Korupsi ASABRI, JPU Tuntut Hukuman Mati untuk Heru Hidayat

JPU menuntut hukuman mati bagi terdakwa Heru Hidayat dalam kasus Asabri.

ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Terdakwa kasus korupsi Asabri Heru Hidayat (kanan)
Rep: Bambang Noroyono Red: Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut hukuman mati pada terdakwa Heru Hidayat. Bos PT Trada Alam Minera (TRAM) itu, dituntut maksimal karena dinilai terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang (TPPU) dalam pengelolaan dana investasi saham dan reksa dana milik PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). 

Baca Juga

JPU dalam tuntutannya mengatakan, negara dirugikan Rp 22,78 triliun dalam kasus tersebut. Dalam tuntutan yang dibacakan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta Pusat, pada Senin (6/12) malam, Heru Hidayat dikatakan jaksa terbukti melakukan perbuatan yang disangkakan dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Tipikor 31/1999-20/2001. Serta Pasal 3 UU TPPU 8/2010 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. JPU meminta majelis hakim tipikor, menyatakan terdakwa Heru Hidayat bersalah melakukan tindak pidana seperti dalam dakwaan tersebut bersama-sama dengan terdakwa lain.

"Menyatakan terdakwa Heru Hidayat terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang. Menghukum terdakwa Heru Hidayat, dengan pidana mati," begitu kata JPU di PN Tipikor, Jakarta, Senin (6/12). 

Selain meminta hakim menyatakan terdakwa Heru Hidayat bersalah, dan pantas dihukum pidana mati, JPU, dalam tuntutan lanjutan juga meminta pengadilan menghukumnya mengganti kerugian negara senilai Rp 12,64 triliun.  Tuntutan pengganti kerugian negara itu, selambatnya satu bulan setelah putusan hukum yang inkrah atau tetap oleh pengadilan. 

"Dengan ketentuan jika terpidana tidak membayar uang pengganti kerugian negara, maka harta bendanya akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti kerugian negara tersebut," ujar JPU. 

Dalam kasus korupsi dan TPPU PT Asabri, JPU menyatakan angka kerugian negara dari perbuatan Heru Hidayat bersama terdakwa lainnya mencapai Rp 22,78 triliun. JPU dalam pertimbangan penuntutan menyatakan, sejumlah alasan pemberatan yang membuat Heru Hidayat layak dipidana mati. Dikatatakan JPU, bahwa perbuatan terdakwa Heru Hidayat termasuk jenis tindak pidana luar biasa, atau extra ordinary crime

JPU menganggap, perbuatan Heru Hidayat, berbahaya bagi integritas bangsa, dan dianggap tak mendukung program pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme. Selain itu, dikatakan JPU perbuatan terdakwa adalah pengulangan.

 

Terdakwa Heru Hidayat, dalam kasus yang lain namun serupa, juga adalah terpidana penjara seumur hidup dalam perkara korupsi, dan TPPU PT Asuransi Jiwasraya. Dalam kasus tersebut, negara dirugikan senilai Rp 16,8 triliun. Adapun yang meringankan terdakwa Heru Hidayat, kata JPU, agar majelis hakim kesampingkan.  

"Bahwa hal-hal yang meringankan terdakwa Heru Hidayat selama persidangan, tidak sebanding dengan kerugian negara yang ditumbulkan dalam perbuatannya. Sehingga, agar hal-hal meringankan tersebut, patut dikesampingkan," kata jaksa.

Sebelum JPU membacakan tuntutan mati terhadap terdakwa Heru Hidayat, jaksa juga melakukan penuntutan terhadap nama lain yang terlibat dalam kasus tersebut. JPU, pada persidangan yang sama, Senin (6/12) juga menuntut hukuman 10 tahun penjara terhadap mantan Direktur Utama (Dirut) PT Asabri Letnan Jenderal (Letjen) Purnawirawan Sonny Widjaja. Selain meminta majelis hakim menghukum penjara, JPU juga meminta agar mantan Pangdam Jaya membayar uang pengganti dari hasil korupsi senilai Rp 64,5 miliar, serta denda Rp 750 juta.

Dalam kasus korupsi dan TPPU PT Asabri, ada delapan nama terdakwa yang sudah naik sidang. Selain Sonny Widjaja dan Heru Hidayat, mereka yang sedang menjadi pesakitan di pengadilan, adalah Mayor Jenderal (Mayjen) Purnawirawan Adam Rachmat Damiri yang juga pernah menjadi Pangdam Udayana. Dalam kasus ini, purnawirawan bintang dua itu, menjadi terdakwa terkait statusnya sebagai mantan Dirut PT Asabri 2009-2016. Selain itu, nama terdakwa lainnya, Bachtiar Effendi, Hary Setianto mantan pejabat sipil di PT Asabri. 

