Konsep Pemerintah Khusus di RUU Ibu Kota Negara tak Sesuai dengan UUD 1945

Pemerintah dan DPR akhirnya sepakati istilah 'pemerintah daerah khusus' di RUU IKN.

Antara/Akbar Nugroho Gumay
Presiden Joko Widodo meninjau lokasi rencana ibu kota baru di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (17/12/2019).
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Nawir Arsyad Akbar,

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengkritisi Rancangan undang-undang Ibu Kota (RUU IKN) yang mengatur pembentukan pemerintahan khusus IKN. Menurutnya, konsep pemerintahan khusus tak sejalan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Baca Juga

Feri menilai pemerintahan khusus IKN tak sesuai dengan Pasal 18b UUD 1945. Dalam pasal itu disebutkan, bahwa Indonesia mengakui pemerintahan daerah di mana terdiri dari provinsi, kabupaten, dan kota.

"(pemerintahan khusus IKN) Tidak tepat karena kalau dilihat UUD pasal 18 terang benderang Indonesia itu terdiri dari pemerintah daerah yaitu provinsi, kabupaten dan kota," kata Feri kepada Republika, Rabu (15/12).

Feri menganggap konsep pemerintahan khusus perlu diperbaiki. Ia menyarankan agar istilah yang digunakan ialah pemerintah daerah (pemda) khusus.

"Jadi tidak benar kalau ada pemerintahan khusus. Kalau pemda khusus itu masih masuk akal. Kalau pemerintahan khusus itu tidak dibenarkan. Konteksnya jadi sangat beda," ujar Feri.

Feri juga mengingatkan nantinya pemerintahan khusus IKN wajib dipimpin kepala daerah seperti halnya pemda.

"Jelas harus dinamakan pemda dipimpin gubernur, bupati dan wali kota walaupun pemda khusus formatnya sama. Jadi mungkin peristilahan harus hati-hati biar tidak tabrak kehendak UUD 45," lanjut Feri.

Selain itu, Feri menilai tak tepat bila Pemerintah Indonesia harus berkaca dengan pemerintahan negara lain dalam hal penentuan konsep Ibu Kota. Ia meminta Pemerintah Indonesia tetap berpatokan pada UUD 1945 karena perbedaan dasar negara dengan negara lain.

"Konsep dari distrik khusus seperti Washington D.C (Amerika) dan Canberra (Australia) itu pola konstitusinya mereka. Tentu berbeda. Kita harus ikuti pola konstitusi kita," ucap Feri.

Berbeda dengan Feri, pakar hukum tata negara Yusri Ihza Mahendra menilai, pembentukkan pemerintahan khusus IKN sah-sah saja dilakukan. Namun, ia menekankan pembentukkannya harus sesuai koridor UUD 1945.

"Sepanjang dibentuk dengan UU dan tidak bertentangan dengan norma konstitusi dalam UUD 45 tidak masalah," kata Yusril kepada Republika, Rabu (15/12).

Yusril tak sepakat bila pembentukkan pemerintahan khusus IKN akan menimbulkan polemik "negara di dalam negara". Menurut mantan Menkumham itu, penggunaan istilah pemerintahan khusus IKN sudah tepat.

"Kalau disebut Pemerintah Darerah Khusus seperti DKI Jakarta malah menimbulkan kontradiksi. Di satu pihak adalah “Ibu Kota Negara” yang langsung dikelola Pemerintah Pusat, tetapi di lain pihak adalah “Daerah” yang tuntuk pada UU Pemerintahan Daerah," ujar Yusril.

Anggota panitia khusus (Pansus) rancangan undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) Fraksi Partai Demokrat Muslim mengatakan, pihaknya telah menyepakati perubahan dari pemerintahan khusus menjadi pemerintah daerah khusus IKN. Namun meski hanya perubahan diksi, pendalaman terhadap RUU harus dilakukan kembali.

"Setelah perubahan terletak pada perubahan frasa pemerintah khusus IKN menjadi pemerintah daerah khusus IKN, namun tidak merubah substansi pendalaman. Artinya apa, kita dari Fraksi Partai Demokrat sementara ini masih kita pelajari dulu, karena kita juga bahan belum terima," ujar Muslim dalam rapat dengan pemerintah, Rabu (15/12).

Sementara itu, anggota Pansus Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ecky Awal Mucharam mengatakan bahwa pihaknya ingin agar Pasal 18b ayat (1) harus menjadi konsideran mengingat dalam penetapan perubahan menjadi pemerintah daerah khusus IKN. Pasalnya, pasti ada sejumlah konsekuensi dalam perubahan tersebut.

