Shalawat Badar, Mimpi Pria Berjubah Putih dan Perlawanan PKI

Shalawat Badar menjadi simbol kuat perlawanan terhadap PKI.

Antara/Abriawan Abhe
Shalawat Badar menjadi simbol kuat perlawanan terhadap PKI. Ilustrasi
Rep: Andrian Saputra Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, — Shalawat Badar merupakan shalawat yang banyak dikumandangkan umat Islam Tanah Air terutama Nahdliyin. Apa sebenarnya latarbelakang shalawat Badar?  

Baca Juga

Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama (PP Lesbumi NU), KH  Muhammad Jadul Maula, mengatakan dalam sebuah catatan abjad pegon KH Ali Manshur menuliskan bahwa shalawat Badar ditulis sekitar 1960-an. 

tau tepatnya pada 1962 pasca-Dekrit 1959 dan jelang meletusnya Gestapu pada 1965. Penulisan shalawat Badar karena kecintaan kiai Ali Manshur yang begitu besar kepada Rasulullah, umat Islam, serta bangsa Indonesia.  

KH Ali Manshur merasa gelisah dengan situasi umat dan kebangsaan pada era tersebut. Karenanya dia pun ingin menulis shalawat itu sebagai doa. 

Pada catatan itu Kiai Ali Manshur mengatakan pada malam Jumat tetangganya bermimpi didatangi sekelompok orang berjubah putih, bersamaan dengan itu pula istrinya yakni Nyai Khotimah menceritakan bermimpi melihat Kiai Ali Manshur berangkulan dengan Rasulullah.  

Setelah itu kiai Ali Manshur pun mendapat penjelasan dari Habib Hadi al Haddar Banyuwangi bahwa orang-orang berjubah itu adalah ahlul badr (para sahabat Nabi yang bertempur di perang Badar). Dari situlah kiai Ali menulis shalawat dan menamainya shalawat Badar.   

Shalawat Badar kemudian dibacakan Kiai Ali Manshur di hadapan pamannya yakni KH Ahmad Qusyairi dan para muridnya. Beberapa waktu kemudian para habib yang dipimpin Habib Ali bin Abdurahman Al Habsyi Kwitang datang menemui Kiai Ali Manshur untuk mendiskusikan tetang situasi nasional kebangsaan. 

Dalam diskusi tersebut, Habib Ali Kwitang  meminta kiai Ali Manshur membacakan shalawat Badar. Para habib yang bertamu pun mendengarkan, mengaminkan, meluapkan rasa haru ketika shalawat Badar itu dibacakan.  

Baca juga : DPR Resmi Berhentikan Azis Syamsuddin dari Wakil Ketua DPR

Saat itu Habib Ali Kwitang mengajak agar shalawat Badar dipopulerkan sehingga dapat menyaingi lagu genjer-genjer yang kala itu tengah dipopulerkan PKI. 

KH Ali Manshur kemudian diundang ke Jakarta untuk membacakan shalawat Badar dihadapan banyaknya jamaah. Ketika itu Habib Ali Kwitang segera menginstruksikan murid-muridnya mencatat shalawat Badar, mencetak dan memperbanyak untuk disebarkan ke berbagai daerah sehingga menjadi populer.  

"Shalawat Badar diciptakan mengiringi keprihatinan kebangsaan, nasib rakyat, umat di tengah situasi tahun enam puluhan. Komunisme menggunakan kebudayaan melalui seni rakyat untuk mengusung tema komunisme yang itu bersitegang dengan kiai-kiai.

Atas situasi itulah shalawat Badar tercipta. Shalawat Badar ini ikut membentuk karakter bangsa yang nasionalis dan religius," kata Gus Jadul Maula.  

Hubungan NU dan PKI begitu memanas pada era 1960-an. Terlebih banyak para kiai NU yang mendapatkan perlakukan kekerasan karena menentang ideologi PKI serta menolak upaya paksa perampasan tanah-tanah wakaf umat untuk pesantren z masjid, atau lembaga pendidikan Islam oleh PKI. Sejarawan Islam yang juga Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah Kencong Jember, Rizal Mumazziq, mengatakan sebelum peristiwa Gerakan 30 September (Gestapu) bentrok antara NU dengan PKI sering terjadi di sejumlah daerah.  

Misalnya saja di Surabaya, pada 1960-an PKI melalui Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia menyerobot tanah milik Muslimat NU yang bertujuan untuk wakaf Yayasan Khadijah. 

Menurut Gus Rijal, PKI menginginkan agar tanah-tanah wakaf yang dimiliki pesantren atau kiai itu harus dibagikan secara merata bagi para rakyat atau Barisan Tani Indonesia. Patok-patok yang dipasang pemuda rakyat dan BTI itu pun menyulut kemarahan para santri terutama Banser hingga berujung bentrok.  

Penistaan terhadap agama Islam juga dilakukan PKI untuk memancing kemarahan warga Nahdliyyin. Di Jember misalnya, di tengah istighasah dan pembacaan shalawat Badar oleh para santri dan GP Ansor, tak jauh dari lokasi, para anggota PKI justru menggelar parade nyanyian seni dan drama yang menyinggung umat Islam. 

Baca juga : Obat Hati dan Obat Penyakit yang Disebutkan Rasulullah SAW

Di antara drama yang ditampilkan berjudul Matine Gusti Allah, Malaikat Kawin, dan juga Haji Bahrum sebagai upaya merendahkan para ulama.  

"Jadi memang ini pertarungan ideologi melalui budaya atau seni. Jadi jika shalawat Badar itu dikumandangkan sebagai bagian dari pemersatu unsur kesantrian juga sebagai budaya tanding dari genjer-genjer PKI," katanya.      

 
Berita Terpopuler