Kasus Perkosaan Santri Munculkan Kembali Desakan Hukum Kebiri

Hukum kebiri di Indonesia belum berlaku karena belum ada kesepakatan eksekutor.

Republika
Negara memiliki kewajiban melindungi seluruh warganya, termasuk pelajar dan santri perempuan. Kasus pemerkosaan terhadap belasan santri di Bandung, Jabar, yang dilakukan gurunya sendiri membuat wacana hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual kembali mengemuka.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Haura Hafizhah, Nawir Arsyad Akbar, Antara

Perkosaan yang dilakukan guru pesantren terhadap 12 santriwatinya menuai amarah publik. Desakan untuk memberlakukan hukuman kebiri ke pelaku pemerkosaan dan kekerasan seksual pun kembali mencuat.

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia (Persandi) Wimpie Pangkahila menjelaskan, sebenarnya undang-undang mengenai kebiri kimia sudah ada, tinggal aturan pelaksanaannya. "Setelah dihukum penjara, dikenakan hukuman kebiri kimia. Tujuannya menghilangkan gairah seks dan kemampuan ereksinya, tetapi tentu ada efek samping lainnya," ujarnya saat dihubungi Republika, Jumat (10/12).

Ia menyebutkan, efek samping kebiri kimia di antaranya bisa bertambah gemuk, otot berkurang, tulang keropos, anemia, perasaan labil, cemas, hingga daya ingat terganggu. Terkait lama dampak, ia menambahkan, dampaknya tergantung berapa lama kebiri kimia diberikan.

Saat ini, katanya, sudah ada beberapa negara yang memberlakukan hukuman itu. Negara tersebut di antaranya Pakistan, Cekoslovakia, Amerika Serikat (AS), Ukraina, Nigeria, hingga Korea Selatan. "Bahkan Ceko telah memberlakukan operasi," kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Seksologi Indonesia (ASI) tersebut.

Meski sudah pernah dikemukakan sampai sekarang Indonesia belum menerapkan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. "Eksekusi hukum kebiri kimia di Indonesia belum pernah dilakukan. Pihak IDI dengan pemerintah atau eksekutor belum ada kesamaan pendapat tentang siapa eksekutornya," ujar Anggota Dewan Pakar Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Danardi Sosrosumihardjo.

Danardi mengatakan, bila dokter diminta sebagai eksekutor, maka tindakannya itu akan bertentangan dengan etika dan sumpah dokter. Setiap dokter disumpah harus bertindak untuk sesuatu yang bermanfaat bagi kesehatan pasiennya. Ia menambahkan, dalam sumpah dokter dikatakan bahwa dokter akan menghormati setiap hidup insani sejak pembuahan. "Sedangkan tindakan hukuman kebiri kimia adalah bersifat merusak," katanya.

Merusak dalam hal ini, dia melanjutkan, ketika kebiri membuat pria akan diinjeksi zat tertentu sehingga kadar testosteronnya menurun. Akibatnya, nafsu birahinya menurun hingga diharapkan keinginan seksual hilang. Efek sampingnya alat kelaminnya tak bisa ereksi.

Terkait kemungkinan pelaku kekerasan seksual yang bisa juga mengalami depresi, pria yang berprofesi sebagai dokter spesialis kejiwaan atau psikiatrer itu mengatakan ada dua kemungkinan. "Bisa ya, tapi bisa juga tidak. Banyak penyebab timbulnya gangguan depresi," ujarnya.

Kendati demikian, dia menegaskan, efek kebiri kimia ini tidaklah permanen. Semua itu bergantung pada berapa lama dihukum. Misalnya jika dihukum tiga tahun maka selama tiga tahun akan mendapat suntikan secara reguler agar kadar testosteronnya rendah. Setelah itu bisa pulih kembali.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual yang kian mencuat bukti hukuman kurang berat bagi pelaku. Hal inilah yang membuat banyak pelaku kekerasan seksual tak jera dengan hukuman yang ada saat ini. Ia mendukung adanya hukuman kebiri, bahkan hingga hukuman mati bagi pelaku pemerkosaan.

"Ini masalah memang sudah darurat. Kalau menurut saya pemberatan itu bukan hanya dengan kebiri, tapi juga sampai hukuman mati," ujar Hidayat.

