Tekad Enam Mahasiswi India Pakai Jilbab, Meski Dilarang Masuk Kelas Berpekan-pekan

Seorang mahasiswi mengatakan, mereka punya guru laki-laki sehingga rambut ditutup.

.
Jilbab. Ilustrasi
Rep: Dwina Agustin Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, DELHI -- Perdebatan tentang jilbab telah menyebabkan perselisihan di sebuah perguruan tinggi perempuan di negara bagian Karnataka, India selatan. Sebanyak enam mahasiswa telah dilarang masuk kelas selama berminggu-minggu karena bersikeras mengenakan jilbab.

Pihak kampus mengatakan hanya meminta siswa untuk melepas jilbab di dalam kelas dan masih bisa memakainya di sekitar kampus. Keenam gadis itu mengenakan seragam perguruan tinggi yang berupa tunik longgar dengan celana dan selendang serta meminta diizinkan untuk menutupi rambutnya.

Salah satu mahasiswa yang menuntut penggunaan jilbab, Almas AH, perguruan tinggi memberi tahu bahwa orang tua telah menandatangani formulir yang melarang melakukannya. Hanya saja, Almas menyadari bahwa formulir itu hanya menyebutkan seragam wajib dan tidak mengatakan apa pun tentang jilbab.

Pada akhir Desember, ketika mereka kembali ke kampus usai pelonggaran aturan pandemi, mereka mengenakan jilbab dan tidak diizinkan masuk ke kelas. "Kami memiliki beberapa guru laki-laki. Kami harus menutupi rambut kami . Itulah mengapa kami memakai jilbab," kata Almas dikutip dari BBC.

Kepala perguruan tinggi Rudre Gowda menuduh bahwa keenam perempuan itu dengan sengaja membuat masalah dan mahasiswa Muslim lainnya, sekitar 70 orang malah tidak keberatan dengan aturan tersebut. Dia mengatakan bahwa pada awalnya, sekitar belasan perempuan ingin mengenakan jilbab, tetapi jumlahnya berkurang setelah dia berbicara dengan orang tua.

Baca Juga

Gowda menambahkan bahwa guru perlu melihat wajah siswa dan seragam membantu mereka memastikan tidak ada diskriminasi di antara mahasiswa. "Yang kami katakan adalah ketika kelas mereka dimulai, mereka harus melepas jilbab," kata Gowda.

Pertikaian khusus ini terjadi di Udupi, salah satu dari tiga distrik di sabuk pantai yang sensitif secara komunal di Karnataka. Para komentator sering menggambarkan wilayah itu sebagai laboratorium untuk politik mayoritas Hindu. Partai Bharatiya Janata sayap kanan Perdana Menteri Narendra Modi juga berkuasa di Karnataka.

Kasus-kasus main hakim sendiri dan ujaran kebencian kerap berulang-ulang terhadap Muslim di wilayah tersebut. Kondisi ini justru membuat kelompok-kelompok vokal yang dipimpin minoritas  menegaskan hak mereka atas kebebasan beragama.

Dalam kasus ini, pihak kampus mengatakan persoalan semakin diperumit dengan keterlibatan Campus Front of India (CFI) atau sayap mahasiswa dari kelompok Islam, Popular Front of India. Namun, Almas mengatakan bukan anggota CFI, tetapi menghubungi organisasi itu ketika perguruan tinggi menghentikan mereka untuk masuk dalam kelas.

"Tidak ada aturan dalam buku atau dokumen apapun bahwa jilbab dilarang. Kami hanya diberitahu bahwa jika diizinkan, orang lain akan menuntut untuk memakai selendang safron," kata pemimpin CFI Masood Manna.

Menteri Pendidikan negara bagian Karnataka BC Nages menyatakan, tuntutan para mahasiswa itu hanya berdasarkan pertimbangan politik. "Saya telah meminta laporan tentang masalah ini. Ini pada dasarnya politik. Semua ini terjadi karena pemilihan umum dijadwalkan tahun depan," kata Nages mengklaim bahwa Popular Front of India untuk mendapatkan daya tarik di wilayah itu.

 
Berita Terpopuler