Pakar Ungkap Dampak Konflik Rusia-Ukraina terhadap Ekonomi Indonesia

Pemerintah harus memperbanyak variasi suplai.

AP/Markus Schreiber
Pengungsi menunggu dalam kerumunan untuk transportasi setelah melarikan diri dari Ukraina dan tiba di perbatasan di Medyka, Polandia, Senin, 7 Maret 2022.
Rep: Dadang Kurnia Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) Citra Hennida mengungkapkan dampak konflik Rusia-Ukraina terhadap sektor ekonomi internasional. Citra menjelaskan, dampak ekonomi itu muncul ketika negara-negara besar mulai memberikan sanksi kepada Rusia demi menghentikan invasi.

Baca Juga

"Sanksi tersebut berupa larangan penerbangan, membatasi Rusia memasuki pasar investasi, sampai membatasi perdagangan," ujarnya di Surabaya, Rabu (9/3/2022).

Citra menjelaskan dampak sanksi ekonomi bagi Rusia, dimana belakangan masyarakat Rusia, termasuk warga negara Indonesia di sana, mengaku sulit mendapat uang tunai. Antrean di ATM pun semakin mengular. Hal itu, lanjut Citra, adalah salah satu dampak nyata dari sanksi ekonomi komunitas internasional.

Citra juga mencontohkan Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang melarang investor dalam negeri untuk berinvestasi pada sektor-sektor yang digunakan Rusia untuk membiayai perang. Aksi tersebut diikuti pula oleh banyak korporasi global.

“Misalnya Ikea, Disney, Shell, Ford, hingga Apple yang membatasi atau berhenti beroperasi di Rusia” ujar alumnus Flinders University, Australia tersebut.

Cutra melanjutkan, sanksi ekonomi bagi Rusia mempunyai dua karakteristik. Pertama, sanksi akan menyasar pada bisnis-bisnis milik oligarki. Kedua, mengarah pada sektor dengan tingkat ketergantungan yang rendah pada negara pemberi sanksi.

“Rusia itu sistemnya semi-otokratik. Dukungan publik tidak berpengaruh. Yang berpengaruh pada kebijakan luar negeri adalah presiden, elit politik, dan oligarki di sana,” ujarnya.

Citra melanjutkan, Rusia maupun Ukraina adalah negara yang memiliki komoditas ekspor yang penting di banyak negara. Untuk Rusia, embargo minyak dan gas pasti dihindari negara manapun. Namun, konflik akan tetap mengganggu distribusi serta perlahan memicu kenaikan harga minyak dan gas global.

Di Indonesia, belakangan sempat marak isu harga mie dan roti akan membengkak karena konflik Rusia-Ukraina. Citra menyebut isu itu beralasan. Sebab, Ukraina menjadi salah satu pengekspor gandum, yang merupakan bahan dasar mie dan roti.

 

Kenaikan tersebut juga muncul akibat stok gandum yang tertahan di pelabuhan lantaran ketegangan di beberapa kawasan jalur distribusi. “Tinggal cari, kita punya komoditas ekspor apa dengan Rusia dan Ukraina. Akan langsung ketemu komoditas ekspor mana saja yang kemungkinan akan terganggu,” kata dia.

Sementara itu, lanjut Citra, kenaikan harga barang juga beriringan dengan laju inflasi. Termasuk Indonesia, Citra menyebut uang berlebih yang dikeluarkan untuk mendapat komoditas ekspor dari Rusia atau Ukraina akan memicu inflasi.

“Indonesia kan masih sangat tergantung dengan impor. Apalagi, kita juga masih berusaha bangkit dari pandemi,” ujarnya.

Citra menerangkan, konflik Rusia-Ukraina awalnya tidak diprediksi akan berlangsung lama. Namun, konflik itu nyatanya telah memasuki minggu kedua dan akhirnya berdampak besar pada iklim investasi global.

“Konflik ini memicu kegelisahan karena boikot yang dilakukan berbagai negara. Akhirnya investor akan berinvestasi pada hal-hal yang pasti, seperti emas,” ujarnya.

Emas, kata dia, menjadi instrumen yang menjaga nilai uang. Karena itu, tidak mengherankan jika belakangan banyak orang berburu emas hingga menaikkan harga emas secara global.

Citra menekankan beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi dampak ekonomi akibat konflik Rusia-Ukraina. Menurutnya, pemerintah harus memperbanyak variasi supply dan melakukan shifting pada komoditas ekspor dari dua negara tersebut.

Untuk impor gandum, Citra menyarankan beberapa negara alternatif seperti Kanada, Amerika Serikat, Pakistan, atau Bangladesh. “Intinya mencari alternatif. Lalu, cari juga mitra lain yang butuh barang kita. Termasuk mencari alternatif atau mengganti tempat investasi FDI (foreign direct investment)” kata dia.

 
Berita Terpopuler