Kemenag Membantah Logo Halal Baru Jawa Sentris

Gunungan, seperti di logo halal baru, bukan cuma budaya wayang Jawa.

ANTARA/M Risyal Hidayat
Warga menunjukkan logo halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tertera di mie instan impor dengan latar belakang logo halal Indonesia di Jakarta, Senin (14/3/2022). Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan label halal yang dikeluarkan oleh MUI tidak akan berlaku lagi secara bertahap.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Rossi Handayani, Fuji E Permana

Polemik terkait logo baru label Halal Indonesia belum juga usai. Pemilihan logo baru dinilai bersifat Jawa sentris karena bentuknya terinspirasi dari gunungan di wayang Jawa.

Kementerian Agama menyatakan pemilihan bentuk gunungan dan batik lurik dalam label Halal Indonesia yang dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bukan berarti Jawa sentris. "Pemilihan label halal yang menggunakan media gunungan wayang dan batik lurik itu tidak benar kalau dikatakan Jawa sentris," ujar Kepala Pusat Registrasi Sertifikasi Halal pada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag Mastuki, dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (14/3/2022).

Pemilihan bentuk wayangan ini memang menuai reaksi masyarakat. Label halal yang baru ini dianggap malah tak memudahkan masyarakat dalam mengidentifikasi produk halal. Pada bentuk lama yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) identifikasi kehalalan produk lewat logo terlihat jelas karena menggunakan bahasa Arab dalam penulisan halalnya.

Sementara pada bentuk baru, menggunakan kaligrafi serta berbentuk gunungan wayang. Kendati ada tulisan latin Halal Indonesia di bawah kaligrafi halal, namun masyarakat masih belum bisa menerima bentuk dari logo terbaru.

Mastuki menjelaskan tiga hal yang menjadi dasar pemilihan logo baru. Pertama, baik wayang maupun batik sudah menjadi warisan Indonesia yang diakui dunia. Keduanya ditetapkan UNESCO sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya non bendawi (intangible heritage of humanity).

Bagi BPJPH, baik batik maupun wayang merupakan representasi budaya Indonesia yang bersumber dari tradisi, persilangan budaya dan hasil peradaban yang berkembang di wilayah Nusantara. "Wayang ditetapkan (UNESCO) pada 2003, sedang batik ditetapkan enam tahun kemudian, yaitu pada 2009," ujar Mastuki.

Kedua, gunungan wayang tidak hanya digunakan di Jawa. Menurutnya, dalam sejumlah tradisi masyarakat yang lekat dengan wayang, juga menggunakan gunungan. Ia mencontohkan wayang Bali dan wayang Sasak yang sama-sama menggunakan gunungan. "Wayang golek yang berkembang di Sunda juga menggunakan gunungan," kata dia.

Ketiga, penetapan label halal Indonesia dilakukan melalui riset yang lama dan melibatkan ahli. BPJPH, kata dia, tidak serta merta menetapkan label halal ini hanya pada satu pertimbangan, tapi berbagai pertimbangan.

Menurut dia, pertimbangan besarnya adalah bagaimana label yang akan menjadi brand untuk produk yang beredar di Indonesia maupun luar negeri dan bersertifikat halal memiliki makna, diferensiasi, konsistensi dan distingsi (keberbedaan). "Distingsi ini bukan asal berbeda, tapi keberbedaan yang menjadi ciri khas dari Indonesia, sekaligus menghubungkan antara keindonesiaan dan keislaman. Keduanya sudah menyatu dalam peradaban kita beratus tahun, sehingga penggunaan elemen bentuk, elemen warna dari budaya yang berkembang di Indonesia sangat sah dan dapat dipertangungjawabkan," kata dia.

Ia mengatakan ramuan dari berbagai elemen bentuk, corak dan warna itulah yang menjadi dasar desain label halal, ditambah dengan studi elemen visual bentuk logo/label yang digunakan Badan/Lembaga Sertifikasi Halal seluruh dunia. "Ada 12 opsi/alternatif desain label halal yang disodorkan ke BPJPH dengan berbagai bentuk yang sangat kaya merepresentasikan kekayaan budaya Islam dan Indonesia," kata dia.

Baca Juga

Baca juga : MUI Tegaskan Masih Berwenang Tentukan Fatwa Halal

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily mengatakan, pembuat logo halal terbaru oleh BPJPH dilatarbelakangi keinginan mengadaptasi kearifan lokal. "Soal memakanainya ya tergantung cara kita memandangnya. Yang jelas bahwa pembuat logo ini memiliki tujuan huruf Arab halal ini mengadaptasi kearifan lokal yang dimiliki budaya bangsa kita," kata Ace pada Senin.

Ace menegaskan bahwa penerbitan logo halal merupakan amanat dari UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Di mana kewajiban BPJPH itu membuat logo halal yang berlaku secara nasional.

"Soal logo tersebut diinterpretasi atau dimaknai secara berbeda-beda tentu tergantung dari sudut pandang masing-masing yang menilainya," kata Ace.

"Bagi saya, yang terpenting tulisan Arab itu ya mengandung kata halal dan sudah terkandung dalam tulisan Arab yang bermakna itu. Sepengetahuan saya jenis tulisan itu dalam kaligrafi Arab termasuk dalam kategori khat kufi," lanjutnya.

