Petani Palestina Menderita Krisis Iklim

Tak sedikit petani Palestina mengandalkan lahannya sebagai sumber pencaharian

AP/Adel Hana
Petani Palestina memetik stroberi segar dari kebun keluarganya, pada dini hari di Beit Lahiya, Jalur Gaza utara, Rabu, 6 Januari 2021.
Rep: Mabruroh / Rr Laeny Sulistyawati Red: Esthi Maharani

IHRAM.CO.ID, YERUSALEM -- Petani Palestina mengalami krisis iklim yang berkepanjangan menyebabkan penghasilan mereka mengalami banyak penurunan bahkan kerugian. Padahal tidak sedikit dari mereka hanya mengandalkan lahan pertaniannya sebagai sumber pencaharian.

Ahmed Abu Saeed adalah salah satu petani yang memiliki 1,5 hektar tanah yang ditanami pohon persik, prem dan almond. Tetapi tahun ini, ia tidak bisa panen karena kekurangan air.

"Lima tahun lalu, pohon plum ini biasa menghasilkan sekitar 300 kilogram buah dalam satu musim, tapi tahun ini, semua tanah saya menghasilkan kurang dari 50 kilogram buah karena kenaikan suhu, kurangnya hujan, dan perang 11 hari Israel," kata Abu Saeed (46) dilansir dari Middle East Eye, Senin (29/11).

Abu Saeed adalah salah satu dari banyak petani di Jalur Gaza yang terkepung yang telah menyaksikan bagaimana pertanian di daerah kantong Palestina telah menderita dalam beberapa tahun terakhir, karena efek gabungan dari perubahan iklim dan dampak pendudukan Israel. Panen yang sedikit telah membuat hidup lebih genting bagi pekerja pertanian yang sudah berjuang di wilayah miskin. Mereka pun diselimuti kekhawatiran bahwa situasinya hanya akan bertambah buruk.

"Hujan dan dingin sangat penting untuk tanaman saya, yang berbunga di musim semi. Pada bulan Maret tahun ini, angin musim panas datang dan merusak sebagian besar bunga. Begitu saya melihat itu, saya tahu bahwa saya akan kalah musim ini,” jelas Abu Saeed.

Beberapa tanaman menjadi jauh lebih sulit untuk dibudidayakan di Gaza selama bertahun-tahun karena perubahan iklim. Hal ini menyebabkan beberapa petani meninggalkan buah prem, persik dan almond dan menggantinya dengan buah dan sayuran lain yang lebih tahan terhadap perubahan kondisi cuaca.

Baca Juga

Salameh al-Qarnawi (47),  menghadapi dilema yang sama sepertihalnya Abu Saeed. Dia menyewa enam hektar tanah yang ditanami pohon zaitun dan menanggung kerugian besar tahun ini karena perubahan iklim.

“Sepuluh tahun yang lalu, total produksi zaitun di tanah saya sangat bagus, bahkan lima tahun terakhir bagus,” katanya kepada MEE.

Tahun ini adalah yang terburuk dalam hidupnya hingga untuk biaya pupuk dan sewa tanah pun tidak mencukupi. Ia berharap musim dingin tahun depan dapat segera tiba tepat waktu, terutama musim dingin 40 hari yang biasanya datang sekitar Januari.

"Musim dingin sangat penting bagi pohon zaitun untuk menghasilkan bunga, dan kemudian, buah," kata Qarnawi.

Karena Januari tahun ini agak hangat sehingga pohon zaitunnya tidak berbunga dengan baik, dan hari-hari yang sangat dingin justru datang pada akhir Februari.

Mohammed Abu Matwy (63) juga melihat tanaman anggurnya menderita karena kurangnya curah hujan di 9,9 hektar lahan pertaniannya di dekat al-Nuseirat. Ia juga harus memasang jaringan irigasi dan membeli generator bahan bakar untuk kenyirami pohon.

Biaya generator 22.000 shekel atau sekitar 7.000 (Rp 100 juta) dan ia telah berhutang untuk pupuk, bahkan ketika tanaman merambatnya hanya menghasilkan 10 ton anggur tahun ini. Ini lima atau enam kali lebih sedikit dari biasanya.

"Saya tidak punya pilihan lain karena perubahan iklim, kalau tidak pohon-pohon akan mati,” tambahnya.

Fadel al-Jadba, direktur departemen hortikultura untuk Kementerian Pertanian di Gaza, mengatakan telah terjadi penurunan nyata dalam produksi pertanian dalam dekade terakhir di daerah kantong Palestina. Jadba mencontohkan wilayah zaitun, simbol penting di Palestina.

Pada 2010, Gaza memilikin 4.155 hektar pohon zaitun yang menghasilkan 15.386 ton buah zaitun, sedangkan pada 2021, hanya 8.117 hektar yang ditanami pohon zaitun dan hanya menghasilkan 10.000 ton buah.

"Dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air di Gaza sangat mencolok. Tahun lalu Gaza mengalami tidak lebih dari 30 hari hujan, dibandingkan dengan 42 hari hujan pada 2018," kata Karam Al-Aour, seorang spesialis lingkungan di Otoritas Air di Gaza.

Meskipun jumlah hari hujan telah menurun selama beberapa tahun terakhir, kejadian cuaca ekstrem meningkat yang berarti jumlah hujan yang turun dalam satu hari meningkat. “Ini fenomena negatif karena curah hujan yang begitu tinggi masuk ke laut dan tidak mengisi akuifer, artinya level akuifer kemudian turun, karena tidak mampu menyerap air hujan dalam jumlah besar dalam waktu singkat," tuturnya.

Pemanasan global telah sangat mempengaruhi tanaman di Gaza, seperti anggur, zaitun, dan jambu biji mengalami penurunan tajam jumlah hasil panen. Menurut Nizar al-Wahidi, tanaman yang lebih cocok untuk musim panas dan musim dingin yang sejuk dan kering, adalah kurma, sebagai alternatif, pensiunan pertanian.

 
Berita Terpopuler