Eks Menhan Ryamizard Akui Kecewa dengan Mendikbud Nadiem

Permendikbud PPKS dinilai bertentangan dengan Pancasila dan norma agama.

Dok. Febrianto Adi Saputro
Ketua Majelis Syuro PKS, Salim Segaf Aljufrie (Kiri) dan Menteri Pertahanan 2014-2019, Ryamizard Ryacudu menjadi pembicara dalam Dialog Kebangsaan yang digelar DPP PKS di Kantor DPP PKS, Pasar Minggu, Jakarta, Rabu (10/11).
Rep: Febrianto Adi Saputro, Ronggo Astungkoro, Umar Mukhtar Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertahanan 2014-2019, Ryamizard Ryacudu mengaku kecewa dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim. Hal itu ia sampaikan dalam acara dialog kebangsaan yang digelar Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

"Saya juga agak kecewa itu pada Mendikbud," kata Ryamizard di Kantor DPP PKS, Pasar Minggu, Jakarta, Rabu (10/11).

Ryamizard mengatakan, moral dan wawasan kebangsaan harus dimiliki anak-anak Indonesia. Menurutnya wawasan kebangsaan penting dimiliki setiap anak.

"Harus bergandeng dengan wawasan kebangsaan dia mengerti bangsa ini dia mengerti para pahlawannya dia mengerti betapa sulit merebut, mengorbankan nyawa dan raga," ucapnya.

Selain itu, seorang anak hendaknya harus mengerti ajaran agama. Sehingga  tidak melenceng dari ajaran agama. "Tetap berpegang kepada yang tiga itu. Sekarang milenial saja dia tidak mengerti agama lebih banyak rusak moral kan gitu," ujarnya.

Baca Juga

Mendikbudristek Nadiem Makarim saat ini memang tengah jadi sorotan banyak pihak karena menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang dinilai kontroversial. Permendikbud tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) tersebut dikhawatirkan menjadi aturan pelegalan zina. Sebab, Permendikbud hanya mengatur hal-hal yang terkait pemaksaan.

Ketua Dewan Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Salim Segaf Aljufrie, juga mengaku prihatin atas diterbitkannya Permendikbudristek PPKS. Menurutnya seorang menteri hendaknya melakukan kajian secara mendalam sebelum menerbitkan aturan.

"Kadang-kadang pula, cover-nya itu indah. Seperti Permendikbudristek. Jadi, judulnya memang bagus tentang pencegahan penanganan kekerasan sensual di perguruan tinggi, bagus judulnya. Coba baca isinya," kata Salim di acara dialog kebangsaan, di Kantor DPP PKS, Rabu (10/11).

Dirinya menyoroti pengertian kekerasan seksual sebagaimana diatur Pasal 5 ayat (2) huruf L dan M dalam Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 yang memuat frasa tanpa persetujuan korban. Seharusnya kekerasan seksual tidak tergantung disitu.

"Tercantum pengertian tentang kekerasan seksual yang dibatasi, yaitu tanpa persetujuan korban. Artinya jika ada persetujuan atau suka sama suka maka tidak tergantung disitu, tidak dimasukkan ke dalam kekerasan seksual ini," ujarnya.

Ia menilai Permendikburistek ini bertentangan dengan Pancasila dan norma agama. "Ini sesuatu Permen yang bertentangan dengan Pancasila, norma agama, budaya. Kalau ini yang terjadi sesuatu yang membuat kita prihatin," imbuhnya.

Dibantah

Namun, Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Nizam membantah anggapan soal pelegalan zina tersebut. "Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk diawal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan', bukan ‘pelegalan',” ujar Nizam, Senin (8/11).

Nizam menggarisbawahi fokus Permendikbudristek PPKS itu, yakni pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual. Dengan adanya fokus tersebut, definisi dan pengaturan yang diatur dalam Permendikbudristek PPKS itu khusus untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual, terutama di lingkungan perguruan tinggi.

Nizam menjelaskan, Permendikbudristek PPKS dirancang untuk sejumlah tujuan. Pertama, membantu pimpinan perguruan tinggi dan segenap warga kampusnya dalam meningkatkan keamanan lingkungan mereka dari kekerasan seksual. Kemudian, menguatkan korban kekerasan seksual yang masuk dalam ruang lingkup dan sasaran Permendikbudristek PPKS.

Lalu, untuk mempertajam literasi masyarakat umum akan batas-batas etis berperilaku di lingkungan perguruan tinggi Indonesia, serta konsekuensi hukumnya. “Moral dan akhlak mulia menjadi tujuan utama pendidikan kita sebagaimana tertuang dalam UUD, UU 20/2003, UU 12/2012, dan berbagai peraturan turunannya. Termasuk Permendikbud No 3/2020 tentang standar nasional pendidikan tinggi,” kata Nizam.

Sementara, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menilai memahami norma dalam Permendikbudristek tidak dapat dilepaskan dari konteks pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Menag menjelaskan dengan mengumpamakan bila terjadi tindakan sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat 2 huruf b Permendikbudristek 30/2021.

Pasal ini menyatakan bahwa kekerasan seksual di antaranya meliputi memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan Korban. Yaqut mengatakan, tindakan tersebut tidak masuk dalam kategori eksibisionisme dan bukan tindakan kekerasan seksual yang diatur dalam pasal 5 ayat 2 huruf b jika terdapat persetujuan dari pihak lain. Tindakan ini, kata Menag, bisa jadi adalah suatu pertunjukan seks.

"Apakah Permendikbudristek yang normanya memuat consent (persetujuan) tersebut serta-merta dapat ditafsirkan melegalkan striptease di dalam kampus? Penafsiran semacam itu tentu terasa aneh bukan," ujarnya kepada Republika.co.id, Rabu (9/11)..

Yaqut mengingatkan, Permendikbudristek tersebut bukan satu-satunya regulasi. Karena masih banyak lagi regulasi lain yang mengatur berbagai hal secara lebih spesifik. Ada berbagai ketentuan pidana di dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

"Kita memiliki KUHP dan ketentuan pidana di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Juga segala macam kode etik, belum lagi norma yang hidup dalam masyarakat (living norma). Striptease, apalagi di dalam kampus, tentu sudah ada larangannya dalam norma hukum dan norma dalam masyarakat kita," jelasnya.

 
Berita Terpopuler