Bersiap Hadapi Gelombang Ketiga Covid-19 di Tanah Air

Pemerintah diminta segera menerbitkan aturan cegah gelombang ketiga Covid-19.

Republika/Putra M. Akbar
Petugas gabungan mengimbau kendaraan berplat nomor ganjil untuk berputar arah saat pengendalian mobilitas ganjil genap untuk pengunjung TMII di Jalan Pintu 1 TMII, Jakarta, Sabtu (18/9). Ditlantas Polda Metro Jaya memberlakukan kebijakan pembatasan mobilitas warga dengan sistem ganjil genap pada dua kawasan TMII dan Taman Impian Jaya Ancol pada hari Jumat, Sabtu dan Ahad mulai pukul 12.00-18.00 WIB. Republika/Putra M. Akbar
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Wahyu Suryana, Febrianto Adi Saputro

Berbagai negara di dunia sedang merasakan kembali kenaikan kasus Covid-19. Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengingatkan saat ini negara-negara di dunia menghadapi gelombang ketiga Covid-19. Padahal, cakupan vaksinasinya sudah di atas 70 persen dan sistem pendataannya sudah baik.

"Dunia saat ini menghadapi gelombang ketiga, misalnya Australia. Padahal, kalau bicara cakupan vaksinasi dosis penuh di Australia sudah 2,5 kali dari Indonesia atau sekitar 70 persen," ujarnya, Jumat (22/10).

Tak hanya cakupan vaksinasi yang tinggi, pria yang tengah menyelesaikan studi doktoral di Universitas Griffith itu  menyaksikan sistem pendataan Covid-19 negeri kangguru itu sudah bagus. Namun, dia melanjutkan, ketika membahas varian delta yang banyak terjadi di dunia maka tentu harus melihat cakupan vaksinasi.

Namun, dia melanjutkan, faktanya tetap terjadi gelombang ketiga dan jauh lebih tinggi dari gelombang dua dan gelombang pertama. Tak hanya Australia, ia merujuk pada benua yang paling bagus dalam deteksi tes, telusur, dan tindaklanjut (3T) yaitu Eropa. Bagusnya penanganan 3T yang dilakukan di Eropa membuat ini menjadi rujukan negara lain. Namun, dia melanjutkan, kasus Covid-19 di negara-negara di Eropa meningkat.

"Bahkan, infeksi Covid-19 di Eropa meningkat di atas 7 persen, kemudian kematiannya 10 persen," katanya.

Kalau melihat cakupan vaksinasi Indonesia yang masih belum 100 persen, dia mengakui artinya masih rawan. Sehingga, ia percaya gelombang ketiga Covid-19 di Indonesia adalah keniscayaan karena masih banyak jumlah orang yang belum divaksin.

Artinya belum ada proteksi karena banyak orang yang belum divaksinasi. Kemudian jika gelombang ketiga Covid-19 di Indonesia terjadi, ia menyebutkan DKI Jakarta yang bagus dalam 3T bisa jadi barometer. Kemudian kalau kasus di ibu kota meningkat maka bisa menjadi indikator.

Prediksinya Indonesia akan diterjang gelombang ketiga pada akhir tahun ini. Pakar epidemiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), dr Riris Andono Ahmad mengatakan, gelombang ketiga covid merupakan sebuah keniscayaan.

Ia menilai, saat ini kemungkinan terjadinya gelombang covid merupakan sebuah keniscayaan. Maka itu, Doni menekankan, kapan akan terjadi dan seberapa tinggi ini sangat tergantung terhadap situasi yang berkembang di masyarakat sendiri.

Doni menekankan, kemunculan gelombang ketiga atau gelombang-gelombang lainnya sangat tergantung kepada kondisi di masyarakat. Ia merasa, mobilitas, interaksi sosial dan kepatuhan dalam implementasi 3M bisa memicul gelombang covid ketiga.

Maka itu, ia mengingatkan, virus corona masih terus ada dan tidak sedikit orang yang tidak memiliki kekebalan. Sedangkan, orang yang telah mendapatkan vaksin covid, kekebalan yang didapat akan pula menurun seiring berjalannya waktu.

"Jadi, tidak hanya satu kali gelombang ketiga lalu setop, tapi akan terjadi lagi selama virus masih ada dan bersirkulasi secara global," kata Doni, Jumat (22/10).

Terkait vaksinasi, Direktur Pusat Kajian Kedokteran Tropis UGM ini menerangkan, beberapa negara dengan cakupan vaksinasi relatif tinggi saat ini sedang terus berjuang akibat varian delta. Seperti Israel, Inggris, Amerika dan negara-negara Eropa.

Ia menjelaskan, saat ada varian delta dengan tingkat penularan lebih tinggi butuh cakupan imunitas lebih tinggi dalam populasi. Misal, sebelumnya untuk mendapatkan kekebalan kelompok sekitar 70 persen populasi harus sudah divaksin.

Namun, sejak ada delta, cakupan vaksinasi ditingkatkan 80 persen. Itupun dengan anggapan vaksin yang diberi memiliki efektvitas 100 persen. Artinya, Indonesia untuk bisa mencapai 80 persen, sekitar 239 juta penduduk harus sudah divaksin.