"Konsekuensi-konsekuensi terkait DIM (daftar inventarisasi masalah) dan konstruksi seperti apa kaitannya. Termasuk dengan isu otorita pertanahan dan sebagainya memang harus dipaparkan lebih dalam," ujar Ecky.

Wakil Ketua Pansus RUU IKN Saan Mustopa mengatakan, perubahan diksi menjadi pemerintah daerah khusus IKN tentu akan berimplikasi dengan DIM RUU IKN dari sembilan fraksi. Namun ia menilai, perubahan diksi tersebut tak mengubah substansi yang ada dalam RUU tersebut.

"Jadi saya tawarkan supaya waktu kita efisien dan efektif dan tidak mengurangi substansi dari pembahasan undang-undang ini, karena memang sudah menjadi komitmen kita," ujar Saan.

"Dengan waktu yang tersedia, kita ingin menghadirkan UU Ibu Kota Negara ini yang berkualitas dan tentu tidak mudah untuk digugat oleh orang lain," sambung politikus Partai Nasdem itu.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa juga mengatakan, pemerintah telah menyepakati nama pemerintah daerah khusus IKN)yang menggantikan diksi pemerintah khusus IKN. Ia menjelaskan, pemerintah daerah khusus IKN itu sifatnya adalah otorita.

Namun, pemerintah daerah khusus IKN ini hanya memiliki kewenangan untuk melakukan persiapan, pembangunan, dan pemindahan ibu kota. Ia berharap adanya pengecualian, bahwa otorita ini juga mengurus IKN nantinya.

"Pemerintahan daerah khusus IKN dan dikecualikan untuk pertama kali pemerintahan daerah khusus IKN ini untuk pertama melakukan persiapan, kemudian pembangunan, menjalankan fungsi-fungsi ini, dan pemindahan IKN dan dengan seiringnya dengan penyelenggaraan pemerintah negara," ujar Suharso dalam dalam rapat dengan panitia khusus (Pansus) RUU IKN, Rabu (15/12).

"Jadi artinya bahwa ibu kota negara itu ya diurusi oleh sebuah pemerintahan daerah khusus IKN  yang dinamakan otorita," sambungnya.

Dalam draf RUU IKN sebelum perubahan diksi tersebut, persiapan, pembangunan, dan pemindahan ibu kota negara akan dilaksanakan oleh pihak yang disebut sebagai Otorita IKN. Hal tersebut tertera dalam Pasal 1 ayat (1), berbunyi "Otorita Ibu Kota Negara yang selanjutnya disebut Otorita IKN adalah lembaga pemerintah setingkat kementerian yang dibentuk untuk melaksanakan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Khusus IKN […]".

Dalam Pasal 1 ayat (2), Otorita IKN akan dipimpin oleh seseorang yang akan disebut sebagai Kepala Otorita IKN. Posisi tersebut berkedudukan setingkat menteri yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan fungsi pemindahan ibu kota negara.

Kepala Otorita IKN akan didampingi oleh Wakil Kepala Otorita IKN. Ia adalah sosok wakil pimpinan yang bertugas membantu Kepala Otorita IKN atas pelaksanaan tugas dan fungsi Otorita IKN dalam pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan ibu kota negara.

Adapun dalam Pasal 12 draf RUU IKN, pemerintahan khusus IKN memiliki sejumlah kewenangan. Bunyi pasal tersebut, "Kewenangan Pemerintahan Khusus IKN […] dalam pengelolaan wilayah IKN […] mencakup seluruh urusan pemerintahan, kecuali urusan pemerintahan di bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama."

"Kemudian selain melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus di IKN, otorita ini diberi kewenangan untuk melakukan, menjalankan fungsi-fungsi persiapan, pembangunan, dan pemindahan ibu kota negara," ujar Suharso.

Perubahan diksi menjadi pemerintah daerah khusus IKN merupakan akomodasi pemerintah terhadap Pasal 18b ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Tujuannya agar tak terjadinya pelanggaran asas dalam pembentukan RUU IKN.

"Perubahan dari diksi pemerintahan khusus IKN menjadi pemerintah daerah khusus IKN. Kemudian ada perubahan konsep kelembagaan pemerintah IKN, sebatas fungsi pada persiapan, pembangunan, dan pemindahan ibu kota negara," ujar Suharso.

 

Ibu Kota Negara Pindah ke Kaltim - (Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler