Anak Jadi Cepat Bosan-Sering Tantrum? Social Distancing Bisa Jadi Penyebabnya

Social distancing telah memengaruhi aspek-aspek perkembangan anak.

ANTARA/M Risyal Hidayat
Sejumlah anak dengan mengenakan masker bermain di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Si Pitung, kawasan Rusunawa Marunda, Jakarta Utara, Selasa (15/3/2022). Penerapan social distancing selama pandemi Covid-19 telah memengaruhi perkembangan anak.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembatasan interaksi sosial (social distancing) di masa pandemi Covid-19 ternyata telah memengaruhi tiga aspek penting dalam perkembangan anak. Apa saja aspek-aspeknya?

Baca Juga

"Mulai dari perkembangan bahasa dan kognitif, perkembangan motorik dan sensorik, dan perkembangan sosial dan emosional," jelas psikolog anak dan keluarga Samanta Elsener dalam sebuah acara virtual pada Kamis (17/3/2022).

Dari aspek perkembangan bahasa dan kognitif, social distancing telah menyebabkan speech delay atau keterlambatan perkembangan keterampilan berbicara anak. Samanta menyebut, banyak studi yang mengemukakan hal tersebut.

"Bahkan, ada anak yang kata pertamanya bukan mama papa atau ibu bapak lagi, tapi mask atau masker. Saking yang dilihat itu-itu lagi dan selalu jadi pembahasan di dalam rumah," kata Samanta.

Sementara itu, dari aspek perkembangan motorik dan sensorik, Samanta menjelaskan, banyak anak yang mengalami keterbatasan ruang gerak. Sejak pandemi, anak-anak yang biasanya selalu bermain di sekolah maupun di taman, kini tak bisa lagi melakukan aktivitas tersebut.

Apalagi, menurut Samanta, situasi di setiap rumah tentu berbeda-beda. Sedangkan dari aspek perkembangan sosial dan emosional, pandemi telah membuat anak merasa cemas jika bertemu langsung dengan orang lain, terutama yang baru dia temui.

"Mereka enggak bisa main, padahal kan biasanya anak bersosialisasi. Bahkan, saat ketemu orang itu mereka cemas. Biasa ketemu melalui video call, ketika bertemu langsung ada keanehan sosial, cemas, malu. Mereka butuh waktu lama untuk bisa observasi lagi," ujar Samanta.

Selain itu, Samanta mengatakan, penggunaan gawai yang berlebihan selama pandemi juga meningkatkan pengaruh terhadap ketiga aspek tersebut. Sebab, anak tidak mendapatkan stimulasi yang tepat.

 

Akibatnya, anak-anak akan menjadi lebih individualis, egosentris, cepat bosan, dan sering tantrum. Oleh karena itu, Samanta mengingatkan pentingnya peran orang tua untuk selalu memberikan stimulasi agar pertumbuhan dan perkembangan anak dapat tercapai secara optimal.

Beberapa contoh kegiatan yang dapat menstimulasi anak, menurut Samanta, di antaranya dengan membacakan buku-buku bergambar, mengajak anak melakukan kegiatan seni, hingga bermain 'pura-pura'. Menarasikan proses sosial yang terjadi juga penting dilakukan.

"Narasikan proses sosial yang terjadi, misalnya kalau ada keluarga datang, sampaikan mereka datang dari mana, berapa lama perjalanannya. Kemudian main pura-pura itu misalnya orang tua jadi ibu guru, anak kita jadi dokter, nanti dari situ dia tahu dan akan siap ketika menghadapi kondisi yang sebenarnya," ujar Samanta.

Di masa yang menantang ini, menurut Samanta, orang tua memang harus lebih kreatif dalam menciptakan berbagai aktivitas yang juga dapat memberikan stimulasi untuk anak.

 
Berita Terpopuler