4 Alasan Heru Hidayat ASABRI tak Divonis Mati dan Respons Kejakgung

Pengadilan Tipikor tak jatuhkan vonis mati terhadap Heru Hidayat

Republika/Putra M. Akbar
Terdakwa kasus korupsi Asabri Heru Hidayat usai menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta,Selasa (18/1/2022). Majelis Hakim menjatuhkan vonis nihil kepada terdakwa Heru Hidayat karena sudah mendapatkan hukuman maksimal dalam kasus sebelumnya. Republika/Putra M. Akbar
Rep: Bambang Noroyono, Antara Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta tidak menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat seperti yang dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung.

Baca Juga

Hakim bahkan menjatuhkan pidana nihil kepada Heru Hidayat karena Heru sudah dijatuhi vonis seumur hidup dalam perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang telah berkekuatan hukum tetap.

"Majelis hakim tidak sependapat dengan penuntut umum tentang penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa," kata hakim anggota Ali Muhtarom di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Selasa (18/1/2022) malam.

Alasan pertama, menurut hakim, adalah JPU telah melanggar azas penuntutan karena menuntut di luar pasal yang didakwakan. 

Kedua, penuntut umum tidak membuktikan kondisi-kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan terdakwa saat melakukan tindak pidana korupsi. 

Alasan ketiga, berdasarkan fakta, Heru Hidayat dinilai melakukan tindak pidana korupsi saat situasi negara aman. 

Keempat, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara pengulangan. Oleh karena itu beralasan hukum untuk mengesampingkan tuntutan mati yang diajukan penuntut umum dalam tuntutannya. 

Apalagi tuntutan mati diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Baca juga:  Mualaf Syavina, Ajakan Murtad Saat Berislam dan Ekonomi Jatuh 

Menurut hakim, Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor menjelaskan keadaan tertentu, saat pidana mati dapat dijatuhkan adalah sebagai pemberatan bagi tindak pidana korupsi ketika negara dalam keadaan bahaya sebagaimana undang-undang yang berlaku, yaitu pada waktu bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, waktu negara dalam krisis ekonomi, dan moneter.

"Tuntutan hukuman mati sifatnya fakultatif, artinya pilihan tidak ada keharusan untuk menjatuhkan hukuman mati," tambah hakim Ali.

 

Heru Hidayat sendiri telah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam perkara tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara senilai Rp16,807 triliun berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Oktober 2020 dan dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap.

"Terdakwa telah menjalani sebagian atau baru dalam tindak pidana korupsi Jiwasraya yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut. Tindak pidana korupsi PT Jiwasraya berbarengan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa dalam perkara PT Asabri Persero sehingga lebih tepat dikategorikan 'concursus realis' atau 'meerdaadse samenloop', bukan sebagai pengulangan tindak pidana," ungkap hakim.

Namun majelis hakim sepakat dengan JPU bahwa Heru Hidayat terbukti secara sah dan meyakinkan dalam dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua primer, yaitu Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. 

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 

"Dengan demikian terdakwa hanya dapat dipidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar," tambah hakim Ali.

Majelis hakim menjatuhkan hukuman nihil ditambah dengan kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp12,643 triliun dikurangi dengan aset-aset yang sudah disita dan bila tidak dibayar maka harta benda Heru akan disita untuk membayar uang pengganti tersebut.Terhadap perkara tersebut, JPU dan Heru Hidayat menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari.

Baca juga: Mualaf Erik Riyanto, Kalimat Tahlil yang Getarkan Hati Sang Pemurtad

Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejakgung) kecewa dengan putusan Pengadialn Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikro) Jakarta yang menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana nihil.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Supardi menilai, putusan pidana nol dari majelis hakim tersebut tak memenuhi rasa  keadilan, dan menciderai asas-asas penerapan hukum beracara.

Supardi mengatakan, Jampidsus akan melakukan banding melawan putusan PN Tipikor tersebut, ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta demi keadilan. “Prinsipnya kami, selaku penuntut umum tetap menghargai putusan itu. Tapi kami memandang bahwa putusan itu terjadi kekeliriuan formal,” ujar Supardi saat ditemui Republika di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Jakarta, Selasa (18/1). 

