Berdakwah di Dunia Virtual Sangat Menantang

Dunia digital merupakan salah satu medium potensial sebagai ladang dakwah.

kval.com
Dakwah bisa dilakukan melalui internet. Ilustrasi
Rep: Umar Mukhtar Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Oleh: Umar Mukhtar

Baca Juga

JAKARTA -- Dunia digital merupakan salah satu medium potensial sebagai ladang dakwah. Namun, ada tantangan yang mesti dihadapi para dai dalam menyelami dakwah dunia digital.

"Berdakwah di dunia virtual sangat menantang karena tidak ada sekat dan tidak ada etika," kata Intelektual Muslim dari Hobart and William Smith Colleges di New York AS, Prof Etin Anwar,, dalam agenda virtual Konferensi Dakwah dan Media Islam bertajuk 'Prospek Dakwah Digital di Era Pandemi: Peluang, Tantangan dan Dinamika' yang digelar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Selasa (30/11).

Etin menuturkan, ada pertanyaan terkait etika di dunia virtual, yakni apakah etika di dunia nyata bisa digunakan di dunia virtual. Menurutnya, etika di dunia nyata tidak bisa digunakan di dunia virtual, meskipun ada penjelasan mengenai etika di dalam dunia maya.

Adab membaca Alquran digital - (republika)

"(Misalnya) kita menciptakan etika di dunia virtual, tetapi bagaimanapun dunia maya ini diciptakan oleh para engineers, ahli IT, ahli artificial intelligence (AI), yang sudah tentu tidak berdasarkan etika Islam. Ini yang sangat menantang karena Indonesia ini sebagai users," katanya.

Karena itu, menurut Etin, perlu dipecahkan bagaimana Muslim tidak hanya berperan sebagai pengguna tetapi juga perancang. "Maka bagaimana merespons kebutuhan itu. Dan ini juga tantangan bagi kita bagaimana Fakultas Dakwah dan Komunikasi menjawab teknologi dan bagaimana kurikulum itu berjalan dengan cepat," ujarnya.

 

 

Etin juga memaparkan, dalam dunia virtual terdapat masalah etika, misalnya tentang hak asasi manusia, privasi, dan batas umur. Selain itu ada pula persoalan moralitas yang berkaitan dengan anak-anak, dan perbedaan budaya.

"Dalam hal ini, bagaimana jurusan-jurusan di Fakultas Dakwah ini bisa menargetkan persoalan etika dalam dunia digital. Termasuk juga persoalan kesehatan mental karena kita jarang sekali bercerita kesehatan mental dan ini kaitannya dengan dunia digital," tuturnya.

Tantangan lain yang juga perlu dipecahkan, menurut Etin, yaitu mengenai bagaimana menciptakan konten berbahasa Inggris atau bahasa Arab atau bahasa-bahasa lainnya yang berpotensi dilihat secara global. 

Tenaga Ahli Komisi Informasi Jabar, Mahi Hikmat mengungkap secara perlahan tapi pasti, ada percepatan minat masyarakat terhadap konten-konten yang ada di media daring atau yang berbasis platform digital. Angkanya naik di atas 50 persen. Artinya, yang menggunakan media digital itu terus meningkat.

"Peningkatan ini termasuk juga pengukuran waktu jam per jamnya. Maka seharusnya ini menjadi rujukan bagi semua pendakwah untuk hijrah menggunakan media berplatform digital," kata dia 

Mahi melanjutkan, ada sebanyak 54,68 persen penduduk Indonesia atau 143,26 juta penduduk Indonesia yang menggunakan media berplatform digital. Sehingga, dia menilai wajar bila para pendakwah beramai-ramai berdakwah melalui media digital. Menurutnya, ini merupakan keharusan meski perlu beradaptasi dengan konten.

 

Di era sekarang, menurut Mahi, para pendakwah bisa memilih bebas kontennya sehingga konten-konten dakwah pun menjadi ramai di jagat maya. Namun, meski jumlahnya banyak, terkadang konten dakwah yang yang dihadirkan secara digital menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat.

