Mahkamah Agung AS akan Sidangkan Kasus Pengintaian Muslim

Muslim AS merasa dilecehkan selama 15 tahun terakhir.

EPA-EFE/MICHAEL REYNOLDS
Mahkamah Agung AS akan Sidangkan Kasus Pengintaian Muslim
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kiki Sakinah

Baca Juga

JAKARTA -- Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) akan mendengarkan argumen dalam kasus yang akan menentukan apakah Biro Investigasi Federal (FBI) dapat melibatkan hak istimewa "rahasia negara" untuk menghindari gugatan atas pemantauannya (mematai-matai) terhadap komunitas Muslim dan tempat-tempat ibadah setelah serangan 11 September 2001.

Gugatan terkait kasus pengintaian Muslim oleh FBI ini awalnya diajukan pada 2001. Para penggugat dalam kasus tersebut mengatakan pemerintah AS telah bertahun-tahun menggunakan alasan keamanan nasional untuk menghindari pertanggungjawaban.

Hal itu telah membuat mereka kehilangan kesempatan mengajukan setumpuk bukti di pengadilan yang mereka katakan menunjukkan FBI mengejar kampanye pengawasan "jaring" terhadap komunitas Muslim di Kalifornia Selatan yang mencakup rekaman audio dan video rahasia dan dimotivasi semata-mata oleh agama dari mereka yang dipantau.

Pemantauan itu terjadi di tengah serangkaian taktik pemerintah AS awal 2000-an yang menargetkan Muslim atas nama keamanan nasional yang terus membayangi, bahkan ketika mereka tetap diselimuti kerahasiaan. "Kami merasa telah dilecehkan selama 15 tahun terakhir ini, setidaknya sejak saya mengetahui apa yang dilakukan FBI," kata Sheikh Yassir Fazaga, seorang imam di Orange County Islamic Foundation di Mission Viejo, Kalifornia, dilansir di Aljazirah, Senin (8/11).

FBI disebut mengirim informan bayaran yang menyamar sebagai mualaf untuk memantau masjid Sheikh Yassir tersebut dan masjid-masjid lainnya di wilayah itu mulai 2006. Pemimpin agama tersebut adalah penggugat dalam kasus pengintaian terhadap Muslim (Fazaga vs FBI), bersama dengan Ali Uddin Malik dan Yasser Abdelrahim, keduanya jamaah di Islamic Center of Irvine di Irvine, Kalifornia.

Sebelumnya, pengadilan yang lebih rendah pada 2012 menolak gugatan awal ketiganya dan memutuskan mendukung posisi FBI, yang sebagian berpendapat bahwa memprosesnya akan menimbulkan risiko keamanan nasional. Pengadilan banding federal kemudian memihak Fazaga, Malik dan Abdelrahim, yang mengatakan gugatan itu harus dilanjutkan, sehingga memajukan kasus ini ke pengadilan tinggi AS.

 

Wakil direktur fakultas pada Pusat Hukum dan Kebijakan Imigrasi di UCLA, Ahilan Arulanantham mengatakan selama satu dekade yang mencakup tiga pemerintahan kepresidenan, garis pertahanan pemerintah terhadap gugatan itu tetap sama. Arulanantham akan berargumen atas nama Fazaga, Malik dan Abdelrahim di Mahkamah Agung pada Senin.

"Posisi pemerintah selama ini, 'Kami tidak (memantau) orang semata-mata karena agamanya'. Apa pun yang kami beri tahu Anda sama sekali akan membahayakan keamanan nasional dan karena itu tidak dapat dibagikan kepada siapa pun, bahkan pengadilan secara rahasia. Posisi pemerintah adalah: 'Maaf, tetapi Anda harus mempercayai kami'," kata Arulanantham.

Pengacara ini mengatakan proses Mahkamah Agung dapat berdampak baik secara simbolis dan doktrinal. Menurutnya, ada sangat sedikit pertanggungjawaban untuk sejarah panjang diskriminasi terhadap Muslim Amerika sejak 9/11, dan kasus ini memberi mereka kesempatan langka untuk itu. "Secara doktrinal, bagi pengadilan untuk mengatakan bahwa ada mekanisme di mana pemerintah dapat dimintai pertanggungjawaban ketika terlibat dalam diskriminasi atas dasar agama, bahkan dalam konteks keamanan nasional, akan sangat penting," kata Arulanantham.

Hingga saat ini, FBI dilindungi dari langkah memberikan laporan lengkap tentang kegiatan pemantauannya di Kalifornia Selatan. Akan tetapi, telah dikonfirmasi dalam proses pengadilan yang tidak terkait bahwa Craig Monteilh bekerja sebagai informan untuk agen tersebut di beberapa masjid di Orange County pada 2006 dan 2007.

