Tantangan FKUB di Era Digital yang Kian Berat

Tidak sedikit informasi yang negatif itu bisa memicu konflik antar umat beragama. 

BPMI/Setwapres
Wakil Presiden Maruf Amin.
Rep: Fauziah Mursid/Fuji E Permana  Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tantangan yang dihadapi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), sekarang ini, semakin berat. Hal ini terutama di era digital yang memungkinkan semua informasi menyebar dengan begitu cepat.

"Akan tetapi, tantangan yang dihadapi FKUB sekarang ini tidak berarti tidak ada, bahkan tantangan semakin berat," ujar Wakil Presiden Ma'ruf Amin di acara Pekan Kerukunan Internasional dan Konferensi Nasional FKUB ke-6 se-Indonesia, dalam keterangan yang dirilis Sekretariat Wakil Presiden, Jumat (19/11).

Kiai Ma'ruf menjelaskan, di era digital seperti saat ini seluruh informasi tersebar dengan cepat, baik positif maupun negatif. Menurutnya, tidak sedikit informasi yang negatif itu bisa memicu konflik antar umat beragama melalui narasi konspiratif dan berita bohong (hoax).

Wapres menilai, tujuan penyebaran berita bohong itu tidak lain untuk mengadu domba umat. Wapres mengatakan, penyebaran berita negatif ini jauh lebih cepat dibandingkan berita yang sudah dikonfirmasi kebenarannya.

"Berita bohong itu berkembang lebih cepat seperti deret ukur dibandingkan dengan berita yang bersifat konfirmatif (pelurusan berita) yang seperti deret hitung," kata Kiai Ma'ruf.

Selain itu, perkembangan teknologi informasi berbasis digital juga berdampak pada kemampuan kurasi algoritma terhadap setiap informasi. Ia menjelaskan, dengan 'kurasi algoritma', menggiring setiap orang atau kelompok orang meyakini hanya terhadap informasi yang dipasok dari kelompoknya sebagai kebenaran. Sementara kelompok lain, berpedoman pada kebenaran yang diyakini kelompoknya sendiri.

Hal ini akan mengakibatkan terjadinya keterbelahan sosial dalam hal ini keterbelahan antar umat beragama. "Ini adalah salah satu tantangan yang harus dijawab oleh FKUB agar kerukunan umat beragama tetap terjaga dan terpelihara. Saya mengharapkan forum ini juga membahas tantangan tersebut secara mendalam serta menyiapkan langkah antisipasinya," kata Ketua Dewan Pertimbangan MUI tersebut.

 

Kerukunan Muslim-Kristen 

 

Umat Muslim dan Kristiani telah hidup rukun berdampingan sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bahkan, di kalangan masyarakat Papua Barat--khususnya tokoh-tokoh agama dan masyarakat--menyadari betul kerukunan yang terjalin adalah warisan nenek moyang atau orang-orang terdahulu. 

Sejarah tersebut membuat ikatan kerukunan antarumat beragama di tanah Papua Barat selalu terjaga dengan baik. Di samping itu, kearifan lokal yang dikenal sebagai 'Satu Tungku Tiga Batu' juga menjadi pondasi kerukunan umat beragama di Papua Barat.

Meski demikian, tokoh-tokoh agama dan masyarakat di Papua Barat tetap harus menjaga kerukunan lewat peran, tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Untuk itu, mereka berharap pemerintah pusat maupun daerah lebih bisa bersinergi lagi dengan tokoh-tokoh agama dalam rangka merawat kerukunan umat beragama.

Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Papua Barat, Ustaz Ahmad Nausrau, mengatakan, kerukunan antarumat beragama yang terjalin baik di Papua Barat bukan hal yang baru. Kerukunan yang terjalin baik sudah dicontohkan oleh nenek moyang atau orang-orang terdahulu.

Pada 5 Februari 1885, Sultan Tidore membawa dua orang misionaris asal Belanda dan Jerman ke Pulau Mansinam, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Dua misionaris tersebut adalah Pendeta Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler.

"Dua orang misionaris ini dibawa ke Pulau Mansinam oleh Sultan Tidore, pada masa itu Sultan Tidore menguasai wilayah Papua," kata Ustaz Nausrau kepada Republika, Kamis (18/11).