"Tapi itu sebetulnya tidak dapat dihindari di dunia maya terkait konten dakwah. Maka inilah yang harus dikuatkan, bagaimana mencetak pendakwah-pendakwah di era kebebasan yang luar biasa ini dalam menyajikan konten dakwah, yang tentunya tetap berdasarkan Alquran dan hadits," kata dia.

Menurut Mahi, mungkin tidak sedikit masyarakat yang ragu terhadap konten dakwah yang ada di media digital. Apalagi jika pendakwahnya terbilang pendatang baru atau tidak memiliki latar belakang keagamaan yang cukup. Hal ini bermunculan di era kekinian karena mereka punya sarana untuk belajar menggunakan teknologi digital.

"Maka yang terpenting adalah komitmen pendakwah untuk menguatkan konten sehingga konten-konten dakwahnya tetap terkendali karena merujuk pada Alquran dan hadits atau kaidah lain berdasarkan kesepakatan ulama. Ini penting agar umat tidak kebablasan dalam melakukan tindakan-tindakan," katanya.

Dakwah islamiyah (ilustrasi). - (blogspot.com)

Akademisi dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Moch Fakhruroji menyampaikan, di jagat maya, otoritas keagamaan dari seseorang bersifat cair sehingga hal ini menjadi tantangan dan perlu dikuatkan kembali.

Misalnya, dia mengatakan, seorang Muslim bisa berdakwah ketika memiliki pemahaman keagamaan yang cukup. Atau punya relasi dengan tokoh atau institusi keagamaan yang bersifat otoritatif seperti pernah mengenyam pendidikan di pesantren.

"Namun diperlukan kajian mendalam tentang berbagai macam praktik baru dalam dakwah. Kajian dakwah ini kajian paling elastis, jadi harusnya bisa menyesuakan sehingga tidak perlu menganggap pendatang baru sebagai ancaman," jelas dia.

 

 

Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof Dr Asep Saeful Muhtadi mengingatkan, peningkatan efisiensi dakwah melalui media digital belum tentu menambah efektivitas. Sebab, ada cara tersendiri bagaimana proses komunikasi bisa menjadi efektif atau tidak. Di sisi lain, dengan media digital, dakwah menjadi riskan dikomodifikasi dan terjebak pada komersialisasi.

Asep berpendapat, sisi negatif kehadiran media untuk kepentingan dakwah adalah riskan dikomodifikasi. Dakwah menjadi rentan dikomersialisasi, karena hampir tidak mungkin orang bisa mengkomodifikasi apapun termasuk dakwah, tanpa media.

Komodifikasi adalah sebuah proses transformasi barang atau jasa yang semula dilihat karena nilai gunanya menjadi sebuah komoditas karena bisa mendatangkan keuntungan. Kemudian dikemas menjadi sesuatu yang menarik, menjanjikan dan bermanfaat.

"Sehingga banyak orang yang memanfaatkan media untuk sebuah popularitas," kata dia.

Dampaknya, seorang dai dapat lebih mengedepankan popularitas ketimbang substansi. Dalam kondisi ini, jika dakwah dipandang dalam perspektif menguntungkan, maka tidak menutup kemungkinan proses pengemasan kegiatan dakwah menjadi jauh lebih penting dibandingkan proses substansi dari dakwah itu sendiri.

"Semula dakwah yang mencerahkan pemahaman keagamaan, maka bisa saja digeser untuk bisa memberikan keuntungan," jelasnya.

 

 

Di era disrupsi ini pula, pendakwah bisa kehilangan peran dan fungsinya karena telah terjadi perubahan dasyat dalam tatanan kehidupan. Karena itu, jika tidak terampil atau tidak punya literasi yang memadai untuk memanfaatkan media, maka fungsi dan perannya bisa saja lenyap.

 

"Media (digital) memang ada positifnya, tetapi jika tidak berhati-hati, maka itu bisa menjanjikan faktor negatifnya juga," tuturnya.

 
Berita Terpopuler