Menurutnya, kedua hukuman tersebut dapat dikenakan kepada para pelaku kekerasan seksual, terutama pemerkosaan. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Bila itu seandainya itu bisa diberikan hukuman mati, kenapa tidak bagi mereka yang melakukan kejahatan kepada perempuan yang melakukan pemerkosaan, kejahatan seksual. Apalah dalam kondisi semacam ini, menurut saya hukuman maksimal itu bisa diterapkan," ujar Hidayat.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945, negara harus melakukan perlindungan kepada warga negaranya. Termasuk diberi kewenangan termasuk membuat perppu tentang kebiri, yang sebelumnya ditolak oleh Ikatan Dokter Indonesia IDI. "Perppu sudah dibuat dan tentu harapannya adalah rekan-rekan dari IDI memahami bahwa ini masalah memang sudah ya menyebutnya si bisa jadi darurat," ujar anggota Komisi VIII DPR itu.





Baca Juga

Dari segi hukum, pakar hukum pidana Suparji Ahmad mengatakan, pelaku perkosaan harus dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. "Aksi ini sangat ironis. Jadi, harus diusut tuntas dan proses hukum sesuai ketentuan yang berlaku. Tersangkakan, dakwa dan tuntut hukuman maksimal," katanya.

Kemudian, ia melanjutkan dalam hal ini kepolisian harus meningkatkan pengawasan terhadap semua pesantren supaya hal ini tidak terulang lagi. Begitupun, masyarakat juga harus lebih selektif lagi memilih pesantren. "Kepolisian harus mengawasi pesantren-pesantren agar tidak terjadi lagi kejadian yang merugikan para remaja ini," kata dia.

Ia menambahkan terkait Polda Jawa Barat yang sengaja tidak merilis kasus tersebut hendaknya dijelaskan alasannya. Apa karena untuk mencegah kegaduhan atau apa harus dijelaskan. "Ya yang penting sekarang harus ada pengawasan dan masyarakat juga berhati-hati serta awasi anak-anaknya yang berada di pesantren," kata dia.

Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi mendorong kepada masyarakat khususnya santri hingga mahasiswa agar berani melapor jika menjadi korban kekerasan seksual. Ia berharap tidak ada kasus perkosaan atau pelecehan seksual.

"Berharap kasus serupa tidak terjadi lagi. Mendorong para korban untuk berani melaporkan setiap tindakan mencurigakan atau tidak benar dari para oknum, siapapun itu," ujar Zainut dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Pernyataan itu disampaikan Zainut agar kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan guru pesantren, HW (36), terhadap santri di Kota Bandung, tidak terulang kembali. Zainut mengatakan Kemenag sudah mencabut izin operasional pesantren Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru yang dipimpin oleh HW.

Kemenag juga memberikan afirmasi terhadap peserta didik dan korban. Mereka dipulangkan dari pesantren untuk dapat meneruskan pendidikannya, baik di madrasah, sekolah umum, atau pendidikan kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah sesuai pilihannya.

"Upaya ini difasilitasi oleh Kementerian Agama Kabupaten/Kota sesuai domisili mereka," ujarnya.

Menurutnya, Kemenag akan bersinergi dengan KPAI untuk melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual. Pihaknya juga mendorong optimalisasi peran Dewan Masyayikh dalam mengawal penjaminan mutu pesantren, termasuk aspek perlindungan santri.

"Saya mendukung tindakan tegas kepolisian terhadap pelakunya dan diberikan sangsi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," kata dia.

Ia mengatakan masyarakat dapat berpartisipasi dalam mendorong terbentuknya wahana pendidikan karakter dan pembinaan moral di dalam masyarakat dan lingkungan pesantren. Partisipasi itu diperkuat melalui pasal 51 UU Pesantren. "Kemenag mengajak organisasi pesantren, ormas Islam, dan masyarakat untuk meningkatkan pembinaan dalam rangka pencegahan terjadinya kembali kekerasan seksual di lingkungan pendidikan," ujar Wamenag.

Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat menyebut guru sekaligus pemilik pondok pesantren berinisial HW (36) terancam hukuman 20 tahun penjara akibat perbuatannya yang memerkosa 12 santriwati hingga hamil dan melahirkan. Plt Asisten Pidana Umum Kejati Jawa Barat Riyono mengatakan HW kini berstatus sebagai terdakwa karena sudah menjalani persidangan. HW terjerat dengan Pasal 81 UU Perlindungan Anak.

"Ancamannya 15 tahun, tapi perlu digarisbawahi di situ ada pemberatan karena sebagai tenaga pendidik, jadi ancamannya menjadi 20 tahun," kata Riyono.

Dia menjelaskan aksi tak terpuji itu diduga sudah HW lakukan sejak tahun 2016. Dalam aksinya tersebut, ada sebanyak 12 orang santriwati yang menjadi korban yang pada saat itu masih di bawah umur. Sejumlah santri korbannya bahkan ada yang hamil dan melahirkan anak hasil perkosaan.

Tindakan Kebiri Kimia (ilustrasi) - (republika)








 
Berita Terpopuler