Adapun terdakwa lainnya, dari kalangan swasta, selain Heru Hidayat, adalah Benny Tjokrosaputro. Benny Tjokro, bos di PT Hanson Internasional (MYRX) tersebut juga terpidana penjara seumur hidup dalam kasus serupa di PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara Rp 16,8 triliun. Terdakwa swasta lainnya, adalah Jimmy Sutopo, dan Lukman Purnomosidi. Terhadap terdakwa lainnya, JPU belum membacakan tuntutan.

 

Menanggapi hal itu, tim pengacara terdakwa korupsi, dan pencucian uang (TPPU) PT Asabri itu mengatakan, bahkan tuntutan mati terhadap bos PT Trada Alam Minera (TRAM) itu, menyalahi aturan. Pengacara Kresna Hutauruk meminta, agar majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) tak mengabulkan tuntutan mati terhadap kliennya itu. 

"Tuntutan mati jelas adalah tuntutan yang berlebihan, dan menyalahi aturan," ujar Kresna dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Senin (6/12) malam. Kresna menjelaskan mengapa majelis hakim tak perlu mengabulkan tuntutan mati terhadap Heru Hidayat. Menurut Kresna, aturan soal vonis pidana mati dalam perkara korupsi, memang dimungkinkan. Tetapi, itu dikatakan dia, mengacu pada Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor 31/1999-20/2001.

Sedangkan perkara terhadap Heru Hidayat, JPU dalam dakwaan menjerat kliennya dengan sangkaan Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3 UU Tipikor. Meskipun kliennya itu juga dijerat dengan sangkaan Pasal 3 dan Pasal 4 TPPU, tetapi Kresna memastikan seluruh isi dakwaan JPU terhadap kliennya, tak ada menyertakaan tuduhan Pasal 2 ayat (2) yang membuka peluang hukuman pidana mati. Itu sebabnya, menurut Kresna, tuntutan JPU, berlebihan dan di luar jangkauan.

"Tuntutan di luar dakwaan ini kan jelas tidak sesuai aturan hukum, berlebihan, dan di luar kewenangan JPU," jelas Kresna. 

Kresna menambahkan, acuan tuntutan pidana mati dalam Pasal 2 ayat (2), pun bersyarat, dan tak asal-asalan. Sebab, Kresna menerangkan, pasal mematikan itu, mengharuskan adanya syarat pelaku korupsi dapat di pidana mati, jika melakukan perbuatannya pada saat negara dalam keadaan bencana alam, atau krisis monoter, serta adanya perbuatan serupa atau pengulangan tindak pidana. 

Kresna menjelaskan, dalam perkara kliennya, syarat-syarat untuk dapat menuntut mati kliennya itu, tak terpenuhi. "Di mana dalam perkara terdakwa Heru Hidayat ini, syarat dan kondisi sesuai dalam Pasal 2 ayat (2) itu, tidak ada," kata Kresna. 

Pun ia menjelaskan, alasan JPU menuntut mati Heru Hidayat lantaran melakukan tindak pidana korupsi berulang, dengan mengaitkan kasus serupa antara perkara Asabri dan PT Asuransi Jiwasraya yang dilakukan kliennya, juga rancu. Sebab dikatakan Kresna, mengacu KUH Pidana, defenisi tindak pidana yang berulang, mengharuskan orang tersebut, sudah menjalani masa pemidanaan.

"Pengertian pengulangan tindak pidana, orangnya harus dihukum dahulu, baru kemudian melakukan tindak pidana (kembali)," ujar Kresna. 

Sedangkan kaitan status hukum kliennya sebagai terpidana dalam kasus Jiwasraya, tak dapat menjadi alasan terjadinya perbuatan pidana pengulangan dalam perkara Asabri. Sebab mengacu penjelasan JPU sendiri, perbuatan korupsi dan TPPU Asabri yang dituduhkan kepada Heru Hidayat, terjadi pada periode 2012-2019. Sedangkan putusan pengadilan atas kliennya pada kasus Jiwasraya, baru terjadi pada 2020.

Dalam kasus Jiwasraya, Heru Hidayat, sudah inkrah sebagai terpidana seumur hidup karena merugikan negara Rp 16,8 triliun. "Sehingga, jelas ini bukan pengulangan," ujar Kresna. 

 

Sebab itu, Kresna meminta, agar majelis hakim PN Tipikor, menolak tuntutan JPU yang tak berlandaskan dakwaan. Kata dia, tuntutan yang tak mendasar ke dakwaan, dapat dinilai sebagai sikap hukum menyalahgunakan kewenangan. "Ini (tuntutan mati) bisa dianggap abuse of power," tegasnya.

 
Berita Terpopuler