Catatan kekeliruan putusan hakim tersebut, kata Supardi, akan dirumuskan dalam banding yang nantinya bakal dilakukan. “Itu nanti bagian dari kutipan kami untuk melakukan upaya hukum (banding),” ujar Supardi menambahkan.

Pada Selasa (18/1), majelis hakim PN Tipikor Jakarta, memvonis Heru Hidayat, terdakwa korupsi dan pencucian uang (TPPU) PT ASABRI bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara Rp 22,78 triliun.

Akan tetapi, dalam vonis bersalah tersebut tak dibarengi dengan hukuman badan. “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Heru Hidayat oleh karena itu dengan pidana nihil,” kata Ketua Majelis Hakim IG Eko Purwanto, di PN Jakarta Pusat, Selasa (18/1).

Hukuman badan nihil tersebut, dikatakan hakim, karena terdakwa Heru Hidayat telah mendapatkan hukuman badan penjara seumur hidup terkait kasus serupa yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara RP 16,8 triliun. 

Karena putusan penjara seumur hidup tersebut, menurut hakim, terdakwa Heru Hidayat tak lagi dapat dikenakan hukuman badan tambahan. “Berdasarkan pertimbangan tersebut, meski bersalah tapi karena terdakwa telah dijatuhi hukuman seumur hidup, maka pidana yang dijatuhkan dalam perkara a quo adalah nihil,” begitu sambung putusan hakim. 

Selain menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana nol, majelis hakim juga tetap menghukum bos PT Trada Alam Minera (TRAM) itu dengan pidana pengganti kerugian negara senilai Rp 12,6 triliun. Hukuman pidana mengganti kerugian negara tersebut, sudah sesuai dengan tuntutan jaksa. Tetapi, soal pidana badan, hukum nihil tersebut jauh panggang dari api. Karena, dalam tuntutannya, jaksa penuntut umum mendesak hakim untuk menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati. 

Dalam pertimbangan jaksa, pidana mati tersebut, layak dijatuhkan kepada terdakwa Heru Hidayat dalam kasus ASABRI, karena adanya perbuatan korupsi, dan TPPU pengulangan, dari kasus serupa di Jiwasraya.

“Tetap kami hargai alasan hakim tersebut. Tapi kami tetap mengajukan hak kami untuk melakukan upaya hukum (banding), karena menurut kami, putusan seperti itu (nihil) tidak adil. Tidak adil bagi masyarakat, tidak adil bagi kepentingan nasabah, dan tidak adil bagi proses hukum,” sambung Supardi.

Menurut Supardi, pidana nol terhadap terdakwa Heru Hidayat itu inkonsisten dengan vonis bersalah yang menjadi satu-kesatuan dari putusan hakim. Menurut Supardi, vonis bersalah semestinya disertai dengan hukuman pidana.

Dalam hal ini, kata dia, adalah hukuman badan atau pemenjaraan. “Menurut kami, hukuman yang paling adil itu seperti yang kami bacakan sebelumnya (dalam tuntutan). Karena melihat konstruksi kasus tersebut, dan besarnya kerugian negara,” ujar Supardi.

Kata Supardi, jikapun majelis hakim dalam putusannya tak setuju dengan tuntutan dari jaksa soal hukuman mati tersebut, pun menjadi tak tepat majelis pengadil mengukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana nihil.

 

Karena menurut dia, hukum acara pidana, membuka peluang bagi pengadilan, memberikan hukuman alternatif lain atas vonis bersalah tersebut. “Ada formulasi yang semestinya bersalah, semestinya juga dihukum. Konstruksi hukuman paling adil itu semestinya hukuman mati. Tetapi, jika mengacu Pasal 143 KUHAP, konstruksi hukuman lainnya juga bisa. Tidak harus nihil seperti itu,” ujar Supardi.   

 
Berita Terpopuler