Pengguna Narkoba tak Harus Dipenjara, Solusi Penuhnya Lapas?

Jaksa Agung menerbitkan pedoman penuntutan penyalah guna narkoba direhabilitasi.

ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo
Petugas membakar ribuan gram narkotika saat pemusnahan barang bukti narkotika bulan November 2021 di kantor BNN Provinsi Bali, Denpasar, Bali, Rabu (3/11/2021). Jaksa Agung baru-baru ini menerbitkan pedoman penuntutan agar penyalahguna narkoba tidak dipenjara tapi direhabilitasi. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Bambang Noroyono, Antara

Mabes Polri baru saja menerbitkan pedoman penyidikan penanganan kasus pengguna narkoba. Pedoman ini merespons Pedoman Jaksa Agung 18/2021 yang tak lagi melakukan pemenjaraan dalam penuntutan hukum terhadap para pengguna penyalahgunaan narkoba.

"Sudah (dikeluarkan). Sosialisasi sudah dilakukan sampai seluruh jajaran," ujar Wadir Tipidnarkoba Bareskrim Polri Kombes Polisi Jayadi saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (10/11).

Baca Juga

Menurut Jayadi, seluruh jajaran Polri sudah bisa menerapkan pedoman penyidikan penanganan penyalahgunaan narkoba yang telah disosialisasikan. Penyidik yang berwenang menyelidiki tindak pidana narkoba (tipidnarkotika) memahami arti penting program rehabilitasi bagi pencandu dan/atau penyalahguna narkotika.

Sebelumnya, Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto juga memastikan penanganan khusus para pecandu narkotika yang ditangkap kepolisian, mewajibkan pembantaran ke pusat rehabilitasi. Hal ini merespons pedoman yang telah dikeluarkan oleh Jaksa Agung.

“Saya rasa amanat undang-undang begitu (direhabilitasi),” kata Agus, lewat pesan singkatnya, Selasa (9/11).

Agus menerangkan, kewajiban rehabilitasi tersebut, ada di dalam Undang-undang (UU) 35/2009 tentang Narkotika. Jenderal polisi bintang tiga itu mengutip isi dalam Pasal 4 beleid tersebut yang menyatakan, penanganan hukum para pecandu narkotika, mewajibkan ke pusat, atau panti rehabilitasi untuk disembuhkan.

“Poinnya, rehabilitasi itu untuk penyelamatan generasi bangsa yang menjadi korban dari kejahatan narkotika,” terang Agus.

Direktorat Tindak Pidana Narkotika dan Obat-obatan Terlarang (Dittipidnarkoba) Bareskrim Polri, pun menilai Pedoman Jaksa Agung 18/2021, sebagai pelengkap aturan serupa yang ada di internal kepolisian.

“Kami sangat mendukung adanya Pedoman Jaksa Agung itu,” ujar Direktur Dittipidnarkoba Brigadir Jenderal (Brigjen) Krisno Halomoan Siregar, Selasa (9/11).

Krisno menerangkan, ada tiga aturan di internal kepolisian yang memberikan pedoman dalam penyelidikan, maupun penyidikan khusus para pecandu narkotika. Di antaranya, kata Krisno, Peraturan Kepala Bareskrim Polri 01/2016 tentang Penanganan Pecandu, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.

Ada juga Surat Edaran Kepala Bareskrim SE/01/II/2018 yang berisikan tentang petunjuk rehabilitasi bagi para pecandu, pengguna, dan  penyalahgunaan narkotika, serta obat-obatan terlarang. Terakhir, kata Krisno, semangat penegakan hukum yang berkeadilan restoratif dari seluruh aparat penegak hukum saat ini, Mabes Polri, juga ada menerbikan Peraturan Kepolisian 8/2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

“Dari semua itu, implementasi dalam penanganan khusus terhadap para pecandu, atau penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang, oleh penyidikan kepolisian, menempatkan pecandu, dan penyalahgunaan narkotika itu ke lembaga-lembaga, rehabilitasi, ataupun pusat-pusat medis untuk penyembuhan total,” ujar Krisno.

Namun begitu, kata Krisno menambahkan, tak semua para pecandu, dan pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut, mendapatkan hak hukum ke pusat rehabilitasi untuk penyembuhan total. Menurut dia, ada klasifikasi tertentu para pengguna, dan penyalahgunaan narkotika itu.

Di antaranya, dikatakan Krisno, jika dalam penyidikan, terbukti si pecandu tersebut, murni hanya sebagai pengguna. Artinya, kata Krisno, hukuman ke pusat rehabilitasi tersebut, hanya ditujukan ke para pengguna penyalahgunaan, bukan sebagai pecandu yang terafiliasi dalam jaringan pengedar, ataupun bandar narkotika.

“Jadi itu pentingnya juga proses penyelidikan, dan penyidikan. Karena kalau dia ada di dalam jaringan itu (pengedar, atau bandar), itu akan berbeda penanganannya,” ujar Krisno menambahkan.

