Presidential Threshold Nol Persen, Konstitusionalkah?

Mengkaji tuntutan presiden threshold Nol Persen

Republika/Prayogi
Debat Capres pada Pemilu 2019
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Dr Margarito Kamis, SH. M.Hum, Pakar Hukum Tata Negara Staf Pengajar FH. Univ. Khairun Ternate 

Pemohonan judicial review atas konstitusionalitas pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Presiden, terus bergerak memasuki ruang pendaftaran permohonan Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak hanya perorangan, ada yang juga yang berkelompok, bahkan  belakangan partai politik juga maju sebagai pemohon. 

Dua partai yang telah dan akan mengambil bagian dalam perlombaan ini adalah partai Gelora dan partai Ummat. Keduanya berstatus hukum sebagai partai politik yang telah berbadan hukum, tetapi belum berstatus sebagai peserta pemilu. Ini sungguh sangat menantang dilihat dari sudut pemikiran ilmu hukum tata negara.

Arus permohonan yang terus bergerak naik itu, boleh jadi dirangsang oleh kalkulasi politik. Atmosfir politik yang ingin dicapai adalah betapa bobroknya presidential threshold itu, menguat. MK, sebagai konsekuensinya, sulit menemukan ruang berkelit. 

Apalagi kalau kenyataan pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang tidak menulis angka-angka persentase didalamnya, berhasil didramatisasi. Tetapi rasionalkah itu? Itu soal lain. Dilihat dari sudut ilmu hukum tata negara, menggunakan kenyataan pasal 6A ayat (2) sebagai pijakan kokoh mendesak presidential threshold 0%, bisa ditertawakan.

Baca juga : Tujuh Foto di Saku Veteran Sakit Hati dan Sejarah Kekejaman Belanda di Bali

UUD Amerika Serikat tidak memiliki ketentuan, apalagi exprecis, yang mengatur dan memberi kewenangan kepada Supreme Court memeriksa perkara judicial review. Tetapi apa yang sejarah suguhkan? Sejarah ketatanegaraan Amerika menulis Supreme Court memeriksa dan memutus perkara judicial review yang diajukan oleh Marbury. 

Kasus ini dikenal luas dengan Marbury vs Madison. Ini kasus ini judicial review pertama dalam tata negara Amerika modern. Kasus ini diajukan ke Supreme Court segera setelah Presiden Thomas resmi menjalankan pemerintahannya pada awal April 1801, dan diputus pada tahun 1803.  

UUD 1945, disisi lain, tetapi mirip dalam substansinya dengan UUD Amerika, tidak mengatur secara nyata Mahkamah Konstitusi bukan subyek pengawasan Komisi Judicial. Sama sekali tidak ada. UUD 1945 jelas menulis Mahkamah ini berkapasitas dan berkualifikasi hukum sebagai badan peradilan. Hebatnya, MK malah menemukan hukum yang mirip dengan hukum yang ditemukan oleh Supreme Court Amerika. Hukum yang ditemukan MK adalah MK bukan subyek pengawasan KY. Titik.

Ilmu hukum, bukan ilmu politik, dan juris bukan politisi. Ilmu hukum punya aksioma khas, dan ilmu ini membekali ahli hukum dengan metodologi dan teknis interpretasi. Ilmu ini juga mendekorasi eksistensinya dengan kaidah membaca dan mamahami teks-teks hukum.  

Baca juga : Juru Parkir Dukung Ganjar Pranowo di Pilpres 2024

Salah satu aksiomanya adalah ketika kata, teks  atau konsep jelas, interpretasi tidak diperlukan. Interpretasi berakhir pada saat teks, kata atau konsep dalam pasal jelas. Sebaliknya, ketika kata, teks dan atau konsep tidak jelas, interpretasi dimulai. 

Menariknya aktifitas interpretasi, dalam bentuk appaun dan sesederhana apapun, bukan dan tidak dapat disamakan dengan translate. Benar-benar tidak bias. Judicial review pertama pada Supreme Court Amerika, dan putusan MK bahwa  MK bukan subyek pengawasan KY, jelas merupakan konstruksi hukum, sebagai bagian akhir dari interpretasi. Tidak di luar itu, apapun argumennya. 

Praktis Mahkamah harus melakukan interpretasi. Interpretasi atas apa? Jelas, yang diinterpretasi adalah konsep-konsep pada pasal yang terdapat dalam UUD. Sebabnya konsep dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak jelas. Ilmu hukum mengharuskan hakim mengawali pemeriksaan permohonan judicial review ini dengan terlebih dahulu menginterpretasi pasal 6A ayat (2) UUD 1945 itu. Ini imperative. 

Konyol bila tidak dilakukan. Interpretasi, begitu ilmu hukum menyerukan, tidak pernah dimaksudkan lain selain dan hanya itu, menemukan pemahaman atas maksud dikehendaki, atau menjadi maksud utama konsep –kata atau norma- pasal 6A ayat (2) yang tidak jelas itu. 

Interpretasi, sebagai konsekuensinya, merupakan inferensi untuk memperoleh pemahaman atas makna atau maksud dibalik pasal, yang nyata-nyata dikehendaki oleh pembentuknya. Hakim harus memulai interpretasi dari teks. Dua teks utama yang wajib diinterpretasi adalah “partai politik atau gabungan partai politik.” 

