Penurunan Tarif PCR Buat Industri Harus Putar Otak

Pemerintah mengeklaim penurunan tarif PCR sudah perhitungkan semua komponen.

ANTARA/Reno Esnir
Petugas memasukkan hasil tes usap dengan sistem Polymerase Chain Reaction (PCR) ke dalam tabung di Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium, Jakarta, Kamis (28/10/2021). Pemerintah melalui Kemenkes menetapkan tarif tertinggi harga pemeriksaan PCR untuk mendeteksi COVID-19 menjadi Rp275 ribu di Jawa-Bali dan Rp300 ribu untuk luar Jawa-Bali.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Novita Intan, Dian Fath, Fauziah Mursid, Antara

Baca Juga

Kebijakan penurunan tarif tes PCR dinilai dilakukan sepihak oleh pemerintah. Penurunan harga PCR juga tidak disertai iktikad subsidi dari pemerintah.

Kritik muncul dari turunnya harga PCR tanpa disertai subsidi. Ahli mendorong pemerintah mengkaji ulang dikarenakan risiko besar yang bisa dialami masyarakat luas. 

Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Wahyono mengatakan, penurunan harga yang mendesak ini dapat memengaruhi kualitas testing di Indonesia menjadi turun. “Kebijakan pemerintah seperti tawar-menawar. Seharusnya pemerintah mengkaji ulang kebijakan ini dan bukan diturunkan harganya,” ujarnya ketika dihubungi wartawan, Kamis (28/10).

“Kami melihat, pemerintah terlalu gampang menurunkan harga. Karena, jangan sampai kualitas digadaikan demi harga yang lebih rendah. Ini terlalu berisiko,” ucapnya.

Dari sisi pelaku industri, Bumame Farmasi mengatakan, penurunan tarif tes PCR membuat para penyedia layanan tes PCR harus memutar otak. Mereka harus mengakali harga bahan baku seperti reagen yang sangat tinggi dan biaya operasional bagi tenaga kesehatan dan bahan baku laboratorium mandiri. 

Perwakilan Bumame Farmasi, Natasha Febrina mengatakan, di Indonesia bahan baku habis pakai, mayoritas masih diimpor. Selain itu, para penyedia layanan PCR juga harus mempertimbangkan sumber daya manusia yang bekerja di laboratorium dan di lapangan, para tenaga kesehatan dan analis laboratorium yang menjadi garda terdepan saat ini. 

“Pertimbangan kami sebagai penyedia layanan kesehatan, perlu diadakan pertemuan dengar pendapat antara penyedia jasa layanan PCR dengan pemerintah, dan sosialisasi sangat dibutuhkan jika pemerintah ingin mengkaji harga tes usap. Hal ini demi menemukan jalan tengah, terkait pengkajian harga PCR yang terjangkau bagi semua kalangan, sehingga pemerintah dapat memberikan solusi alternatif terkait bahan baku reagen dan mayoritas bahan baku lainnya yang sifatnya masih impor,” ucapnya.

Menurutnya, pertimbangan lain yang menjadi penentu harga selain bahan baku, banyak biaya lainnya seperti APD standar Kementerian Kesehatan, kelengkapan yang menjamin keamanan tenaga kesehatan dan upah para tenaga kesehatan, dokter, analis laboratorium dan juga kebutuhan. “Hal tersebut habis pakai lainnya yang menjadi salah satu pertimbangan kami dalam menurunkan tarif PCR sesuai arahan pemerintah,” ucapnya.

Sebelum pemerintah mengetok kebijakan penurunan harga tes PCR, Kadin Indonesia sudah bersuara. Waketum Kadin Indonesia Bidang GCG & CSR Suryani Motik mengatakan, margin 50  persen sampai 60 persen yang disebutkan pemerintah belum termasuk komponen jasa pelayanan biaya operasional, tenaga kesehatan dan dokter yang diperlukan dalam memproses sampel serta memvalidasi hasil PCR

“Mungkin saja diturunkan. Tetapi harus ada subsidi dari pemerintah agar tarifnya dapat ditekan hingga mencapai Rp 300 ribu,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (26/10).

Pemerintah sudah menetapkan batas tarif tertinggi pemeriksaan PCR turun menjadi Rp 275 ribu untuk pulau Jawa dan Bali. Lalu sebesar Rp 300 ribu untuk luar pulau Jawa dan Bali.