Enam syarat rehabilitasi pecandu narkoba (Pedoman Jaksa Agung 18/2021):

  1. Tersangka dinyatakan positif menggunakan narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium forensik.
  2. Tersangka tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika dan merupakan pengguna terakhir.
  3. Tersangka ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti narkotika atau dengan barang bukti narkotika yang tidak melebihi jumlah pemakaian 1 hari.
  4. Tersangka dikualifikasikan sebagai pecandu narkotika, korban penyalah guna narkotika, atau penyalahguna narkotika berdasarkan hasil asesmen terpadu.
  5. Tersangka belum pernah menjalani rehabilitasi atau telah menjalani rehabilitasi tidak lebih dari dua kali yang didukung dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang.
  6. Adanya surat jaminan tersangka menjalani rehabilitasi melalui proses hukum dari keluarga atau walinya.

 

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Leonard Ebenezer Simanjuntak menjelaskan, Pedoman Jaksa Agung tersebut, sebagai acuan para jaksa penuntut umum (JPU) di persidangan dalam melakukan penegakan hukum atas perkara-perkara terkait degan Pasal 127 ayat (1) UU 35/2009. Selama ini, upaya penjeraan terhadap penyalahgunaan narkotika, dalam pasal tersebut, berorientasi pada penghukuman ke pemenjaraan 1 sampai 4 tahun penjara.

Mulai 1 November 2021, para jaksa, tak lagi menjadikan pemenjaraan sebagai bentuk penjeraan terhadap para pelaku penyalahgunaan narkotika.

“Tujuan ditetapkannya Pedoman Jaksa Agung tersebut, untuk optimalisasi penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif,” kata Ebenezer, Selasa (9/11).

Namun begitu, Ebenezer menerangkan, pedoman tersebut, tak melupakan proses penyelidikan, maupun penyidikan untuk memastikan kualifikasi penyalahgunaan narkotika tersebut. Karena itu, dalam Pedoman Jaksa Agung tersebut, juga diterangkan tentang kriteria bagi tersangka, atau terdakwa penyalahgunaan narkotika, yang cukup hanya dituntut rehabilitasi itu.

Kepala Biro Humas dan Protokol Badan Narkotika Nasional (BNN) Brigjen Polisi Sulistyo Pudjo Hartono mengatakan, saat ini ada ribuan panti rehabilitasi narkoba, baik milik pemerintah maupun swasta yang tersebar di pelosok negeri. Sehingga, pengguna narkoba yang ingin direhabilitasi bisa memilih mereka panti rehabilitasi tidak harus masuk ke BNN.

“Orang yang mau direhab itu tidak harus masuk ke BNN, mereka memilih masing-masing, swasta ada ribuan dari Papua sampai Aceh,” ujar Pudjo Hartono, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (10/11).

Selain itu, kata Pudjo Hartono, pihaknya juga mendorong, pemerintah daerah (Pemda), kementerian seperti Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Sosial (Kemenkes) dan juga swasta untuk memaksimalkan yang ada. Kemudian juga rumah sakit jiwa sebagian fasilitasnya harus ada untuk pengguna narkoba. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan Jiwa (UU Keswa) yang disahkan pada 2014.

Kendati demikian, menurut Pudjo, yang paling penting saat ini adalah sinkronisasi kementerian terkait lebih dulu. Seperti kewenangan dari Kemenkes, Kemensos, dan sinkronisasi dari Polri, BNN, serta Kejaksaan. Kemudian jika semuanya sudah sinkron, langkah selanjutnya adalah memperkuat daripada balai-balai rehabilitasi narkoba milik pemerintah.

“Kalau sudah sinkron baru kita bergerak, intinya ada kesepahaman dulu tentang uji pasal, peraturan perundang-undangan, kesepakatan ada,” terang Pudjo.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengapresiasi langkah Jaksa Agung yang mengeluarkan pedoman bagi penyalah guna narkotika dilakukan rehabilitasi. Pedoman Jaksa Agung, dinilainya sebagai solusi persoalan kelebihan kapasitas di lapas.

"Pedoman tersebut memang sangat dibutuhkan karena overkapasitas lapas yang terjadi di banyak daerah di Indonesia. Saya menyambut baik keputusan ini karena memang kami di Komisi III juga sudah berkali-kali menyuarakan agar para napi (pengguna) narkoba lebih baik direhabilitasi saja," kata Sahroni dalam keterangannya di Jakarta, Senin (8/11).

Menurut Sahroni, kondisi lapas di Indonesia sudah sangat penuh sehingga yang perlu dimasukkan ke dalam penjara hanya pengedar narkoba dan pengguna cukup direhabilitasi. Menurut dia, kebijakan rehabilitasi tersebut melalui pendekatan keadilan restoratif bisa menjadi jawaban yang tepat dalam menangani kasus penggunaan narkoba.

Pedoman yang dikeluarkan kejaksaan itu, kata dia, akan sangat membantu Kemenkumham dalam menekan permasalahan overcapacity lapas yang selama ini belum kunjung selesai. "Saya juga optimistis bahwa pedoman baru ini akan membantu para pengguna narkoba untuk pulih dari kecanduannya," kata Sahroni.

Di sisi lain, napi pengguna narkotika yang direhab, mendapatkan layanan baik fisik maupun mental yang dibutuhkan untuk lepas dari jeratan narkoba. Menurut dia, para pengguna narkoba juga akan didampingi profesional dalamrehabilitas sehingga diyakini akan lebih bermanfaat daripada menjebloskan ke penjara yang sudah kelebihan kapasitas dan sulit diawasi.

 

Kampanye Lawan Narkoba Duterte Bunuh Anak-Anak - (Republika)

 
Berita Terpopuler