WHO: Varian Omicron Sudah Menyebar di 57 Negara

WHO ingatkan potensi peningkatan rawat inap Covid-19 akibat varian omicron.

EPA
Kapal pesiar milik Norwegian Cruise Line. Salah satu kapalnya yang berlabuh di New Orleans, AS pada Ahad ditemukan mengangkut 17 kru-penumpang positif Covid-19, salah satunya terinfeksi varian omicron.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, varian omicron telah menyebar di 57 negara. WHO juga memperingatkan bahwa jumlah pasien yang membutuhkan rawat inap kemungkinan akan meningkat seiring dengan penyebaran varian baru tersebut secara meluas.

Baca Juga

Dalam laporan epidemiologi mingguan, WHO mengatakan, butuh lebih banyak data untuk menilai tingkat keparahan Covid-19 yang disebabkan oleh varian omicron. Kemungkinan mutasi varian tersebut dapat mengurangi perlindungan yang diberikan vaksin Covid-19 yang saat ini beredar juga masih menjadi tanda tanya.
 
"Bahkan, jika tingkat keparahannya sama atau bahkan berpotensi lebih rendah daripada varian delta, maka rawat inap akan meningkat," ujar pernyataan WHO.
 
Pada 26 November, WHO menyatakan bahwa varian omicron yang pertama kali terdeteksi di Afrika selatan sebagai varian yang mengkhawatirkan. Varian omicron adalah strain SARS-CoV-2 kelima.
 
Jumlah kasus Covid-19 yang dilaporkan di Afrika Selatan naik berlipat ganda dalam sepekan. Hingga 5 Desember, jumlah kasus naik menjadi lebih dari 62 ribu. Peningkatan tertinggi terjadi di Eswatini, Zimbabwe, Mozambik, Namibia, dan Lesotho.
 
"Analisis awal menunjukkan bahwa mutasi yang ada dalam varian omicron dapat mengurangi aktivitas penetralan antibodi yang mengakibatkan berkurangnya perlindungan dari kekebalan alami," ujar WHO.
 
Kepala penelitian laboratorium di Institut Penelitian Kesehatan Afrika di Afrika Selatan, mengatakan, sebagian varian omicron dapat menghindari perlindungan dari dua dosis vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh Pfizer Inc dan BioNTech. Ilmuwan yang pertama kali mendeteksi galur baru omicron, Sikhulile Moyo, khawatir dengan varian Covid-19 yang bermutasi sangat cepat.
 
Kecepatan mutasi juga menimbulkan pertanyaan tentang evolusi varian Covid-19. Moyo, yang merupakan direktur Botswana Harvard HIV Reference Laboratory dan peneliti di Harvard TH Chan School of Public Health mengatakan, virus tidak mengakumulasi mutasi dalam satu langkah.

Moyo juga menyebut, sangat sulit untuk memahami dengan baik seberapa jauh varian omicron akan berkembang. Ia mengatakan, peneliti masih mencoba memahami berapa banyak mutasi yang muncul untuk omicron dalam waktu singkat. 
 
"Jika Anda melihat garis keturunan sebelumnya, jika Anda melihat alfa, jika Anda melihat beta, Anda dapat melihat mutasi terakumulasi dari waktu ke waktu," ujar Moyo, dilansir Alarabiya, Rabu (8/12).
 
Dunia Khawatirkan Varian Omicron - (Infografis Republika.co.id)
 

Salah satu teorinya adalah jenis ini atau varian omicron berkembang pada orang dengan kekebalan yang rendah dan bersarang di tubuh tersebut lebih lama dari biasanya. Hipotesis lain adalah apakah virus itu bisa berpindah dari manusia ke inang hewan, kemudian beradaptasi dengan inang itu dalam waktu yang relatif cepat, dan pindah kembali ke manusia.

 
Moyo pertama kali mengurutkan sampel pada 11 November. Sampel diambil dari diplomat asing yang diambil di Botswana.
 
Varian tersebut adalah B.1.1.263. Varian ini dikenal sebagai garis keturunan dari varian yang pertama kali terdeteksi pada awal April 2020.
 
Ketika mendeteksi lebih dekat varian B.1.1.263, Moyo melihat bahwa strain tersebut memiliki lebih sedikit mutasi. Setelah meminta informasi lebih lanjut dari Departemen Kesehatan Botswana tentang riwayat orang-orang yang diambil sampelnya, Moyo menemukan temuan varian baru dan memasukannya ke dalam database internasional pada 23 November. 
 
Beberapa jam kemudian, secara terpisah Afrika Selatan melaporkan hal serupa. Dengan banyaknya perubahan terhadap varian omicron, Moyo awalnya mengira ini akan menjadi virus yang lemah.
 
"Sebaliknya, varian (omicron) dapat mereplikasi dengan cepat dan menghindari bagian dari sistem kekebalan, menyebabkan risiko infeksi ulang yang lebih tinggi," ujar Moyo.

 
Berita Terpopuler