Keparahan Covid-19 Bisa Terprediksi dari Kondisi Hidung

Mikrobiota di hidung-tenggorokan bagian atas bisa jadi penanda keparahan Covid-19.

www.freepik.com
Penderita Covid-19 (ilustrasi). Mikrobiota yang hidup di hidung dan tenggorokan bagian atas merupakan pelindung garis depan terhadap serangan virus, termasuk SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
Rep: Umi Nur Fadhilah Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK CITY — Studi menunjukkan mikrobiota di hidung dan tenggorokan bagian atas kemungkinan mengandung biomarker untuk menilai kemungkinan keparahan seseorang yang terinfeksi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19. Hasil studi itu disebut dapat membantu mengembangkan strategi pengobatan baru terhadap penyakit menular tersebut.

Peneliti geriatri Sadanand Fulzele menjelaskan, mikrobiota nasofaring merupakan pelindung garis depan terhadap serangan virus, bakteri, dan patogen lain yang masuk ke saluran napas. Studi yang dirinci dalam jurnal Diagnostics itu memperlihatkan adanya "hubungan kuat" antara mikrobiota hidung, infeksi SARS-CoV-2, dan tingkat keparahan.

Tim dari Departemen Kedokteran di Medical College of Georgia di Augusta University, Amerika Serikat memeriksa mikrobiota di hidung sejumlah partisipan. Penelitian melibatkan 27 orang berusia 49 hingga 78 tahun yang negatif Covid-19, 30 orang positif tanpa gejala, dan 27 orang positif dengan gejala sedang yang tidak memerlukan rawat inap.

Baca Juga

Peneliti melihat individu bergejala Covid-19 punya jumlah bakteri yang rendah di rongga nasofaringnya. Sementara itu, hanya dua individu dalam kelompok negatif Covid-19 dan empat orang positif Covid-19 tanpa gejala yang rendah populasi bakteri di nasofaringnya. Sebagian besar individu positif Covid-19 asimtomatik tampak memiliki mikrobiota dalam jumlah yang cukup.

"Jutaan orang terinfeksi dan relatif sedikit dari mereka yang menunjukkan gejala. Ini mungkin salah satu alasannya," kata direktur Georgia Esoteric and Molecular Laboratory, atau Lab GEM, Ravindra Kolhe dilansir Times Now News, Rabu (29/9).

Baca juga : Mau Vaksinasi Flu, Balita AS Malah Disuntik Vaksin Covid-19

Fulzele menjelaskan, hidung meler dan bersin mungkin menjadi penyebab penurunan jumlah bakteri tersebut. Jumlah bakteri yang sudah jauh lebih rendah mungkin telah meningkatkan risiko individu untuk mengembangkan gejala semacam ini atau virus mungkin telah mengubah kondisi nasofaring.

Lebih lanjut, penelitian ini juga menunjukkan bahwa mikrobiota yang berubah pada pasien yang bergejala berdampak pada respons imun mereka terhadap virus. Individu yang bergejala memiliki dua spesies bakteri dengan jumlah yang jauh lebih tinggi, termasuk Cutibacterium.

Bakteri Cutibacterium umumnya ditemukan pada kulit dan berhubungan dengan jerawat, infeksi jantung, dan infeksi bahu setelah operasi. Sebaliknya, ada sedikit lebih rendah dari bakteri lain, bukan bakteri yang dipelajari dengan baik.

Mikrobiota dari kedua kelompok yang terinfeksi, baik simtomatik maupun asimtomatik, memiliki bakteri tingkat tinggi, seperti Cyanobacteria. Bakteri yang juga dikenal sebagai ganggang biru-hijau itu dapat ditemukan di air yang terkontaminasi dan merupakan penghuni mikrobioma pada manusia untuk mengatur respons imun.

Bakteri itu biasanya memasuki tubuh melalui permukaan mukosa, seperti yang ada di hidung. Ia diketahui menyebabkan pneumonia dan kerusakan hati.

 
Berita Terpopuler