Bisakah Kita Bertahap Hentikan Konsumsi Batu Bara?

COP26 menyepakati penghentian penggunaan batu bara secara bertahap.

Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Pakta Iklim Glasgow yang secara eksplisit berencana mengurangi penggunaan batu bara sebagai pengemisi terburuk tidak sepenuhnya dapat disepakati seluruh negara pihak. Pada akhirnya negara-negara pihak sepakat untuk menghentikan secara bertahap daripada menghapus batu bara. 

Baca Juga

Ketua Delegasi Indonesia pada COP26 Laksmi Dhewanthi mengatakan mengatakan kesepakatan tersebut merefleksikan adanya kondisi nasional yang berbeda-beda. Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini mengatakan Pakta Iklim Glasgow (The Glasgow Pact) mendesak pengurangan emisi yang lebih ambisius, dan menjanjikan lebih banyak uang untuk negara-negara berkembang untuk membantu mereka beradaptasi dengan dampak iklim.  

"Namun, banyak negara pihak yang menggarisbawahi bahwa janji itu tidak cukup jauh untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius," ujar Laksmi.

Sidang Pleno penutupan konferensi iklim tahun PBB tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu (13/11), satu hari lebih lambat dari yang direncanakan. Berbagai keputusan terkait dengan elemen-elemen Paris Agreement telah dihasilkan."Hasil COP 26 Glasgow telah meningkatkan kepercayaan dan modalitas untuk implementasi yang lebih nyata dari berbagai elemen Paris Agreement," ujar Laksmi.

Catatan substansi yang cukup krusial dan menjadi diskusi cukup hangat dalam negosiasi COP26 adalah terkait penyelesaian pasal atau artikel 6, agenda to keep 1.5 degree temperature alive, terutama penghapusan atau pengurangan penggunaan batu bara dan subsidi bahan bakar fosil.

 

 

Nuklir mulai diperhatikan

Dunia sedang berupaya untuk menurunkan emisi karbon agar bisa menekan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius. Isu yang cukup kontroversial adalah soal penggunaan energi nuklir.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Djarot S Wisnubroto mengatakan energi nuklir mulai menjadi perhatian untuk menurunkan emisi karbon di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP26 atau Conference of the Parties (COP26) tentang perubahan iklim.

"Nuklir tetap menjadi isu kontroversial tetapi sudah mulai diperhatikan kalau tanpa nuklir bisakah emisi karbon kita mencapai target," kata peneliti ahli utama di Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN.

Djarot yang juga merupakan profesor riset menuturkan selama lebih dari dua dekade, topik energi nuklir tidak masuk dalam agenda konferensi perubahan iklim yang dikoordinasikan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Namun, pada KTT COP26, Djarot menuturkan energi nuklir mulai menjadi perhatian untuk menurunkan emisi karbon.

Ia mengatakan memang momok kecelakaan nuklir Chernobyl di Ukraina dan Fukushima di Jepang masih ada. Namun, ketika krisis iklim semakin dalam dan kebutuhan untuk meninggalkan bahan bakar fosil sebagai sumber energi listrik menjadi mendesak, maka sikap banyak negara mulai berubah.

Meski ada kecelakaan Chernobyl pada 1986, namun Ukraina tetap menggunakan PLTN. Sebanyak 53 persen sumber energinya bergantung pada PLTN. Begitu juga dengan Jepang, yang telah mengalami kecelakaan reaktor nuklir Fukushima Daiichi pada 2011, namun tetap mengoperasikan PLTN saat ini.

"Yang saya ingin sampaikan adalah Jepang pun tidak ada cara lain tetap menggunakan nuklir meskipun terjadi pro dan kontra di dalamnya," ujar Djarot.

 

Di sisi lain, Indonesia menargetkan emisi nol bersih atau net zero emission (NZE) Indonesia pada 2060. Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah Indonesia mengatakan di samping menargetkan untuk secara bertahap menghentikan operasi pembangkit listrik yang sumber energinya dari batu bara, juga memaksimalkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Bahkan Pemerintah Indonesia menuturkan opsi penggunaan nuklir direncanakan akan dimulai pada 2045 dengan kapasitas hingga mencapai 35 Giga Watt (GW) pada 2060.

 

 

Transisi energi

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan potensi gas alam mampu mendukung program transisi energi di Indonesia sampai 40 tahun ke depan."Kita masih memiliki (gas alam) 30-40 tahun. Kita bisa optimalkan sumber-sumber gas alam di dalam negeri untuk bisa mendukung proses transisi ini berjalan dengan baik," ujarnya dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI di Jakarta, Senin (15/11).

Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, cadangan gas alam di Indonesia mencapai 62,4 triliun kaki kubik dengan cadangan terbukti sebanyak 43,6 triliun kaki kubik.Pemerintah beralasan menjadikan gas alam sebagai pendukung transisi energi karena mudah didistribusikan dan disimpan, serta rendah karbon.

Berdasarkan data The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan PBB untuk menilai ilmu terkait perubahan iklim, gas alam hanya menghasilkan 469 gram karbon dioksida per kilowatt jam (kWh). Angka emisi itu lebih rendah dibandingkan batu bara yang mencapai 1.001 gram karbon dioksida per kWh dan minyak bumi sebesar 840 gram karbon dioksida per kWh.

Dalam proyeksi kebutuhan energi Indonesia yang dirumuskan Dewan Energi Nasional, porsi bauran energi untuk gas alam diproyeksikan meningkatkan selama 29 tahun ke depan. Pada 2020, bauran gas alam tercatat hanya sebesar 21,2 persen dengan volume mencapai 6.557 MMSCFD.

Jumlah itu bertambah menjadi 21,8 persen dengan volume sebesar 11.728 MMSCFD pada 2030. Kemudian meningkat signifikan menjadi 24,0 persen dengan volume mencapai 26.112 MMSCFD pada 2050. Pemerintah berkomitmen untuk terus meningkatkan cadangan dan produksi gas alam melalui aktivitas eksplorasi sumur-sumur baru dan kegiatan eksploitasi agar bisa memenuhi kebutuhan energi di masa transisi.

 
Berita Terpopuler