AS Ingatkan Israel Jangan Ancam Serang Iran, Ini Bahayanya

PM Naftali Bennett isyaratkan kesiapan Israel meningkatkan konfrontasi dengan Iran.

AP/Iranian Revolutionary Guard/Sepa
Dalam foto file ini dirilis 16 Januari 2021, oleh Pengawal Revolusi Iran, sebuah rudal diluncurkan dalam sebuah latihan di Iran. Upaya awal pemerintahan Biden untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015 mendapat tanggapan awal yang dingin dari Teheran. Meskipun hanya sedikit yang mengharapkan terobosan di bulan pertama pemerintahan baru, garis keras Iran menunjukkan jalan yang sulit di depan.
Rep: Rizky Jaramaya/Kamran Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Otoritas Israel berulangkali menebar ancaman untuk menyerang Iran. Ancaman tersebut terkait dengan program nuklir Iran.

Namun para pejabat AS telah memperingatkan bahwa pertimbangan berulang Israel untuk menyerang fasilitas nuklir Iran akan sangat kontraproduktif. Ancaman serangan tersebut justru dapat menyebabkan Teheran mempercepat program nuklirnya.

New York Times melaporkan, pejabat Israel yang dikonfirmasi menepis peringatan AS tersebut. Pejabat Israel yang tidak disebutkan namanya mengatakan, mereka tidak memiliki rencana untuk menghentikan opsi serangan terhadap fasilitas Iran.

Baca Juga

Perdana Menteri Israel Naftali Bennett dalam keterangannya juga mengisyaratkan kesiapan negaranya meningkatkan konfrontasi dengan Iran. Dia menegaskan, Israel tidak akan terikat dengan kesepakatan nuklir baru yang kini tengah dinegosiasikan Iran dan Amerika Serikat (AS).

Bennett mengungkapkan, saat ini Iran sudah berada pada tahap paling maju dalam program nuklirnya. Meski sebelumnya pernah mengatakan akan terbuka pada kesepakatan nuklir baru dengan pembatasan lebih ketat terhadap Iran, Bennett menekankan kembali otonomi Israel untuk mengambil tindakan terhadap musuh bebuyutannya tersebut.

Mengenai potensi keberhasilan Iran dan AS memulihkan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), Bennett menekankan Israel bukan pihak dalam perjanjian tersebut. “Israel tidak diwajibkan oleh kesepakatan itu,” ujarnya dalam sebuah konferensi pada Selasa (23/11), dikutip laman Al Araby.

Israel berulangkali menyuarakan penolakan saat pemerintahan Presiden Joe Biden mengumumkan niatnya membawa kembali AS ke JCPOA. Bennett pun menyinggung tentang sudah terjadinya bentrokan dalam skala kecil antara Israel dan kelompok gerilya atau milisi yang didukung Iran di kawasan. “Iran telah mengepung Israel dengan rudal, sementara mereka duduk dengan aman di Teheran,” ucapnya.
 

Operasi intelijen Israel

Selama dua tahun terakhir, operasi intelijen Israel telah dikaitkan dengan ledakan besar di empat fasilitas nuklir, dan pembunuhan kepala ilmuwan nuklir Iran Mohsen Fakhrizadeh.

Terlepas dari serangan ini, Iran dengan cepat melanjutkan operasi nuklir dan meningkatkan peralatan untuk memungkinkan pengayaan uranium yang lebih cepat. Para pejabat AS juga mencatat bahwa Iran telah meningkatkan sistem pertahanannya terhadap serangan siber.

Masalah ini telah menjadi salah satu dari banyak perbedaan antara pejabat Israel dan Amerika tentang bagaimana menangani program nuklir Iran.  Washington di bawah Presiden Joe Biden mengedepankan diplomasi sebagai jalan terbaik ke depan. Sementara Israel menekankan untuk mempertahankan diri terhadap kemampuan nuklir Iran.

"Iran tidak akan membuat konsesi hanya karena kami meminta mereka dengan baik," ujar penasihat keamanan nasional Israel, dilansir Al Arabiya, Selasa (23/11).

Pekan lalu, pengawas atom PBB meyakini Iran telah meningkatkan persediaan uranium yang diperkaya. Hal ini melanggar kesepakatan nuklir 2015 atau Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) dengan enam kekuatan dunia.

Dalam laporan triwulan, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan bahwa Iran memiliki perkiraan stok uranium yang diperkaya hingga 60 persen kemurnian fisil sebanyak 17,7 kilogram. Jumlah ini meningkat dari sebelumnya yaitu 10 kilogram.

Para pejabat AS telah mempertimbangkan kemungkinan kesepakatan sementara dengan Iran. Kesepakatan tersebut yaitu membekukan produksi uranium yang diperkaya, dengan imbalan pelonggaran sejumlah sanksi. Hal ini diharapkan dapat mengulur waktu untuk negosiasi JCPOA, dan menjaga Israel agar tidak mengebom fasilitas Iran.

Diplomat senior dari China, Prancis, Jerman, Rusia, dan Inggris berencana untuk bertemu dengan pejabat Iran di Wina pada 29 November. Mereka akan berupaya membujuk Teheran untuk kembali mematuhi kesepakatan JCPOA.

Amerika Serikat di bawah pemerintahan mantan Presiden Donald Trump, telah keluar dari JCPOA secara sepihak pada 2018. AS kemudian menerapkan kembali sanksi yang melumpuhkan perekonomian Iran.

Sejak menjabat pada Januari lalu, Presiden AS Joe Biden telah menyatakan niatnya untuk kembali ke kesepakatan JCPOA. Namun, negosiasi gagal membuahkan hasil. Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Ali Bagheri Kani, dan pemimpin tim perunding Iran di Wina, mengatakan bahwa Washington harus menerima kenyataan dan setuju untuk mencabut semua sanksi terhadap Teheran.

"Dipercaya secara luas bahwa Amerika Serikat, dengan menarik diri dari JCPOA, melanggar kesepakatan secara terang-terangan. Iran telah melangkah jauh dan bersabar, jika pembicaraan Wina tidak membuahkan hasil, Iran akan terus mengandalkan kemampuan dan kapasitas domestik," ujar Kani kepada Aljazirah.

Utusan khusus AS untuk Iran, Robert Malley, mengatakan, Washington akan mempertimbangkan opsi lain jika kesepakatan tidak dapat dicapai.  Namun, The New York Times melaporkan, sebagian besar penasihat Biden ragu bahwa sanksi baru akan berhasil menekan Iran untuk mengubah arah.

 
Berita Terpopuler