Bisakah Kita Mengetahui Kekuatan Antibodi Covid-19?

Sebagian orang mengandalkan tes antibodi untuk mengetahui imunitas yang dimilikinya.

Pixabay.
Sebagian orang mengandalkan tes antibodi untuk mengetahui imunitas yang dimilikinya.
Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, 

Baca Juga

Oleh: Adysha Citra Ramadani

Individu yang telah divaksinasi lengkap masih memungkinkan terkena Covid-19. Situasi ini kerap membuat orang yang telah menerima vaksin ingin mengetahui imunitas Covid-19 yang dimilikinya.

Sebagian orang kemudian mempertimbangkan tes antibodi untuk mengetahui imunitas Covid-19 yang mereka miliki pascavaksinasi. Akan tetapi, cara ini ternyata tidak direkomendasikan oleh Food and Drug Administration (FDA).

Tes antibodi dikenal juga sebagai tes serologi. Tes ini sebenarnya membutuhkan resep atau anjuran dari dokter. Tes antibodi merupakan tes darah yang bertujuan untuk mendeteksi keberadaan antibodi SARS-CoV-2 pada aliran darah.

Antibodi merupakan molekul protein yang diproduksi oleh sistem imun ketika tubuh melawan patogen atau menjalani vaksinasi. Keberadaan antibodi ini dapat membantu memberikan perlindungan bagi tubuh bila terpapar oleh patogen di kemudian hari.

Tak hanya itu, antibodi di dalam tubuh juga dapat membantu menurunkan tingkat keparahan gejala dalam kasus reinfeksi. Biasanya, tes antibodi digunakan untuk melakukan mencari bukti mengenai infeksi di masa lalu, atau untuk mengukur kesiapan tubuh dalam melawan virus tertentu.

Tes antibodi yang tersedia secara komersil saat ini dapat mengukur dua jenis antibodi, yaitu antibodi spike protein dan antibodi nukleokapsid. Dekan School of Global Public Health dari New York University Dr Cheryl G Healton DrPH mengatakan tes antibodi tak dapat digunakan untuk mengetahui apakah vaksin Covid-19 di dalam tubuh masih bekerja atau tidak.

Mengacu pada Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Dr Healton mengatakan, tes antibodi saat ini tak direkomendasikan untuk mengukur imunitas yang terbentuk setelah vaksinasi Covid-19. Alasannya, tes ini tidak begitu akurat dalam mengukur proteksi terhadap Covid-19.

Secara teori, hasil positif dari pemeriksaan antibodi spike protein dapat berarti bahwa vaksin bekerja. Akan tetapi, hasil tes tak dapat menunjukkan seberapa besar antibodi yang dihasilkan. Dengan kata lain, hasil tes ini tak dapat menunjukkan seberapa besar perlindungan yang telah terbentuk dari vaksinasi.

Profesor di bidang penyakit menular dari Vanderbilt University Medical Center di Nashville, Dr William Schaffner MD, menambahkan suatu tes sebaiknya tak dilakukan kecuali seseorang yang melakukan tes tahu apa yang harus dilakukan dengan hasil positif atau negatif yang dia terima.

"Dalam hal tes antibodi, hasilnya tak bisa diinterpretasikan, inilah kenapa kami tak merekomendasikannya," ungkap Dr Schaffner.

Hasil tes antibodi juga tak dapat menunjukkan apakah seseorang sedang terkena Covid-19 atau tidak. Alasannya, tes antibodi membutuhkan waktu sekitar 1-3 pekan setelah infeksi untuk bisa mendeteksi antibodi virus. Oleh karena itu, tes antibodi tak dapat digunakan untuk mendiagnosis Covid-19.

Terlepas dari itu, tes antibodi dapat bermanfaat untuk kondisi tertentu. Misalnya, untuk urusan penelitian klinis atau ketika penyedia layanan kesehatan ingin mengetahui apakah seorang pasien pernah terinfeksi Covid-19 sebelumnya.

"Tes antibodi positif tidak dapat menjadi pengganti untuk vaksinasi," jelas Dr Healton.

Kepemilikan antibodi Covid-19 mungkin masih samar-samar diketahui. Meski begitu, tetap ada kabar baik.

Berdasarkan studi, individu yang pernah terkena Covid-19 dan mendapatkan vaksin Covid-19 mRNA memiliki antibodi yang lebih tahan lama. Jarak waktu antara sakit Covid-19 dan vaksinasi yang lebih panjang dapat meningkatkan respons antibodi untuk melawan virus Covid-19.

Hal ini diungkapkan dalam sebuah studi berskala besar dari peneliti Johns Hopkins Medicine. Studi yang melibatkan hampir 2.000 tenaga kesehatan sebagai partisipan ini telah dipublikasikan dalam Journal of the American Medical Association.

 

Dalam studi ini, seluruh partisipan telah menerima dua dosis vaksin Covid-19 mRNA, baik dari Pfizer/BioNtech maupun Moderna. Peneliti lalu mengukur kadar antibodi para partisipan tiga kali setelah dosis kedua vaksin mRNA diberikan.

Peneliti lalu membandingkan kadar antibodi yang terbentuk pada partisipan yang memiliki riyawat Covid-19 dan yang tidak pernah terkena Covid-19 sebelum vaskinasi. Hasil studi menunjukkan bahwa partisipan yang sudah divaksinasi dan pernah mengalami Covid-19 sebelumnya memiliki kadar antibodi yang lebih tinggi dibandingkan partisipan yang hanya divaksinasi.

Pada 30 hari pertama setelah pemberian dosis kedua vaksin mRNA, partisipan yang pernah terkena Covid-19 memiliki kadar antibodi 14 persen lebih tinggi. Pada bulan ketiga setelah pemberian dosis kedua vaksin mRNA, kadar antibodi mereka menjadi 19 persen lebih tinggi.

"Lalu 56 persen (lebih tinggi) pada bulan keenam," ungkap ketua tim peneliti Diana Zhong MD, seperti dilansir Eurasia Review.

Tim peneliti juga memantau pengaruh jarak waktu antara saat terkena Covid-19 dan jadwal vaksinasi terhadap kadar antibodi yang terbentuk. Hasil studi menunjukkan bahwa interval yang lebih panjang antara waktu sakit dengan jadwal pemberian dosis pertama vaksin dapat meningkatkan respons antibodi.

Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui faktor apa yang mempengaruhi peningkatan ketahanan antibodi pascavaksinasi pada orang yang sebelumnya pernah mengalami Covid-19. Faktor tersebut bisa saja berupa jumlah paparan virus, interval antara paparan, atau interaksi antara kekebalan alami serta kekebalan dari vaksin.

 
Berita Terpopuler