Baca juga : Fraksi PDIP DPRD DKI Protes UMP DKI 2022, tapi Setuju Kenaikan Tunjangan

Kata atau konsep “partai politik atau gabungan partai politik” dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945, menyatakan apa atau apa maksudnya atau apa maknanya? Apakah dua konsep yang diantarai dengan kata “atau” menyatakan setiap partai berhak mengusulkan capres dan cawapres secara berpasangan? Bila itu maksud nyata pasal 6A ayat (2) UUD 1945 itu, maka presidential threshold, terlihat tidak valid dipositifkan. 

Masalanya mau diberi makna apa atas konsep “gabungan partai politik” dalam pasal 6A ayat (2) tersebut? Norma ini memang, kalau diletakan dalam perspektif John Austin, bukan perintah. Lebih tepat disifatkan sebagai pernyataan, dalam perspektif   Hart. Tetapi apapun sifatnya, konsep “gabungan partai  politik” dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945 adalah norma. 

Kapasitas otoritatif konsep “gabungan partai politik” dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945, jelas konsekuensinya.  Konsekuensinya, partai-partai politik peserta pemilu, tentu setelah partai-partai itu memperoleh surat keptusan KPU sebagai peserta pemilu, berhak bergabung mengusulkan capres dan cawapres secara berpasangan. 

Semua partai dapat bergabung menjadi satu pengusul atau jumlah partai yang bergabung menjadi pengusul harus diberi batas, treshold?  Kalau semua partai politik bergabung menjadi satu dan mencalonkan satu capres dan cawapres, maka yang terjadi adalah calon tunggal. 

Soal hukumnya adalah apakah konsep-konsep dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945 bermakna hukum calon presiden dan calon wakil presiden hanya satu pasangan atau calon tunggal? Kalau calon tunggal, maka soalnya apa makna konsep partai politik mencalonkan sendiri presiden dan wapres?  

Dua konsep “partai politik atau gabungan partai politik” dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945, tidak bisa dilihat secara lexical. Secara  prima facie hal itu merupakan deffault of interpretation sekaligus  interpretation of fallacy. Hukum yang dikonstruksi dengan cara itu justru tidak valid, sekaligus tidak konstitusional. 

Mau tidak mau, suka atau tidak, hakim dan pemohon harus menyelam, memeriksa rincian argumentasi anggota MPR yang tergabung dalam PAH I BP MPR tahun 2001. Bahkan tahun-tahun sebelumnya. Tujuannya, tidak hanya menemukan konteks teks sebagai basis konstruksi atas konsep “partai politik atau gabungan partai politik” tetapi juga menemukan kehendak terdekat dan utama, setidaknya kehendak terkonfirmasi para pembentuk pasal itu.

Inferensi ini khas teknik, bukan metodologi. Inferensi ini membawa hakim mengatahui makna dan kandungan utama yang menajdi maksud pasal 6A ayat (2) itu. Hasil ini menjadi pijakan hakim menentukan hukum presidential threshold. Praktis, konstitusional atau tidak konstitusionalnya presidential threshold hanya dapat ditentukan dan dinyatakan secara valid setelah hukum pada pasal 6A ayat (2) dinyatakan. 

 Itulah jalan berkelas, jalan ilmu hokum. Jalan itulah yang harus dilalui hakim dalam menemukan dan menetapkan hukum yang valid atau konstitusional atas isu presidential threshold ini. Memeriksa rincian argumen atau gagasan anggota MPR yang tergabung dalam PAH I BP MPR 2001 adalah imperative. 

Bahkan hakim yang memeriksa perkara ini harus, tak ada pilihan, menyelami debat anggota PAH I BP MPR pada tahun 1999 dan 2000. Mengapa? Babakan ini  telah memunculkan gagasan-gagasan kritis tentang presiden seumur hidup, dan  Pak Harto yang berkali-kali dicalonkan menjadi presiden.   

John Marshal, Chief Justice Supreme Court Amerika, menempuh jalan itu. Jalan itu mengantarkan dirinya dan supreme Court menemukan hukum yang menyatakan Supreme Court memiliki wewenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara judicial review yang diajukan oleh Marbury. Hebat, dirinya dan putusannya melegenda. 

Dirinya dihormati dalam kehidupan, tidak hanya ketatanegaraan, tetapi juga keadilan, hingga kini. Top, John Marshal, yang ayahnya berteman dengan Presiden John Adam, melahirkan konsep original intention, terlepas dari debat mutakhir mengenainya. 

Sejarah merindukan hakim yang mau bekerja, memeriksa rincian gagasan yang saling bersaing antar  anggota PAH I BP MPR membentuk pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Memasuki medan interpretasi dengan memeriksa rincian debat PAH I BP MPR, menjadi perisai otoritatf hakim. Inilah cara tervalid menemukan hukum yang tepat tentang maksud otoritatif dan utama pasal 6A ayat (2) UUD 1945. 

Hukum yang ditemukan itulah satu-satunya pijakan mengualifikasi presidential treshold. Presidential threshold, dalam konteks itu terlihat bukan monster. Konstitusionalitasnya cukup terpercaya, sehingga tak harus dinolkan. Justru sebaliknya terlihat cukup rasional membuat treshold baru untuk jumlah partai yang dapat bergabung.**

 

Jakarta, 8 Januari 2022

 

 
Berita Terpopuler