Hasil pemeriksaan RT-PCR dengan menggunakan besaran tarif tertinggi tersebut dikeluarkan dengan durasi maksimal 1x24 jam dari pengambilan tes usap (swab) pada pemeriksaan RT-PCR. Batasan tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR tersebut telah ditetapkan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/1/3843/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan RT-PCR, dan mulai berlaku hari sejak Rabu (27/10).

 

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, penurunan tarif tes PCR di Jawa Bali maupun luar Jawa Bali sudah melalui perhitungan biaya pengambilan dan pemeriksaan PCR yang terdiri atas sejumlah komponen. Antara lain, jasa pelayanan atau SDM, komponen reagen dan bahan habis pakai, komponen biaya administrasi, overhead dan komponen biaya lainnya disesuaikan dengan kondisi saat ini.

"Perlu saya tekankan, hasil pemeriksaan RT PCR dengan menggunakan besaran tarif tertinggi tersebut, dikeluarkan dengan durasi maksimal 1 x 24 jam dari pengambilan swab pada pemeriksaan RT PCR. dan Apabila terjadi penambahan waktu keluar hasil maka tidak akan meningkatkan biaya tes PCR," katanya.

Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir, sebelumnya juga memastikan turunnya harga tes PCR tidak memengaruhi kualitas PCR. Alasannya penyedia fasilitas sudah berkomitmen menyanggupi melakukan pemeriksaan.

"Ada 1.000 laboratorium yang memiliki mesin PCR, Kemenkes sedang mengidentifikasi daerah mana yang belum ada mesin PCR dan kami dorong mesin reagen di daerah yang belum," tegas Kadir dalam Konfrensi Pers secara daring, Rabu (27/10).

Kadir menuturkan, turunnya harga PCR sudah melalui audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang transparan dan akuntabilitas. Ia mengatakan, penurunan harga Swab RT PCR dipengaruhi beberapa faktor di antaranya, penurunan harga bahan habis pakai seperti cover all (Alat Pelindung Diri), harga reagen PCR dan RNA serta biaya overhead.

"Kami bersama teman-teman dari BPKP sudah lakukan investigasi tentang ketersediaan bahan baku kemudian ketersedian barang habis pakai," ucap Kadir.

Seteleh penetapan penurunan harga, dinas kesehatan masing-masing daerah diminta melakukan pengawasan terhadap pemberlakuan pelaksanaan batas tarif tertinggi pemeriksaan RT PCR. Hal ini untuk memastikan agar lembaga penyelenggara tes RT PCR mematuhi aturan terbaru Kementerian Kesehatan.

Wiku mengatakan, sebagai bentuk pengawasan, dinas kesehatan daerah provinsi dan dinas kesehatan daerah kabupaten kota, harus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemberlakuan pelaksanaan batas tarif tertinggi untuk pemeriksaan RT PCR sesuai dengan kewenangan masing-masing. Jika dalam pengawasan, terdapat laboratorium yang memakai harga tidak mengikuti ketetapan pemerintah, maka dinas kesehatan kota atau kabupaten akan melakukan pembinaan terhadap lembaga tersebut. 

Namun, jika lembaga tetap tidak mengikuti aturan maka akan dilakukan mekanisme penjatuhan sanksi. "Apabila masih tidak mengikuti aturan yang ditetapkan maka sanksi terakhir adalah penutupan laboratorium dan pencabutan izin operasional," ujar Wiku.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, turunnya tarif tes PCR secara nasional dapat memasifkan pengujian dan tracing kasus Covid-19 pada masyarakat untuk penurunan penyebaran Covid-19. "Turunnya tarif PCR ini sangat membantu mempercepat penurunan penyebaran Covid-19, sehingga semakin banyak orang dan semakin mudah bisa melakukan tes PCR," kata Riza Patria, di Balai Kota Jakarta, Kamis (28/10) malam.

Menurut Riza, dengan tarif tes PCR yang lebih murah maka lebih banyak kontak erat yang dites PCR, sehingga warga yang tertular Covid-19 lebih cepat terdeteksi. "Tindakan penanganannya juga bisa dilakukan lebih dini sebelum menularkan orang lain," katanya.

Pada kondisi seperti saat ini, kata dia, penting untuk menurunkan semua harga, apalagi tarif tes PCR, karena periode berlakunya hanya sebentar.

Daftar Harga Tes PCR di Asia Tenggara - (Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler