BPOM Fokus Tangani Kemasan Makanan Berbahan Plastik

Toleransi BPA dalam kemasan makanan ini sudah ada dalam Peraturan BPOM.

time
Kemasan plastik tak mengandung BPA
Rep: Novita Intan Red: Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemasan makanan dalam plastik kini kembali menuai sorotan. Meskipun kemasan plastik berbahan polikarbonat sudah puluhan tahun digunakan secara aman dalam industri makanan minuman di Indonesia dan penggunaannya diatur dalam Peraturan BPOM no 20 tahun 2019, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengaku baru paham dan belajar plastik berbahan Policarbonat (PC) berpotensi mengandung Bisfenol A (BPA).  

Baca Juga

Hal itu diucapkannya dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR saat membahas masalah ketersediaan vaksin pada Senin (8/11). Penjelasan Penny merupakan jawaban atas pertanyaan anggota komisi X dari PKB, Arzetti Bilbina yang juga mengaku kurang paham soal BPA. 

Adapun peraturan mengenai batas aman atau toleransi BPA dalam kemasan makanan ini sudah ada dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan yang ditandatangani Kepala BPOM Penny K Lukito. Di sana diatur semua persyaratan migrasi zat kontak pangan yang diizinkan digunakan sebagai kemasan pangan. Tidak hanya BPA saja, tapi juga zat kontak pangan lainnya.  

Seolah tak memedulikan pendapat pakar plastik, pakar kesehatan dan keamanan pangan, Kemenperin dan pengusaha akan potensi risiko dampak ekonomi dan sosial dari kebijakan pelabelan makanan minuman yang berpotensi terdapat migrasi BPA dari kemasan, dalam rapat Penny menyampaikan bahwa BPOM sangat concern berkaitan dengan BPA free ini. "Kami sudah sampai pada kesimpulan bahwa nanti kami akan melakukan intervensi pada labelingnya. Jadi nanti ada upaya untuk pelabelan dari kemasan-kemasan tersebut, bisa jadi nanti ada label bebas BPA,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (9/11).

Di dalam peraturan BPOM yang dikeluarkan pada 2019 itu dijelaskan tidak ada kemasan pangan yang free dari zat kontak pangan. Tapi, di sana diatur mengenai batas aman maksimum dari zat kontak itu yang diijinkan bermigrasi ke pangannya.  

Penny juga mengatakan pertama yang akan dilakukan BPOM nantinya adalah terkait pemahaman konsumen yang dikaitkan dengan sumber bahan bakunya. Apakah jenis ini memang mengandung BPA atau tidak.  

"Karena, saya juga baru paham, belajar bahwa plastik yang PC, yang policarbonat bahwa itulah yang ada potensi mengandung BPA,” ucapnya. 

Sebelumnya, pengusaha bidang makanan yang juga Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk INDF), Franciscus Welirang, mengatakan isu BPA lebih mengarah kepada persaingan usaha. Karenanya, dia sangat menyayangkannya karena bisa merusak iklim investasi di Indonesia.  

“Ini semua masalah persaingan yang menjatuhkan perusahaan yang memproduksi galon guna ulang yang saat ini begitu banyak di Indonesia,” ujar Franky, sapaan Franciscus. 

Seperti diketahui, Indofood melalui anak usahanya juga memproduksi air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang bermerk Club.  “Saya kira galon guna ulang bukan hanya Club, tapi banyak lainnya. Bisa dibayangkan berapa banyak galon guna ulang yang ada di pasar saat ini, dan berapa besar cost ekonominya jika produk ini dihilangkan,” ucap Franky. 

Anggota Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Hermawan Seftiono mengutarakan sebenarnya semua produk pangan yang sudah memiliki izin edar sudah diuji  keamanannya. Artinya, baik produk dan kemasan pangan yang digunakan itu sudah sesuai pedoman dan kriteria yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Perindustrian.  

“Untuk keamanan pangan, itu sudah ada aturannya, yaitu wajib SNI (Standar Nasional Indonesia). Jadi, jika sudah memiliki SNI, produk pangan itu sudah sesuai dengan kriteria aman untuk digunakan oleh konsumen,” ujarnya.

 

Dia mengatakan semua produk pangan itu sudah ada kriteria amannya masing-masing, baik itu secara fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Jadi, menurutnya, pengusaha pangan harus mengikuti standar keamanan pangan itu terlebih dulu sebelum produk mereka diedarkan. Begitu juga terkait kemasan yang digunakan, itu berbeda-beda kriteria keamananannya atau batas toleransi amannya. 

“Makanya, semua produk pangan itu perlu memiliki sertifikat SNI sehingga aman untuk dikonsumsi,” tukas Hermawan yang juga merupakan Kepala Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Trilogi dan peneliti di bidang pangan. 

Senada dengan Hermawan, Pakar Kimia ITB, Ahmad Zainal, juga mengatkan pelabelan itu secara scientific sebenarnya tidak perlu dilakukan karena sudah ada jaminan dari BPOM dan Kemenperin bahwa produk-produk pangan yang sudah memiliki izin edar, termasuk produk AMDK, sudah aman untuk digunakan. Produk-produk itu juga sudah berlabel SNI dan ada nomor HS-nya yang menandakan bahwa produk itu aman. 

Kalau pelabelan itu diberlakukan, menurut Zainal, yang dirugikan justru para konsumen. Karena, pelabelan itu jelas akan menambah biaya. “Walaupun industri itu nambah biaya, tapi ujungnya itu akan dibebankan lagi kepada para konsumen. Kalau dari sisi itu, pasti akan ada penolakan nanti dari pihak konsumen sendiri,” ujarnya.

 

 
Berita Terpopuler