Mualaf Edy, Takluknya Sang Misionaris di Hadapan Surat Al Ikhlas

Mualaf Edy tertarik dengan kandungan surat Al Ikhlas

Dok Istimewa
Mualaf Edy tertarik dengan kandungan surat Al Ikhlas
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Hidayah dapat datang dengan melalui berbagai jalan yang dikehendaki Allah SWT. Hal itu pernah dirasakan oleh seorang mualaf, Paulus Edy Prayitno.

Baca Juga

Kepada Harian Republika, sosok yang akrab disapa Pak Edy itu menuturkan pengalamannya dalam menemukan Islam. 

Sebelum tumbuh mendewasa, ia telah melalui masa kecil yang tidak mudah. Berbeda dengan anak-anak pada umumnya, Edy kecil telah merasakan getirnya kehidupan. Waktu itu, dirinya sudah ditinggal wafat ayahanda tercinta.

Bapaknya itu meninggal setelah berjuang melawan penyakit. Sepeninggalan mendiang, ibunda Edy mesti menjadi tulang punggung keluarga. Akan tetapi, dari hari ke hari pekerjaan kian susah didapati.

Karena ibunya nirpenghasilan, Edy kecil pun diasuh oleh pamannya yang merupakan seorang pendeta. Sang paman begitu gembira usai diizinkan mengasuh putra saudaranya itu. Sebab, dirinya merasa mendapatkan seorang anak laki-laki yang kelak bisa meneruskan misi kependetaannya.

Paman saya hanya memiliki anak perempuan. Putrinya itu tidak bisa meneruskan pekerjaan paman saya. "Makanya, saya sejak kecil sudah dididik dengan agamanya (non-Islam)," ujar lelaki yang kini berusia 50 tahun itu, beberapa waktu lalu.

Ia mengenang pola pendidikan yang diterapkan sang paman. Setiap akhir pekan, Edy diharuskan untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan keagamaan di gereja. Pada mulanya, ia sebagai seorang anak-anak agak merasa canggung. Terlebih lagi, lingkungan tempat tinggal pamannya itu masih terbilang baru baginya.

Namun, lama-kelamaan Edy menjadi terbiasa.Ia terus aktif di pelbagai organisasi pemuda.Bahkan, dirinya pernah menjadi ketua.

Dengan penuh semangat, remaja itu selalu melaksanakan misi-misi yang diberikan kepadanya. Satu kewajiban yang harus dilaksana kannya adalah mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk beriman pada agama non-Islam ini. Dikatakannya, setiap orang harus membawa satu orang lain untuk sama-sama memeluk agama nontauhid tersebut.

Berkat gemblengan pamannya, Edy pun tumbuh menjadi seorang pelaksana misi yang tangguh. Kesulitan apa pun yang terjadi di lapangan, itu terus dihadapinya dengan piawai. Ia mengunjungi banyak daerah demi melaksanakan tugas syiar agama non-Islam itu. Bahkan, pernah pemuda ini dikirim ke daerah-daerah terpencil di Jawa Timur.

Baca juga: Kisah Puji dan Agus, Suami Istri yang Bersama-sama Masuk Islam

 

Begitu lulus SMA, Edy semakin mantap menjalankan misinya. Sementara itu, pamannya ingin agar keponakannya itu kelak dapat menggantikannya sebagai pendeta. Edy pun menempuh pendidikan sarjana atau S-1 dalam bidang agama yang sedang dianutnya saat itu. 

Pada masa kuliah, Edy mulai lebih terbuka. Dalam arti, ia memperluas jaringan pertema nannya. Kawan-kawannya bukan hanya dari yang seiman, melainkan juga yang berlainan agama dengannya saat itu. 

 

 

Salah seorang teman Edy yang beragama Islam ialah Abdullah. Kawan Muslimnya itu pernah beberapa tahun menjadi santri di sebuah pondok pesantren. Dengan semangat yang menggebugebu, Edy merasa tertantang untuk mengajak orang Islam itu berdebat soal agama.

Dalam bayangannya saat itu, pamannya pasti bangga bila dirinya dapat memurtadkan seorang Muslim. Terlebih lagi, proses pemurtadan itu terjadi setelah yang bersangkutan berdebat dengannya.

Saya pun mengumpulkan berbagai bahan materi sebagai persiapan debat. Saya pergi ke perpustakaan, tempat ibadah, dan lain-lain. Tak merasa cukup, saya juga membeli beberapa buku tentang Islam, kata dia mengenang.

Waktu itu, Edy sampai-sampai merelakan uangnya untuk membeli mushaf Alquran. Kitab suci Islam itu tidak hanya berisi teks yang berbahasa Arab, tetapi juga terjemahan, hadishadis terkait, dan tafsir. Berbekal berbagai sumber itu, pelaksana misionaris itu penuh percaya diri. Di rumah, ia menghabiskan waktu dengan membaca dan mempelajarinya.

Untuk memahami Alquran dan terjemahannya, ia ternyata memerlukan waktu yang panjang.Tidak cukup dengan beberapa hari atau pekan.Maka selama satu tahun, ia terus mendalami Alquran berserta dengan buku-buku keislaman.

Pada suatu hari, Edy membuka mushaf Alquran secara acak. Ia lalu mendapati surah alIkhlash, beserta terjemahannya. Tiap ayat pada surah itu dibacanya dengan saksama. Akhirnya, ia merasakan suatu pencerahan batin yang luar biasa.

Bahwa Allah itu tidak beranak dan tidak berbapak. Jadi, mengapa saya harus menyembah banyak hal jika sebenarnya cukup dengan menyembah Allah? tanyanya.

Setelah meyakini hal tersebut, Edy bertekad untuk memeluk Islam. Tentu dengan langkah itu ditempuhnya dengan pelbagai pertimbangan.

Sebab, selama ini kebutuhan hidup ditaja oleh pamannya yang seorang pendeta. Tidak hanya makan atau minum sehari-hari. Dirinya juga masih harus menyelesaikan kuliah S-1 yang biayanya ditanggung sang paman.

Sejak memeluk Islam, tentu banyak perubahan yang muncul dalam dirinya. Demikian pula, tantangan hidup kian mengena. Dengan sepenuh hati disadarinya, cepat atau lambat pelbagai kenyamanan hidup yang selama ini diperolehnya akan dilepaskannya. Mulai dari tempat tinggal, biaya kuliah, dan bahkan uang saku sehari-hari.

Dengan dicabutnya semua fasilitas itu, dirinya justru merasa bersyukur. Sebab, kini ia dapat hidup dengan lebih mandiri dan merdeka. Tiap keputusan pasti memiliki konsekuensi.

Saat berusia 25 tahun, Edy bertemu dengan seorang rekan Muslim. Keduanya telah lama berteman, setidaknya sejak awal 1998.

Baca juga: Pidato Guru Besar Hamid Fahmy Zarkasyi: Pandangan Hidup Inspirasi Peradaban Islam

Mulanya, rekan Muslim tersebut berpikir bahwa Edy akan mengajaknya berdebat tentang agama. Namun, hal yang akan disampaikannya jauh berbeda. "Tolong menjadi saksi, saya mau bersyahadat. Kalimat ini yang saya sampaikan kepada rekan saya itu," ujar dia.

Abdullah tentu terkejut atas apa yang diucapkan Edy. Ia pun mengajukan berbagai pertanyaan untuk menghilangkan keheranannya itu.

Hingga akhirnya ia percaya, Edy benarbenar tulus ingin memeluk Islam. Pada saat itulah, Abdullah menjadi saksi keislaman rekannya itu.

 
Berita Terpopuler