Sebelum Impor Kerbau Beku, Pemerintah Perlu Pikir-Pikir Dulu

Kebijakan impor daging akan lebih bernilai tambah melalui impor sapi bakalan.

ANTARA/Aprillio Akbar
Pedagang memilah daging sapi di Pasar Mayestik, Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (1/10/2021). Pemerintah diminta pikir-pikir dulu sebelum melakukan impor daging beku.
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Ali Usman, menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan impor daging kerbau asal India. Terutama, terkait sejauh mana efektivitas daging beku tersebut itu membantu menurunkan harga daging sapi lokal.

Baca Juga

Ia menuturkan, faktanya harga daging sapi masih tinggi dan daging kerbau mengalami kenaikan. “Tata niaga harus dibenah, jangan hanya melihat dari sisi konsumen tetapi dari sisi produsen peternak rakyat juga harus dilihat," katanya dalam webinar, Kamis (13/1/2022).  

Ali menyebut, biaya pemeliharaan sapi saat ini masih tinggi, hingga soal rantai pasok fasilitas yang masih minim sehingga harga daging sapi masih tinggi di konsumen akhir. Padahal berbagai program pemerintah seperti Swasembada Daging Sapi Kerbau (PSDS) hingga program Sapi Sikomandan yang menelan biaya triliunan telah dilakukan.

Ia pun mengusulkan, sistem informasi pangan dalam satu data terkait penawaran dan permintaan daging sapi harus dibangun. Tidak hanya dari soal data produksi tetapi angka konsumsi di berbagai daerah.

Dengan begitu, menurut dia, pemerintah dapat mengetahui jumlah peternak dan ternaknya di tiap daerah. Selain itu juga data biaya produksi dari pemeliharaan ternak itu sendiri, pasokan bahan baku pakan, penyediaan bibit hingga ke sistem rantai pasok. Alhasil, data harga daging tersebut diterima oleh konsumen terlihat secara transparan.

Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) menilai, kebijakan pemerintah yang membuka impor daging kerbau beku India sejak 2016 lalu tidak mampu memberikan dampak pada penurunan harga daging dalam negeri. Tren harga justru terus mengalami fluktuasi bahkan cenderung meningkat.

Baca juga : Pemerintah Pastikan Program Kartu Prakerja Dilanjutkan Tahun Ini

Ketua Gapuspindo, Didiek Purwanto, mencatat, realisasi impor daging kerbau beku pada 2016 sebesar 39,5 ribu ton dan meningkat menjadi 45,1 ribu ton di tahun 2017. Memasuki 2018 realiasi impor naik signifikan menjadi 79,6 ribu dan bertambah pada 2019 menjadi 93,9 ribu ton.

Adapun pada 2020 lalu realisasi impornya tercatat 76,3 ribu ton sedangkan tahun 2021 sebesar 73 ribu ton.

"Kita lihat, harga eceran daging sapi dari data BPS dari 2019 sampai 2021 ternyata hampir berdampingan (sama) sehingga tidak telalu berdampak menurunkan harga daging," kata Didiek dalam webinar yang digelar Pataka, Kamis.

Ia mencatat harga daging sapi tahun 2019 lalu berkisar Rp 105 ribu-Rp 109 ribu per kg. Sementara tahun 2020 harga bervariasi setiap bulan dari Rp 110 ribu-Rp 112 ribu per kg sedangkan tahun 2021 harga masih dikisaran Rp 112 ribu per kg.

Padahal, impor daging kerbau beku India yang didatangkan pemerintah melalui BUMN dijual sebesar Rp 80 ribu per kg atau jauh di bawah harga pasar dalam negeri. "Ini menjadi persoalan yang harus kita kaji lebih detail," kata Didiek.

Baca juga : KAI akan Gunakan Anggaran Subsidi untuk Ini

 

Ia menilai, kebijakan impor untuk menutup defisit daging sapi nasional akan lebih memberikan nilai tambah melalui impor sapi bakalan daripada daging beku. Sebab, dengan mengimpor sapi bakalan, akan ada kegiatan penggemukan sapi dalam negeri sebelum nantinya akan dipasarkan.

Apalagi, kegiatan penggemukan sapi juga sudah menggunakan bahan-bahan pakan lokal dan memberikan keuntungan dalam rantai ekonomi industri sapi potong nasional.

Diketahui pada 2022, pemerintah telah menetapkan neraca daging sapi/kerbau nasional. Tingkat konsumsi per kapita diperkirakan sebesar 2,57 kilogram (kg) per tahun atau 706 ribu ton secara nasional. Adapun kemampuan produksi dalam negeri diproyeksi hanya 436 ribu ton dan stok awal tahun 62 ribu ton.

Selain itu, pemerintah juga menargetkan harus terdapat stok sisa akhir tahun sebesar 58 ribu ton sehingga diperoleh defisit daging 2022 sebesar 266 ribu ton. Defisit tersebut akan dipenuhi melalui impor. Namun, hingga saat ini pemerintah masih belum menetapkan alokasi impor untuk daging kerbau serta BUMN yang akan ditugaskan.

Kementerian Pertanian (Kementan) mengatakan, volume impor daging sapi terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, impor tetap dilakukan.

Baca juga : Luhut: Bubarkan PLN Batu Bara

"Impor memang iya masih dilakukan tapi jumlahnya terus menurun," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, Makmun.

Makmun mengatakan, alokasi impor daging tahun ini telah dihitug bersama dengan para kementerian terkait. Volume impor tersebut tercatat turun 3,4 persen dari tahun 2021 sebesar 284,2 ribu ton. Impor tahun 2021 juga menurun jika dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.

Adapun dari sisi produksi terus mengalami peningkatan. Tahun 2022 ditargetkan produksi dapat mencapai 274,8 ribu ton, naik 3,13 persen dari 2021 sebesar 272,2 ribu ton.

"Produksi sapi lokal kita terus tumbuh tapi memang belum bisa mengejar kebutuhan konsumsi daging sapi yang sebetulnya partisipasinya hanya 7 persen dari konsumsi pangan hewani," kata Makmun.

Ia mengatakan, Kementan akan terus meningkatkan produksi daging sapi lokal dengan berbagai program. Salah satu yang masih diupayakan yakni integrasi lahan perkebunan sawit untuk peternakan sapi. Menurut dia, lahan sawit dipastikan tidak akan berubah menjadi area pembanguanan perumahan.

Budidaya ternak sapi di lahan sawit juga akan menciptakan siklus kehidupan yang baik karena dapat mencegah lebih kecil efek rumah kaca. Sebab, keberadaan sapi dapat mengurangi penggunan pupuk kimia untuk membersihakn gulma dan rumput di area perkebunan.

Selain itu, upaya lain yang dilakukan dengan penggunaan jenis sapi kerbau unggulan, impor indukan sapi, peningkatan kesehatawan hewan, serta penegakkan pelarangan pemotongan sapi betina produktif. 

 

 

 
Berita Terpopuler