"Dalam pelaksanan, seyogianya dilakukan dalam waktu kurang dari enam bulan agar bisa terwujud kekebalan kelompok. Ini kan sulit, misalnya sangguppun kekebalan kelompok hanya bertahan beberapa saat dan akan terus berkurang," ujar Doni.

Untuk itu, Doni meminta masyarakat agar tetap waspada dan tidak lengah. Sebab, walaupun saat ini kondisi terbilang membaik, tapi pandemi belum usai dan risiko penularan masih ada, terutama saat adanya pelonggaran aktivitas di masyarakat.

Saat penularan tinggi dilakukan, intervensi besar-besaran dengan PPKM. Begitu terkendali, aktivitas dilonggarakan karena tidak mungkin terus PPKM karena akan melumpuhkan perekonomian. Namun, pelonggaran berisiko penularan akan meningkat.

Karenanya, Doni kembali mengimbau masyarakat Indonesia untuk tetap patuh dalam menerapkan protokol kesehatan. Selain itu, ia meminta pemerintah untuk terus memperkuat penanganan 3T.





Baca Juga

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena, mengingatkan pemerintah agar segera membuat aturan untuk mencegah terjadinya gelombang ketiga. "Saya kira kembali kepada kita harus membuat aturan yang mana kita sama-sama sepakati baik pemerintah maupun masyarakat," kata Melki di Kantor DPP Partai Golkar, Jumat (22/10).

Menurutnya potensi tersebut bisa saja terjadi jika tidak dilakukan pencegahan dengan baik. Politkus Partai Golkar itu menilai masyarakat sudah lebih tertib dalam menjalankan protokol kesehatan, berbeda dibanding awal pandemi.

"Di awal-awal pandemi kita belum tertib tapi sekarang jauh lebih tertib. Masyarakat kita sadar bahwa urusan pandemi ini butuh kerja sama kita semua. Sekali lagi pemerintah bisa membuat berbagai aturan yang baik," tutur Melki.

Sebelumnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat kasus Covid-19 di Indonesia melandai dan positivity rate sebesar 0,6 persen per Kamis (21/10). Kendati demikian, Kemenkes melihat gelombang ketiga adalah sesuatu yang niscaya berpotensi terjadi, termasuk usai libur Natal dan tahun baru akhir tahun 2021 nanti.

"Gelombang ketiga adalah sesuatu yang niscaya berpotensi terjadi. Karena satu jurnal ilmiah sudah menyatakan bahwa Covid-19 ini sifatnya akan menimbulkan gelombang epidemiologi berkali-kali," ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Siti Nadia Tarmizi saat berbicara di konferensi virtual bertema 'Antisipasi Gelombang Ketiga Covid-19, Benarkah Terjadi Akhir Tahun?', Kamis (21/10).

Covid-19 tidak cukup selesai dalam hanya satu gelombang dan setelah mencapai puncaknya kemudian turun kemudian selesai. Artinya itu tak terjadi pada pola penyebaran Covid-19.
Apalagi, ia menyebutkan banyak negara yang saat ini sudah mengalami gelombang tiga, padahal mengalami cakupan vaksinasi yang tinggi dan memiliki tingkat protokol kesehatan (prokes) yang sudah baik, misalnya Eropa, Inggris, Amerika Serikat. Ia menambahkan, negara-negara ini sudah relaksasi karena masyarakatnya sudah tak pakai masker, melakukan aktivitas di tempat publik, tempat terbuka, jaga jarak juga sudah tak dilakukan karena cakupan vaksinasinya sudah lebih dari 70 persen sasaran vaksinasi.

Kemudian setelah ada varian delta, dia melanjutkan, kasus Covid-19 di negara-negara ini kembali naik dan mereka berjuang menurunkan kasus meski kasus kematian sangat rendah. Artinya, dia melanjutkan, gelombang ketiga Covid-19 sangat memungkinkan terjadi di Indonesia karena sudah ada contohnya di negara lain.

Apalagi, dia melanjutkan, setiap ada peningkatan mobilitas selalu terjadi peningkatan kasus Covid-19 karena biasanya kalau kasus Covid-19 turun maka ada relaksasi aktivitas masyarakat, termasuk ibadah. Biasanya dalam kondisi aman seperti sekarang, pihaknya menilai masyarakat cenderung dalam protokol kesehatan (prokes) yang biasa dijalankan jadi kendor. Jadi, tak lagi disiplin prokes. "Apalagi, di akhir tahun ini ada beberapa hal yang membuat terjadinya potensi peningkatan kasus Covid-19," ujarnya.

Pertama, Nadia melanjutkan, maulid nabi yang membuat pergerakan masyarakat terjadi. Kemudian momen kedua adalah natal dan pascaperingatan natal, kemudian terakhir adalah tahun baru. Nadia mengakui, setelah tahun baru ada peningkatan kasus dan ini dialami saat pergantian tahun 2020 menuju ke 2021.

Daftar Negara Boleh Masuk RI - (Republika)

 
Berita Terpopuler