Militer Myanmar Tabrakkan Mobil ke Kerumunan Aksi Protes

Militer Myanmar tabrakkan mobil ke kerumunan protes antikudeta pada Ahad (5/12).

Reuters
Demonstran berbaris di jalan selama protes di Yangon, Myanmar. Militer Myanmar tabrakkan mobil ke kerumunan protes anti-kudeta pada Ahad (5/12). Ilustrasi.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pasukan keamanan menabrakkan sebuah mobil di tengah kerumunan aksi protes anti-kudeta pada Ahad (5/12) pagi di Yangon. Setidaknya puluhan pengunjuk rasa terluka akibat insiden tersebut.

Sebuah mobil menabrak kerumunan aksi protes "flash mob" di Yangon. Insiden terjadi beberapa menit setelah aksi tersebut dimulai. Saksi mata mengatakan kepada Reuters bahwa polisi menangkap beberapa pengunjuk rasa.

“Saya tertabrak dan jatuh di depan truk. Seorang tentara memukuli saya dengan senapannya, tetapi saya membela diri dan mendorongnya mundur. Kemudian dia langsung menembak saya, kemudian saya kabur dengan pola zig-zag. Untungnya saya lolos,” kata seorang pengunjuk rasa yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena alasan keamanan.

Sebuah mobil sipil yang dikendarai tentara menabrak massa dari belakang. Pasukan militer kemudian menangkap dan memukuli para pengunjuk rasa. Menurut para saksi, beberapa pengunjuk rasa terluka parah, dengan luka di kepala dan tidak sadarkan diri. Seorang juru bicara junta tidak menanggapi permintaan komentar.

Protes antimiliter terus berlanjut sejak kudeta pada 1 Februari. Aksi protes yang tersebar sering kali merupakan kelompok kecil yang menyuarakan penentangan terhadap penggulingan pemerintahan terpilih, yang dipimpin oleh peraih Nobel Aung San Suu Kyi, dan kembalinya kekuasaan militer.

Sejauh ini, sekitar 1.300 orang telah terbunuh sejak aksi protes. Militer mengatakan pengunjuk rasa yang terbunuh melakukan penghasutan dan kekerasan.  

Sejak kudeta, perang dengan pemberontak etnis minoritas di daerah perbatasan terpencil di utara dan timur telah meningkat secara signifikan. Menurut PBB, konflik di perbatasan telah membuat puluhan ribu warga sipil mengungsi dan melarikan diri.

Baca Juga

Bulan lalu, tujuh negara menyerukan larangan penjualan senjata kepada militer Myanmar dan prihatin dengan peningkatan eskalasi kekerasan di negara tersebut. Tujuh negara itu, yakni Amerika Serikat (AS), Australia, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Korea Selatan, dan Inggris.

"Kami menegaskan kembali keprihatinan kami atas laporan pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung dan pelanggaran oleh Pasukan Keamanan Myanmar, termasuk laporan kredibel tentang kekerasan seksual dan penyiksaan, terutama di Negara Bagian Chin, Wilayah Sagaing, dan Wilayah Magwe," demikian pernyataan bersama tujuh negara tersebut dilansir Anadolu Agency.

Militer Myanmar telah membakar rumah, gereja, dan panti asuhan di Desa Thantlang di Negara Bagian Chin. Mereka juga menargetkan serangan terhadap kelompok-kelompok kemanusiaan. Lebih dari 40 ribu orang dilaporkan telah mengungsi di Negara Bagian Chin dan 11 ribu di Wilayah Magwe akibat kekerasan belum lama ini.

Ketujuh negara itu juga menyuarakan keprihatinan tentang tuduhan penimbunan senjata dan serangan oleh militer terhadap penduduk sipil. Termasuk bentrokan di negara bagian Rakhine pada awal November. Ketujuh negara tersebut mendesak militer Myanmar menghentikan semua pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan terhadap penduduk sipil.

Mereka juga menyerukan kepada masyarakat internasional untuk menangguhkan semua dukungan operasional kepada militer Myanmar. Termasuk menghentikan pengiriman senjata, material, peralatan penggunaan ganda, dan bantuan teknis kepada militer.

"Kami mendorong masyarakat internasional bekerja sama mencegah kekejaman pada masa depan di Myanmar, termasuk dengan mendukung keadilan dan akuntabilitas bagi mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman," begitu pernyataan tujuh negara itu.

 
Berita Terpopuler