Pemerintah Klaim tak Sulit Perbaiki UU Cipta Kerja

Perbaikan UU Cipta Kerja dinilai tak perlu masuk program legislasi nasional di DPR.

ANTARA/Rivan Awal Lingga
Ketua Majelis Hakim Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Aswanto (kiri) dan Saldi Isra (kanan) memimpin sidang putusan gugatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan tersebut, namun demikian UU Cipta Kerja harus diperbaiki hingga dua tahun ke depan.
Rep: Nawir Arsyad Akbar, Rizki Suryarandika Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Benny Riyanto menilai, pemerintah tak akan kesulitan untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Bahkan, ia menyebut perbaikannya tak perlu melahirkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).

"Pemerintah tidak terlalu sulit untuk memenuhi apa yang dimaksud oleh amar putusan MK itu. Jadi kalau menurut saya karena itu sampelnya jelas, kita tidak perlu melahirkan perppu," ujar Benny dalam sebuah webinar yang dikutip Senin (29/11).

Namun, ia menegaskan bahwa pernyataannya tersebut tak mewakili pemerintah yang ditugaskan oleh MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Meskipun Benny menilai perbaikan tak akan sulit dilakukan pemerintah dan DPR.

"Sehingga kita pun tidak terlalu sulit untuk memenuhi itu, memperbaiki regulasi yang ada. Baik itu terhadap Undang-Undang 11 Tahun 2020 sendiri dengan kemungkinan ada beberapa kritik berkait dengan typo, juga terhadap UU Peraturan Pembentukan Perundang-undangan," ujar Benny.

Di samping itu, perbaikan UU Cipta Kerja yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR tak perlu memasukkannya ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Pasalnya, omnibus law tersebut masuk ke dalam daftar kumulatif terbuka.

"Sehingga kita setiap saat tanpa harus memasukkan dalam Prolegnas, kita bisa melakukan revisi atas Undang-Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja. Karena itu termasuk karena amanah putusan MK, maka masuk ke dalam daftar kumulatif terbuka," ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu.

Baca Juga

Dalam forum yang sama, mantan ketua MK Hamdan Zoelva menilai putusan dari lembaga yang pernah dipimpinnya itu terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasalnya jika dibatalkan, hal tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang baru.

"Kalau dinyatakan serta merta tidak berlaku, memang dampaknya sangat luas dan banyak sekali perdebatan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang baru," ujar Hamdan.

Jika UU Cipta Kerja dibatalkan dan tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, undang-undang mana yang akan digunakan oleh pemerintah dalam mengeluarkan kebijakannya. Termasuk dalam pemberlakuan aturan pelaksanaanya.

"Lalu bagaimana implementasinya di lapangan itu, bagaimana statusnya, kemudian UU yang mana yang akan berlaku. Kalau memberlakukan undang-undang yang lama, apakah ikutan PP yg lama yang berlaku, jadi ini akan menimbulkan kekacauan baru," ujar Hamdan.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR yang juga panitia kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Ledia Hanifa menyarankan DPR dan pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Pokok revisi UU PPP tersebut membuat pengaturan terkait tata cara pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law.

"Berdasarkan ketentuan UU yang mengatur tentang tata cara pembentukan UU dengan metode omnibus law tersebut, pemerintah kemudian mengajukan RUU baru dalam rangka memperbaiki UU Cipta Kerja sebagaimana amanat putusan MK," ujar Ledia.

Ia menjelaskan, sesungguhnya metode omnibus law sendiri tidak memiliki dasar hukum. Pasalnya, dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang PPP tidak mengatur metode tersebut. "Proses, tahapan, dan prosedur RUU perbaikan terhadap UU Cipta Kerja tersebut harus dipastikan taat asas dan prosedur sesuai dengan pedoman yang disepakati," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai UU Cipta Kerja menggunakan metode omnibus law yang meniru Amerika Serikat dan Kanada. Namun, metode tersebut berbenturan dengan UU PPP. "Tidak heran dan tidak kaget jika MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional, masih bagus MK hanya menyatakan inkonstitusional bersyarat. Kalau murni inkonstitusional, maka pemerintah Presiden Jokowi benar-benar berada dalam posisi yang sulit," ujar Yusril.

Yusril mengatakan, dalam UU PPP, setiap pembentukan peraturan maupun perubahannya, secara prosedur harus tunduk pada undang-undang tersebut. Adapun dalam undang-undang tersebut, tak mengatur metode omnibus law. "Sebab itu, ketika UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan meniru gaya omnibus law diuji formil dengan UU Nomor 12 Tahun 2011, UU tersebut bisa dirontokkan oleh MK," ujar Yusril.

 
Berita Terpopuler