Jika India Tetap Larang Jilbab dan Mengapa Muslimah Mesti Dilindungi?

Muslimah India terancam sulit akses hak publiknya dengan larangan jilbab

AP Photo/Altaf Qadri
Pelajar Muslimah India meneriakkan slogan-slogan selama protes menentang pelarangan gadis Muslimah mengenakan jilbab menghadiri kelas di beberapa sekolah di negara bagian Karnataka, India selatan, di New Delhi, India, Selasa, 8 Februari 2022. Staf sekolah menengah dan pihak berwenang menuduh gadis-gadis itu menentang aturan yang seragam tetapi para siswa mengatakan bahwa mereka kehilangan hak yang dijamin secara konstitusional untuk mempraktikkan keyakinan mereka.
Rep: Alkhaledi Kurnialam Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, KARNATAKA— Isu larangan hijab di negara bagian di India, Karnataka menjadi perbincangan publik internasional. Video seorang gadis Muslimah, Muskan Khan yang meneriakkan takbir sambil dikepung orang-orang yang memprotes hijab, menjadi viral dan ikon perlawanan aturan intoleran tersebut.  

Baca Juga

Isu ini dimulai dari pelarangan jilbab oleh perguruan tinggi negeri di Karnataka dan menutup gerbang bagi mahasiswi Muslim berhijab. Namun isu ini kemudian menarik gerombolan pemuda yang dipengaruhi Hindutva (dan juga beberapa wanita muda) yang mengejek hijabi.

Dilansir dari Scroll.in, Selasa (22/2/2022). peneliti asal Mumbai, Sameera Khan menyebut, harus diakui bahwa India saat ini ada pengerasan sikap yang nyata terhadap umat Islam secara umum dan peningkatan perasaan negatif dan tindakan jahat terhadap mereka.  

Sementara tiga dekade terakhir telah melihat peningkatan kekerasan dan kebencian terhadap Muslim, sejak 2014 kekerasan ini tidak hanya dinormalisasi tetapi bahkan dimaafkan oleh negara.

Setiap insiden pemanggilan nama, kerusuhan, hukuman mati tanpa pengadilan, dan lainnya telah mendorong polarisasi spasial dan sosial yang berkembang antara umat Hindu dan Muslim yang menyebabkan ketidakpercayaan dan prasangka di antara komunitas. 

Hal ini terutama berdampak pada kelompok yang paling tidak berdaya dalam komunitas ini, yaitu perempuan.

"Penelitian saya menunjukkan bahwa Muslim sebagai komunitas merasa di bawah ancaman dan pengawasan dan ini memperumit masalah seputar akses perempuan Muslimah ke fasilitas publik dan keamanan," katanya. 

Terlebih akses Muslimah ke pendidikan, baik di tingkat pendidikan menengah, menengah atas dan lanjutan akan sangat terdampak. 

Sebuah  organisasi non-pemerintah yang bekerja di bidang pendidikan dan kesetaraan gender India memperingatkan adanya peningkatan angka putus sekolah di kalangan anak perempuan Muslimah saat pandemi Covid-19, telah memperburuk ketidakadilan pendidikan.

Baca juga: Mualaf Edy, Takluknya Sang Misionaris di Hadapan Surat Al Ikhlas

 

Data ini menunjukkan bahwa anak perempuan sering secara sistematis dikeluarkan dari lembaga pendidikan dalam banyak hal termasuk kasta dan agama. Hal ini menjadi sebuah fakta yang jarang diakui atau didiskusikan.

Dalam sebuah laporan, seorang gadis Karnataka, Aliya Asadi (17 tahun) merupakan peraih medali emas karate negara bagian Karnataka, bahkan bisa merasakan kompetisi tingkat nasional lima tahun yang lalu.

 

Dia merupakan satu-satunya kontestan Muslimah dengan hijab. Tapi saat ini, Aliya sekarang susah tidur dan sering menangis. 

Jilbab memiliki peran yang lebih rumit dalam kehidupan wanita Muslimah dari sekedar sebagai penanda agama.  

Wawancara dengan wanita dan gadis Muslim di berbagai tempat mengungkapkan bahwa alasan mereka mengenakan jilbab sangat berbeda. 

Kadang-kadang ini adalah hasil dari pengkondisian sosial-budaya-agama tradisional yang dipaksakan oleh keluarga dan komunitas lokal. 

Tetapi seringkali juga melibatkan banyak alasan lain misalnya, pemakaian jilbab terbukti meningkat setelah banyaknya kasus kekerasan komunal.  

Jilbab dianggap baik sebagai alat pelindung dan seperti yang disebutkan beberapa remaja putri, suatu bentuk perlawanan yang dalam menghadapi permusuhan menjadi cara untuk menegaskan dan memperlihatkan identitas komunitas mereka.

Perlu dipahami bahwa banyak perempuan muda melihat hijab sebagai sesuatu yang memungkinkan dan secara sadar menggunakannya secara strategis sebagai alat untuk memudahkan akses mereka ke publik. Seperti untuk belajar, bekerja, bepergian dan bahkan mencari kesenangan.

Baca juga : Sikap Ulama India Soal Larangan Jilbab

Bahkan secara historis,  jilbab telah digunakan atau dibuang tergantung pada kondisi yang ada. Kadang-kadang digunakan sebagai simbol perlawanan anti-kolonial, di lain waktu tidak digunakan lagi.

Ada juga yang bertujuan upaya untuk menegaskan modernitas, seperti yang dicatat Margot Badran dalam Feminists, Islam and Nation: Gender and the Making of Modern Egypt.

Demikian pula perempuan dari komunitas agama lain sering menggunakan perangkat lain untuk memaksimalkan akses mereka ke dunia di luar rumah mereka baik itu bindi, mangalsutra, dupatta, atau sari.

Baca juga: Kisah Puji dan Agus, Suami Istri yang Bersama-sama Masuk Islam

Jadi, bagaimana jika larangan ini tetap ada? Menurut Khan, ada kemungkinan bahwa beberapa wanita Muslimah yang mengenakan jilbab mungkin memilih untuk diam-diam melipatnya ke dalam tas mereka ketika mereka memasuki sekolah dan perguruan tinggi. 

"Di sisi lain, orang lain mungkin terpaksa keluar dari sistem pendidikan atau melanjutkan pendidikan tinggi di lembaga-lembaga yang dikelola Muslim," ujar Khan. 

Dia mengatakan ini berarti bahwa mereka tidak hanya akan kehilangan kesempatan untuk berteman lintas agama (dan siswa non-Muslim akan kehilangan kesempatan yang sama untuk berteman dengan mereka).

"Mereka juga akan kehilangan kesempatan untuk belajar berinteraksi dengan arus utama masyarakat dan institusi," tambahnya.   

 
Berita Terpopuler