Menurut dokumen pengadilan, FBI menyatakan mereka tidak terlibat dalam praktik yang tidak konstitusional dan melanggar hukum dan mereka melakukan tindakan investigasi yang terukur secara wajar sebagai tanggapan terhadap bukti yang kredibel tentang potensi aktivitas teroris. Perincian lain datang dari catatan dari para jamaah dan anggota masyarakat yang melakukan kontak dengan Monteilh, serta laporan panjang Monteilh sendiri tentang pekerjaannya sebagai informan.

Gugatan 2011 mengatakan Monteilh, atas perintah penanganan FBI-nya, merekam video dan audio berjam-jam di dalam masjid, di pertemuan keagamaan, di dalam rumah orang, menyebarkan jaring yang luas dan sering tanpa pandang bulu dengan menyusup ke berbagai kelompok di berbagai lembaga Islam. Penyusupan itu sangat menyakitkan bagi Fazaga, yang sebagai pemimpin terkemuka hanya beberapa bulan sebelumnya menjadi moderator pertemuan komunitas dengan kepala kantor FBI di Los Angeles, Stephen Tidwell.

 

Pejabat itu telah meyakinkan mereka yang berkumpul bahwa badan tersebut tidak akan mengirim pemantau rahasia ke dalam komunitas. "Potensi penyalahgunaan sangat luar biasa besar," kata Fazaga tentang klaim keamanan nasional FBI yang luas.

"Bayangkan meletakkan alat perekam di kamar pengakuan di gereja Katolik? Bayangkan mereka dapat melakukan ini di tempat yang dinilai aman, orang-orang mempercayai pemimpin agama mereka, orang-orang datang dan berbagi seluk-beluk paling intim mereka dengan kami," kata Fazaga kepada Aljazirah.

"Bagi pemerintah untuk memiliki akses ke jenis keadaan ini tanpa alasan yang baik, itu sangat berbahaya dan sangat merusak," tambahnya.

Gugatan 2011 mencatat tidak ada hukuman yang datang dari pengintaian Monteilh. Namun, beberapa jamaah mengambil langkah sendiri untuk melaporkan Monteilh kepada pihak berwenang.

Ketika perincian lebih lanjut dari pengawasan FBI terungkap, terutama ketika Monteilh mengumumkan ke publik pada 2009, Fazaga mengatakan ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum, dan di dalam komunitas Muslim di Orange County, jadi menjalar. Menurutnya, tanpa akuntabilitas dari pemerintah, lingkungan itu sebagian besar tetap tidak berubah.

"Elemen terpenting dalam hubungan manusia yang sehat adalah kepercayaan. Dan ketika Anda mengikis kepercayaan itu, Anda benar-benar tidak dapat memiliki komunitas yang sehat. Orang-orang mulai ragu. Mereka mulai curiga dan kemudian mereka mulai menjauhkan diri," ujar Fazaga.

 

Dia menambahkan mualaf non-Muslim telah menghadapi kewaspadaan khusus di tahun-tahun sejak itu. Sementara itu, argumen pada Senin akan berpusat pada hak istimewa rahasia negara dari pemerintah, sebuah doktrin yang merentang kembali ke awal 1800-an yang telah disempurnakan dalam putusan pengadilan berikutnya untuk mengatur kapan keamanan nasional dapat dikutip untuk menahan informasi.

Argumen tersebut juga kemungkinan akan fokus pada Undang-Undang Pengawasan Intelijen Asing 1978, yang mengatur pengawasan domestik. Undang-undang itu disahkan setelah terungkapnya pengawasan pemerintah terhadap para pemimpin hak-hak sipil dan pengunjuk rasa anti-perang.

Fazaga, yang sekarang menjadi imam di Memphis Islamic Center di Mississippi mengatakan keputusan yang mendukung klaim keamanan nasional FBI akan memperkuat keyakinan bahwa Muslim di AS adalah warga negara kelas dua. Dia mengatakan masih kerap didekati Muslim lain dari seluruh negeri yang berbagi pengalaman mereka sendiri dengan praktik pemantauan FBI dalam dua dekade sejak 9/11. Sementara itu, dia mengatakan sepakat kasus ini jauh melampaui satu kelompok agama dan mendesak populasi AS yang lebih luas untuk memberikan perhatian.

“Komunitas Muslim seketika menanggung beban ini. Tetapi pada akhirnya kebaikan yang keluar darinya bukan hanya untuk komunitas Muslim. Ini untuk semua warga negara," tambahnya.

Fazaga, Malik dan Abdelrahim juga diwakili oleh American Civil Liberties Union (ACLU), Council for American Islamic Relations (CAIR), dan firma hukum Hadsell Stormer Renick and Dai. Keputusan dalam kasus ini diperkirakan keluar beberapa saat sebelum akhir masa jabatan Mahkamah Agung saat ini, yang berakhir pada Juni 2022.

https://www.aljazeera.com/news/2021/11/7/muslim-monitoring-case-goes-to-us-supreme-court-whats-at-stake

 
Berita Terpopuler