Ia menceritakan, dua orang misionaris tersebut difasilitasi dan disediakan kapal untuk mengantar mereka ke Pulau Mansinam. Bahkan, para hulubalang Kesultanan Tidore mengantarkan dua misionaris tersebut sampai selamat ke Pulau Mansinam. Sejarah itulah yang menjadi dasar penyebaran agama Kristen di tanah Papua.

Menurutnya, mungkin saja tanpa bantuan Sultan Tidore, di tanah Papua agama Kristen tidak akan berkembang pesat. Melihat sejarah ini, bisa disimpulkan bahwa kerukunan antarumat beragama di tanah Papua sudah ada semenjak Negara Indonesia belum berdiri.

Ia menceritakan, di wilayah Kabupaten Fakfak dan Kaimana ada kearifan lokal yang menjadi pondasi kerukunan di Papua Barat. Yaitu 'Satu Tungku Tiga Batu' sebagai filosofi kerukunan yang terjalin baik di tanah Papua Barat.

Kearifan lokal ini melambangkan kerukunan umat beragama di Papua Barat, di antaranya agama Islam, Protestan dan Katolik. Jadi, di dalam satu keluarga atau satu marga itu sudah biasa terdiri dari Muslim, Protestan dan Katolik. Jadi diibaratkan sebagai satu tungku, tiga batu.

"Meski mereka berbeda keyakinan, namun dalam kehidupan sosial masyarakatnya, mereka saling membantu, saling bahu-membahu satu sama lain," ucap Ustaz Nausrau.

Anggota FKUB Papua Barat perwakilan umat Katolik, Abraham Yumte, mengatakan, ada hal-hal yang mendasari kerukunan umat beragama di Papua Barat. Pertama, dari sisi sejarah, Injil masuk ke tanah Papua berkat kapal Sultan Tidore mengantarkan misionaris ke Papua Barat.

"Sultan Tidore itu Islam, tapi mengantarkan dua pendeta itu sampai ke tanah Papua, sehingga dari segi historis kami sudah rukun dari dulu," ujarnya.

Selain itu, cia mengatakan, ada kearifan lokal yang disebut 'Satu Tungku Tiga Batu' karena dalam satu keluarga ada tiga agama. Di antaranya Islam, Protestan dan Katolik. Sehingga masyarakat Papua Barat dapat tetap rukun hingga sekarang.

 

Perlu dukungan pemerintah

Dalam rangka berupaya merawat dan menjaga kerukunan yang telah terjalin baik di Papua Barat, Ustaz Nausrau, mengatakan, pemerintah pusat perlu terus memberikan dukungan ke masyarakat Papua Barat. Supaya kerukunan dan toleransi di Papua Barat yang sudah terjalin baik semakin baik.

Menurutnya, penghargaan dari pemerintah tidak boleh hanya sekedar basa-basi tapi harus diwujudkan dalam bentuk yang nyata. Sehingga bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Papua Barat.

"Tokoh-tokoh agama di Papua Barat harus diberi penghargaan oleh pemerintah pusat, FKUB harus didukung dan dibantu, lembaga-lembaga agama harus diberi penghargaan yang layak oleh pemerintah pusat," ujarnya.

Dia mengatakan, dengan adanya dukungan dari pemerintah pusat, FKUB di tingkat provinsi dan kabupaten kota beserta lembaga-lembaga agama bisa semakin berdaya untuk menjaga kerukunan. Sebab dalam upaya menjaga kerukunan, tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah.

Abraham juga berharap, pemerintah lebih memberikan afirmasi untuk masyarakat Papua Barat dengan cara membantu pembangunan rumah-rumah ibadah di Papua Barat.

Menurutnya, FKUB juga perlu didukung oleh pemerintah, sehingga program pembinaan dan pemberdayaan bisa dilakukan dan dimulai dari tingkat paling bawah seperti desa atau distrik. Sebab kerukunan harus dibangun dari kampung ke distrik terus ke tingkat kabupaten atau kota.

 

Dia mengatakan, kalau FKUB berdaya dan memiliki dana, program merawat dan menjaga kerukunan dapat berjalan normal. Sebab, selama ini, tanpa dukungan yang cukup dari pemerintah, FKUB ada yang mampu menjalankan program tapi ada juga yang tidak mampu menjalankan programnya.

 
Berita Terpopuler