitas Budapest dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Hongaria itu terdengar tidak nyata dan sedikit tidak masuk akal. 

Cita-cita Goldziher tentang dialog antara orang Eropa dan Muslim telah tersapu oleh perjuangan selama satu abad untuk hegemoni, upaya penaklukan, perang, dan kebencian.    

Hungaria, meskipun hanyalah negara transit bagi banyak pengungsi dalam perjalanan mereka ke Eropa Barat, namun pemerintah negara itu telah melakukan kampanye xenofobia selama berbulan-bulan. Xenofobia adalah ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing. 

Pemerintah yang dipimpin oleh Perdana Menteri nasionalis sayap kanan Viktor Orban itu dengan jelas telah menyatakan retorika anti-Islamnya, terutama tanggapannya terhadap para pengungsi. 

Eksodus massal saat ini dari negara-negara Timur yang porak-poranda secara politik terjadi sebagai akibat dari sejarah yang tidak menguntungkan. 

Seperti dikutip dari artikel di laman Qantara, dilansir Ahad (18/3/2022), di Hungaria, para pengungsi bahkan memicu ingatan akan trauma yang lebih jauh ke masa lalu. 

Pemerintah nasionalis menganggap dirinya berada di garis depan pertahanan dalam pertempuran melawan sebuah invasi. 

Orban tidak memandang para pengungsi sebagai orang yang membutuhkan perlindungan, melainkan sebagai "Muslim penyerbu", ketimbang sebagai "pejuang". 

Dia mendirikan pagar yang menakutkan, menjatuhkan hukuman kejam pada mereka yang masih berhasil melintasi perbatasan dan memasang iklan dalam bahasa Arab di surat kabar Lebanon, memperingatkan "Orang Timur" agar tidak mencoba memasuki wilayahnya. 

Tampaknya ada sedikit perbedaan antara "masyarakat yang mengecualikan orang Yahudi", seperti yang digambarkan Goldziher tentang Hongaria, dan "masyarakat yang mengecualikan Muslim" saat ini. Orban menjelaskan bahwa dia membela "nilai-nilai Eropa". 

Baca juga: Tentara Israel Paksa Diplomat Muslim Taiwan Baca Alquran

Di sini, kepala pemerintahan Hongaria mengacu pada "Kristen Barat", yang dia tetapkan lagi dari cita-cita masyarakat pluralistik dan dalam pandangannya yakni masyarakat yang mengalah. Menurut penulis, paralel sejarah yang dramatis sedang ditarik di sini. 

Orban membawa negaranya kembali ke abad ke-16. Pada 1526, Ottoman mengalahkan tentara Hongaria dan menaklukkan bangsa Danube. Selama 160 tahun, Hongaria ditempatkan di bawah kekuasaan "Islam".  

 

Orban memainkan rasa trauma ini. Mohacs, tempat di mana kekalahan terjadi pada 1526, terletak di wilayah perbatasan antara Hongaria, Serbia, dan Kroasia, tempat jalur pengungsi berjalan. Orban berani membuat sebuah jalan yang sangat retoris ke masa "Perang Utsmaniyah". 

Bukan tanpa keberhasilan, karena kebijakannya membuatnya mendapat tepuk tangan terbuka dari Bavaria dan Partai Kebebasan Austria, serta persetujuan diam-diam dari banyak ibu kota Eropa lainnya. 

Apakah Eropa berbaris menuju perintah untuk melepaskan tembakan? Mengingat muatan nasionalistik yang berasal dari Hongaria, ini adalah pertanyaan mengerikan yang sekarang harus dipertanyakan. 

Orang mungkin mengira bahwa baik Horst Seehofer maupun Viktor Orban tidak pernah mendengar tentang Ignaz Goldziher. Tulisan-tulisan dan kisah hidupnya menyediakan banyak bahan untuk dipikirkan. 

Dia sama sekali tidak hidup di zaman ideal yang dicirikan oleh toleransi dan perdamaian. Di sisi lain, cendekiawan itu terjepit di antara palu anti-Semitisme dan landasan situasi sosial yang menindas dalam komunitas Yahudi Budapest. 

Goldziher Yahudi yang taat merasakan ancaman "dehumanisasi" melalui nasionalisme dan fanatisme agama. 

Dia melihat risiko psikologis yang dihadapi orang saat mereka memasuki zaman modern. Perlindungannya adalah "agama universal dari para nabi". Dia tidak ingin menaruh semua keyakinannya pada berkah "pencerahan" saja. 

Selanjutnya, subyek penelitian "Islam" membawanya ke dalam hubungan damai dengan banyak "orientalis" lain di Eropa. Persahabatan akademis ini juga melampaui batas negara-negara seperti Prancis dan Inggris, yang memusuhi negara asalnya, Hongaria, bagian dari "monarki ganda" Habsburg. 

Baca juga: 3 Tanda yang Membuat Mualaf Eva Yakin Bersyahadat

Di tengah semangat nasionalistik yang meningkat yang menyebabkan Perang Dunia Pertama, cendekiawan pakar Islam Goldziher mendukung jenis Eropa yang berbeda. 

Penulis berpandangan, siapa pun yang melakukan perjalanan melawan arus pengungsi di Danube, mengikuti jejak Goldziher sendiri, tidak akan lagi menemukan di Timur antitesis yang lebih toleran terhadap masyarakat Eropa yang dipenuhi kebencian. 

Memasuki Damaskus kini tidak berarti harus mengetuk "pintu surga". "Kota Khilafah lama", seperti yang dia gambarkan dalam buku hariannya, sekarang lebih seperti gerbang ke neraka. 

Islam dan "kehidupan orang-orang Mohammedan dan hubungan mereka dengan doktrin", yang dipelajari Goldziher dengan cara dasar seperti itu dan diteliti dengan empati yang begitu besar, sekarang tidak lagi dikenali.

 

Sumber: qantara   

 
Berita Terpopuler