Baca juga : Kemenag Jelaskan Filosofi Logo Halal Baru Mirip Gunungan Wayang

Adapun bentuk label halal Indonesia terdiri atas dua objek, yaitu bentuk gunungan dan motif surjan atau lurik gunungan pada wayang kulit yang berbentuk limas lancip ke atas. Hal itu disebut melambangkan kehidupan manusia.

"Bagi orang yang terbiasa membaca huruf Arab dengan berbagai jenisnya, tentu akan mudah untuk membacanya bahwa itu huruf Arab yang artinya halal. Tapi bagi yang tak terbiasa membaca arab, pasti masih teramat asing. Oleh karena itu, perlu disosialisasikan kepada masyarakat lebih luas soal logo tersebut," kata Ace.










Sementara itu karena baru diluncurkan logo halal yang lama masih boleh digunakan. Dasarnya, ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Amirsyah Tambunan, adalah pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

Buya Amirsyah menerangkan, pada pasal 169 menjelaskan ketentuan peralihan masih membolehkan memakai logo halal MUI sampai lima tahun setelah PP Nomor 39 Tahun 2021 dikeluarkan. Dengan ketentuan ditegaskan dalam poin A, bahwa sertifikat halal yang telah diterbitkan oleh MUI atau BPJPH sebelum peraturan pemerintah ini diundangkan tetap berlaku sampai dengan jangka waktu sertifikat halal berakhir.

"Bentuk logo halal yang ditetapkan oleh MUI sebelum peraturan pemerintah (PP Nomor 39 Tahun 2021) ini diundangkan, tetap dapat digunakan dalam jangka waktu paling lama lima tahun terhitung sejak peraturan pemerintah ini diundangkan, ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021," kata Buya Amirsyah kepada Republika, Senin.

Ia mengatakan, perlu ditegaskan bahwa fatwa halal tepat dalam kewenangan MUI. Artinya sertifikasi halal tidak bisa ditetapkan Kementerian Agama (Kemenag) tanpa dasar Fatwa MUI. Atas dasar itu dalam transisi lima tahun ke depan, masyarakat diimbau tenang.

"Penggunaan logo halal MUI tetap dapat digunakan sesuai PP (PP Nomor 39 Tahun 2021) tersebut sehingga proses transisi dapat berjalan lancar," ujar Buya Amirsyah.

Ia mengingatkan, dalam PP Nomor 39 Tahun 2021 tersebut masyarakat mempunyai peranan penting. Masyarakat dapat penyelenggaraan JPH dan berperan serta dalam Pasal 144. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa sosialisasi dan edukasi mengenai JPH, pendampingan dalam Proses Produk Halal (PPH).

Buya Amirsyah menambahkan, peran serta masyarakat juga bisa berupa pemasaran dalam jejaring kemasyarakatan Islam berbadan hukum, pengawasan produk halal yang beredar, publikasi bahwa produk berada dalam pendampingan. Pengawasan produk halal yang beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e berbentuk pengaduan dan pelaporan kepada BPJPH.

Sebelumnya, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag menetapkan label halal yang berlaku secara nasional. Logo atau label halal ini wajib digunakan oleh mereka yang mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH.

Sekretaris BPJPH, Muhammad Arfi Hatim, menjelaskan, label halal Indonesia berlaku secara nasional. Label ini sekaligus menjadi tanda suatu produk telah terjamin kehalalannya dan memiliki sertifikat halal yang diterbitkan BPJPH.

"Label halal Indonesia ini selanjutnya wajib dicantumkan pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk, atau tempat tertentu pada produk," kata Arfi melalui pesan tertulis yang diterima Republika, Sabtu (12/3/2022).

Ia mengatakan, sebagai penanda kehalalan suatu produk, maka pencantuman label halal harus mudah dilihat dan dibaca oleh masyarakat atau konsumen. Pencantuman label halal juga dipastikan tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak, dan dilaksanakan sesuai ketentuan.

"Sesuai ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 33 tentang Jaminan Produk Halal, pencantuman label halal merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal, di samping kewajiban menjaga kehalalan produk secara konsisten, memastikan terhindarnya seluruh aspek produksi dari produk tidak halal, memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir, dan melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH," jelas Arfi.

Ia menambahkan, komponen dan kode warna label halal terdiri dari dua komponen. Yaitu logogram dan logotype. Logogram berupa bentuk gunungan dan motif surjan. Sedang logotype berupa tulisan halal Indonesia yang berada di bawah bentuk gunungan dan motif surjan. Dalam pengaplikasiannya, kedua komponen label ini tidak boleh dipisah.

Secara detail, warna ungu Label Halal Indonesia memiliki Kode Warna #670075 Pantone 2612C. Sedangkan warna sekunder hijau toska memiliki Kode Warna #3DC3A3 Pantone 15-5718 TPX.

"Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal dan panduan teknis tentang penggunaan label halal selanjutnya dapat diakses di laman resmi BPJPH Kemenag," jelas Arfi.

Ia mengatakan, selanjutnya mari gunakan label halal Indonesia ini sesuai ketentuan. Sebagai penanda yang memudahkan seluruh masyarakat Indonesia dalam mengidentifikasi produk yang telah terjamin dan memiliki sertifikat halal yang diterbitkan oleh BPJPH.

Biaya pembuatan sertifikat halal produk. - (Tim Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler