Zaim Saidi dan Nasib Dinar Kuno Kekhalifahan di Situs Barus

Dengan kasus Zaim Saidi memang tampaknya sejarah Islam perlu ditulis ulang.

Republika.co.id
1.300 tahun lalu dinar-dirham dipakai untuk transaksi di Desa Jago-Jago Sumut.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Tentu saja menjadi aneh bila hari ini sampai mendengar kabar penggagas 'Pasar Mamalah' Zaim Saidi divonis tidak bebas alias dipidana. Untunglah hakim di pengadilan Depok masih melihat nurani bahwa dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak) sejak dahulu kala sudah menjadi mata uang di wilayah nusantara. Bahkan, transaksi dengan uang emas dan dirham ini terjejak sudah dilakukan di Indonesia lebih dari 1.000 tahun silam.

Temuan adanya mata uang dinar kuno di Indonesia sudah ada buktinya. Dan yang paling berjasa mengungkapkannya adalah pada sosok Dr Phil Ichwan Azhari. Dia adalah seorang sejarawan, pengajar, dan ahli filologi Indonesia.

Dr Ichwan Azhari juga merupakan ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Medan, Sumatra Utara. Ichwan juga dipercaya sebagai ketua Asosiasi Museum Indonesia Sumatra Utara. 

''Bagaimana kabarnya kasus Dirham Pak Zaim Saidi?'' tanya beliau dalam percakapan melalui telepon Selasa pagi (12/10). Entah ada feeling apa tiba-tiba kami membicarakan soal dinar kuno yang ditemukan dalam jumlah besar di sebuah kampung terpencil di kawasan Barus, Sumatra Utara. Tampaknya perhatian tersentak ke sana ketika "Babe" Ridwan Saidi menuliskan hubungan tanah yang disebutnya sebagai Andunisi (Indonesia) dengan peradaban Mesir kuno semasa para dinasti Fir'aun berkuasa.

Tapi, intinya kami berdua sedih ketika temuan "raksasa" bahwa tanah nusantara sudah berjalin hubungan dengan masa kegemilangan Islam ribuan tahun silam ditemukan seperti terabaikan. Klaim bahwa orang Indonesia tak kenal uang emas faktanya memang hanya bualan. Jejak uang dirham dan dinar kuno itu kini nyata dan salah satunya tersimpan dalam koleksi perpustakaan milik politisi Fadli Zon yang berada di kawasan Perjenihan, Jakarta Pusat.

''Kami sudah lapor soal itu kepada pihak Kemendikbud. Juga sudah lapor kepada pihak Museum Nasional. Intinya, kami minta agar negara mengamankan situs kuno itu. Dan juga mengamankan koleksi dinar dan dirham kuno itu yang kini masih ada di tangan masyarakat,'' ujar Ichwan.

Dan menurut Ichwan, efek dari ditemukannya dinar kuno masa kekalifahan ini akan sangat mengubah sejarah. Misalnya soal kedatangan Islam yang ada di buku-buku sejarah masih ditulis dengan mengacu pada sejarah kolonial, di mana Islam selalu disebut datang dari Gujarat (India), tak langsung dari kawasan Arabia. Klaim sejarah ala kolonial kini benar-benar terbantahkan dengan telak.

Baca juga : Tahanan Jihad Islam akan Mogok Makan di Penjara Israel

''Sayangnya belum ada perhatian dan jawaban saya. Memang ada keinginan dari Perpusnas untuk mengambil tindakan. Namun, sampai hari ini belum terlaksana karena saat itu meledak soal pandemi Covid-19. Jadi, soal ini urung diurus,'' kata Dr Ichwan.

Tentu menjadi tanda tanya besar, bahkan misteri, kenapa ratusan koin dinar dan dirham era dinasti Umayyah dan Abassiah ini ditemukan para penambang emas tradisional di desa kecil ini?

Desa yang tidak dikenal saat ini tapi yang lokasinya satu garis lurus berjarak sekitar 70 km sebelah selatan bandar kuno legendaris Barus, Tapanuli Tengah, Sumut. Desa ini memiliki kawasan bernama Bongal, area berupa endapan lumpur yang di dasarnya, sedalam tiga meter lebih, terdapat bekas permukiman kuno dengan jutaan fragmen peradaban yang mengejutkan di sebuah kota kuno yang hilang.

Situs Bongal di Desa Jago Jago ini pada dasarnya merupakan situs kota perdagangan dan industri kuno yang sangat ramai didatangi ratusan bahkan mungkin ribuan kapal asal Timur Tengah, India, Cina, juga dari wilayah Sriwijaya.

Transaksi moneter internasional juga berlangsung di situs Bongal ini. Bukan hanya koin Umayyah dan Abassiah (7-8 M) yang ditemukan, melainkan juga koin dari India era Pandyas (7-8 M), koin Cina dinasti Tang (7-8 M), serta koin Sriwijaya. 

Atas temuan ini, ujar Dr Ichwan, Balai Arkeologi (Balar) Sumatra Utara bekerja sama dengan PT Media Literasi Nesia/Islam Today Jakarta, sejak 18 Januari 2021 sampai hari ini (30 Januari 2021) sedang melakukan ekskavasi di situs temuan baru yang luar biasa ini.

"Sekalipun berjarak tidak terlalu jauh dari Barus, tapi situs ini dipastikan jauh lebih tua dibanding Barus. Di Barus tidak ditemukan koin dinar-dirham dinasti Umayyah dan Abassiah yang ratusan ditemukan di kampung kecil ini,'' kata Dr Ichwan. 

Baca juga : Kebebasan Zaim Saidi dan Penulisan Sejarah Umat Islam

Papan pecahan kapal dan permukiman kuno dari situs itu pun sudah diteliti di laboratorium di Amerika oleh Balar Sumut. Hasilnya akurat, terbukti kayunya merupakan jejak peradaban kuno berasal dari abad ke-7 Masehi.

Bukan hanya ditemukan dinar dan dirham di situs spektakuler ini, bahkan alat ukur satuan dinar dan dirham dari Timur Tengah bernama ukiyyah juga ditemukan. Jadi, ada semacam lembaga keuangan kuno yang mengontrol sistem moneter sudah berlangsung di tempat itu.

"Penemuan situs yang memenuhi syarat ditetapkan sebagai cagar budaya nasional, bahkan level internasional. Keberadaan situs ini tak lama lagi akan memasuki penulisan baru historiografi Indonesia, khususnya era masuknya peradaban Islam di Indonesia,'' lanjut Ichwan. 

 

Saat ini, kata Dr Ichwan, sebuah buku baru berjudul Sejarah Islam di Nusantara yang ditulis sejarawan autodidak Abu Bakar Bamuzaham yang berisi temuan Islam situs Bongal ini segera akan diluncurkan. Abu Bakar sendiri awalnya seorang jurnalis. Dia adalah direktur lembaga yang mendanai ekskavasi Balar ini. 

''Sekali lagi, situs Bongal ini menguatkan hipotesis seminar pertama mengenai masuknya Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada 1963. Tajuknya waktu itu: Islam masuk sejak abad pertama di Indonesia. Dan kini fakta itu membenarkannya."

Yang pasti, Desa Jago Jago dengan ratusan temuan dinar dan dirhamnya dari abad 7-8 Masehi membuat sejarah akan terperangah. Apalagi, mulai ada tanda-tanda diduga jejak Kristen Nestorian kuno di abad ketujuh, artefaknya pun mulai ditemukan juga di sana.

"Namun, di tengah hutan rawa berlumpur, di tepi lobang gali tambang emas tradisional situs Bongal ini, saya, pada Agustus 2020 yang lalu, terduduk gusar menatap puluhan warga mendulang emas di sela-sela runtuhan tiang permukiman kuno abad ketujuh Masehi. Saya sedih sekali bila situs ini rusak,'' ungkap Dr Ichwan.

Namun, urai Dr Ichwan, kala itu dari tepi kotak galian penambang emas itu dirinya kemudian merenung dan haru. Bahkan, kala kemudian menjadi terasa sia-sia karena tak pernah menemukan nama Bongal, Jago-Jago, dan Badiri dalam literatur kuno mana pun. Bongal dengan dirham dan emasnya serta sejarah yang ada di baliknya masih tetap tak dihiraukan.

"Seperti saya paparkan dalam FGD Islam dan jalur rempah di UINSU (22 Desember 2020), dalam peta jalur pelayaran kuno yang saya selidiki, tempat ini tidak terdeteksi. Peta Belanda yang rajin jelajah situs pun kosong tak mencatat tempat ini. Bongal sebuah kota kuno dunia yang tidak terdapat pada peta mana pun,'' tandasnya sedih.

Baca juga : Kedatangan Nabi Muhammad di Madinah yang Disambut Baik

Dan kini ada "setetes air pemikiran" untuk kembali peduli pada keberadaan situs ini. Melaui kasus Pasar Muamalah dinar dan dirham Zaim Saidi, mudah-mudahan timbul kesadaran akan jati diri itu. Sekali lagi, dengan kasus dinar, dirham, serta situs Bongal di Barus, saat ini memang terbukti kembali sejarah Indonesia perlu ditulis ulang.

Sejarah Indonesia memang penuh klaim kolonial dan politik kekuasaan. Yang ujungnya adalah membuat persepsi bahwa agama Islam adalah sesuatu yang asing di sini.

Wallahu'alam.

 
Berita Terpopuler