Perguruan Tinggi Perlu Merespons Kesadaran Gaya Hidup Halal

Isu halal merupakan topik yang banyak dibicarakan dalam beberapa dekade terakhir.

istimewa
Rektor Universitas Islam Sultan Agung ( Unissula) Semarang, Drs Bedjo Santoso MT PhD
Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Perguruan tinggi dinilai perlu merespons kesadaran gaya hidup halal (halal lifestyle). Apalagi perguruan tinggi memiliki sejumlah potensi sumber daya yang memungkinkan untuk menumbuhkan kesadaran halal.

Baca Juga

Rektor Universitas Islam Sultan Agung ( Unissula) Semarang, Drs Bedjo Santoso MT PhD mengungkap, melalui pembentukan dan pengembangan pusat studi halal misalnya, perguruan tinggi dapat mengembangkan pedoman dan prosedur standar yang muslim friendly  baik di bidang produk maupun jasa. Untuk produk halal ini meliputi makanan, minuman, obat-obatan, peralatan medis, mainan anak-anak, kosmetik sampai produk pakaian.

Selanjutnya untuk sektor jasa, ungkap dia, terdiri dari pelayanan kesehatan, praktek dokter, apotek, klinik, rumah sakit, manajemen dan keuangan syariah, perbankan syariah serta layanan umum, pedangang dan penggiling daging, hingga pariwisata, perhotelan dan transportasi.

“Dalam melaksanakan tugas besar tersebut maka perguruan tinggi sudah sepatutnya mempunyai laboratory equipment semacam alat-alat laboratorium yang canggih seperti PCR, Spectrofotometer UV-Vis, Ultrasonic,Low Temperature, Spectroflouresence, hingga TLC Densitometer, Discussion room, dispaly riset room, steril riset room, locker and storage room,katanya kepada Republika, Senin (18/10).

Semua fasilitas tersebut, kata Rektor, saat ini sudah dimiliki oleh Unissula pada Pusat Studi Global Halal Center (GHC). “Sebagai pengejawantahannya, kami berusaha menjadi pusat studi halal yang mandiri, berdaya saing dan terdepan di dunia, berdedikasi untuk menyelamatkan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman untuk kemanfaatan universal,” kata dia.

Diungkapnya, isu halal merupakan topik yang banyak dibicarakan dalam beberapa dekade terakhir. Hal tersebut dikarenakan, gaya hidup halal menjadi kebutuhan baik Muslim dan non-Muslim.“Halal lifestyle dikaitkan dengan  believe, quality product, kesehatan dan keselamatan konsumen,”kata dia.

Saat ini, kata dia. tidak hanya negara-negara mayoritas Muslim yang secara aktif menangani kebutuhan tersebut, tetapi juga negara-negara dengan penduduk minoritas Muslim seperti Korea Selatan dan Jepang .

“Korea Selatan adalah negara yang sangat progresif dan melihat peluang potensial di pasar Muslim, termasuk penerbitan panduan restoran halal Korea untuk mendukung pengembangan industri jasa pariwisatanya,”katanya.

Menurut Rektor, industri halal Indonesia memiliki potensi besar untuk dikembangkan.  Populasi Muslim di Indonesia mencapai 85,2 persen atau sebanyak 200 jiwa dari total penduduk 235 juta jiwa penduduk yang memeluk agama Islam. Dengan jumlah penduduk demikian besar, maka makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetik yang dikonsumsi masyarakat Indonesia pun berjumlah besar.

Pemerintah, lanjut dia,  berupaya mengelola potensi ini melalui regulasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Melalui regulasi ini maka pada tahun 2019 semua makanan yang beredar di Indonesia sudah memiliki sertifikat halal.

“Potensi dan dukungan regulasi ini sudah seharusnya dilirik oleh institusi pendidikan tinggi. Sebagai centre of knowledge, institusi pendidikan tinggi bisa mengembangkan beragam cara untuk menguatkan kesadaran halal lifestyle yang sudah semakin membesar ini,”kata dia. 

 
Berita Terpopuler