DEN Paparkan Komitmen Indonesia Bangun Energi Bersih

Indonesia berkomitmen kembangkan PLTS terbesar di Asia Tenggara untuk energi bersih.

ANTARA/Basri Marzuki
Seorang pekerja berada di dekat jaringan transmisi listrik di PLTA Sulewana yang dikelola PT Poso Energy di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Jumat (1/10/2021). Kementerian ESDM dalam Grand Strategi Energi Nasional (GSEN) akan menambah kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) nasional sebesar 38 Giga Watt hingga 2035 antara lain dengan pengembangan infrastruktur pembangkit listrik tenaga air.
Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha memaparkan komitmen Indonesia dalam pembangunan rendah karbon dan energi bersih dalam forum Conference of the Parties (COP) ke-26  di Glasgow, Skotlandia. Dia mengatakan komitmen RI sejalan dengan Sustainable Deveopment Goals (SDGs) yaitu affordable & clean energy, climate actions, dan decent work & economic growth.

Baca Juga

Satya menjelaskan komitmen Presiden Joko Widodo pada COP26 khususnya sektor energi, melalui pengembangan ekosistem mobil listrik, pembangunan PLTS terbesar di Asia Tenggara. Sleain itu juga penggunaan EBT, dan pengembangan industri berbasis energi bersih termasuk pembangunan salah satu kawasan industri hijau terbesar di dunia yakni di Kalimantan Utara.

"Hal ini membutuhkan dukungan dan kontribusi internasional dari negara-negara maju dan Indonesia akan terus mendukung climate finance dan inovasinya serta pembiayaan hibrida, green bonds, dan green sukuk," ujarnya.

Ia menambahkan bahwa pembiayaan iklim dengan pendanaan dari negara maju merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara berkembang. Dengan bantuan dari negara maju kata dia,  Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat terhadap net zero emission.

Satya juga menegaskan bahwa dalam rangka penurunan emisi karbon tidak saja melalui mekanisme green economy, tetapi juga blue economy, yakni bagaimana menurunkan karbon sekaligus menyejahterakan rakyatnya.

"Untuk itu, ke depan perlu diselaraskan dengan tujuan transisi energi menuju net zero emission," kata Satya.

 

 

 

Penerapan ISPO di bisnis kelapa sawit

Terpisah, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan (Disbunnak) Provinsi Kalbar M.Munsif mengatakan menyebutkan bahwa penurunan emisi gas rumah kaca merupakan satu komitmen pemerintah dan negara Indonesia dalam kesepakatan Paris tahun 2009. Pemerintah menargetkan 29 persen untuk pengurangan emisi gas rumah kaca, sehingga secara total pada 2030 penurunan 40 persen. 

Dia mengatakan penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) bisa menjadi upaya dan langkah untuk menekan emisi gas rumah kaca.

"Dalam ISPO,ada kriteria yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Jika sudah ISPO maka otomatis prinsip-prinsip seperti itu sudah menjadi sebuah standar operasional prosedur (SOP) di suatu perusahaan," ujarnya. 

Ia menjelaskan bahwa di Indonesia cara budi daya sawit yang berkelanjutan dengan ISPO karena di dalamnya ada kearifan lokal yang diakomodir. Data perusahaan ISPO di Kalbar saat ini hanya tercatat 54 dan itu masih perlu didorong dan didukung.

Kesepakatan pasar karbon

COP26 diutup dengan kesepakatan pengaturan untuk pasar karbon. Kesepakatan tersebut akan membuka triliunan dolar untuk melindungi hutan, membangun fasilitas energi terbarukan dan proyek lain untuk memerangi perubahan iklim.

Kesepakatan akhir yang diadopsi oleh hampir 200 negara akan menerapkan Pasal 6 Perjanjian Paris 2015. Kesepakatan tersebut memungkinkan negara-negara untuk memenuhi sebagian target iklim mereka dengan membeli carbon offset.

Carbon offset merupakan kegiatan menyeimbangkan sejumlah emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan tertentu dengan cara membeli karbon kredit.

Perusahaan, serta negara-negara yang memiliki hutan yang luas, mendorong kesepakatan yang kuat di pasar karbon. Kesepakatan itu dianggap sebagai "kemenangan Brasil". Negara itu bersiap untuk menjadi "pengekspor besar" kredit karbon.

Brasil adalah rumah bagi sebagian besar hutan Amazon, dan memiliki potensi besar untuk membangun pembangkit listrik tenaga angin dan surya."Ini harus memacu investasi dan pengembangan proyek yang dapat memberikan pengurangan emisi secara signifikan," kata kepala negosiator Brasil Leonardo Cleaver de Athayde kepada Reuters.

 

Kesepakatan itu berhasil mengatasi serangkaian poin penting yang berkontribusi pada kegagalan dua pertemuan iklim besar sebelumnya. Sebelumnya, ada ketidaksepakatan mengenai pajak atas perdagangan karbon tertentu yang bertujuan untuk mendanai adaptasi iklim di negara-negara miskin. Perdagangan carbon offset antar negara tidak akan menghadapi pajak.

 
Berita Terpopuler