KH Bey Arifin Mubaligh dan Imam Tentara (I)

Bey kecil rajin pergi ke surau untuk mengaji Alquran.

Tangkapan Layar
KH Bey Arifin
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Bey Arifin lahir di Desa Parak Laweh, Kecamatan Tilatang, Agam, Sumatera Barat, pada 26 September 1917. Ayahnya adalah Muhammad Arif, bergelar Datuk Laut Basa. Adapun ibundanya bernama Siti Zulaikha.

Baca Juga

Dalam tradisi Minangkabau kala itu, seorang anak yang baru lahir tidak langsung diberi nama. Alhasil, saat baru lahir Bey hanya diberi sebutan, sebagaimana anak laki-laki lainnya, yaitu Buyung. Ibunya berasal dari Suku Tanjung. Maka dari itu, anak ini disebut pula Buyung Tanjung. Ia juga dipanggil sebagai Buyung Kepuyuaksaat masih kecil. Kata kepuyuaksendiri berarti kecoa. Sebutan itu diberikan kepadanya karena setiap berolah raga Buyung kecil begitu lincah, layaknya serangga tersebut.

Bey Arifin lahir di Desa Parak Laweh, Kecamatan Tilatang, Agam, Su matera Barat, pada 26 September 1917. Ayahnya adalah Muhammad Arif, bergelar Datuk Laut Basa. Adapun ibundanya bernama Siti Zulaikha.

Dalam tradisi Minangkabau kala itu, seorang anak yang baru lahir tidak langsung diberi nama. Alhasil, saat baru lahir Bey hanya diberi sebutan, sebagaimana anak laki-laki lainnya, yaitu Buyung. Ibunya berasal dari Suku Tanjung. Maka dari itu, anak ini disebut pula Buyung Tanjung. Ia juga dipanggil sebagai Buyung Kepuyuaksaat masih kecil. Kata kepuyuaksendiri berarti kecoa. Sebutan itu diberikan kepadanya karena setiap berolah raga Buyung kecil begitu lincah, layaknya serangga tersebut.

 

Totok Djuroto dalam Buku Perjalanan Panjang Seorang Dai KH Bey Arifin mengungkap, sejak kecil Bey Arifin sudah sering sakit-sakitan. Orang tuanya pun kerap mengganti namanya. Sebab, nama adalah doa. Dan, menemukan doa yang baik pun perlu proses berulang-ulang.

Sebagaimana anak-anak pada zamannya, Bey Arifin kecil sudah mulai bekerja untuk membantu ayah-ibu. Pada pagi hari, ia pergi ke sawah sambil memanggul cangkul dan menenteng golok. Di sana, ia bergelut dengan lumpur dan mengolah tanah sembari membantu ayahnya bercocok tanam.

Pada suatu bulan suci Ramadhan, masyarakat setempat sedang menggelar acara peringatan Nuzulul Qur'an.Bey Arifin--yang saat itu masih dipanggil Buyung Tanjung--ikut ke masjid dengan dituntun ayahnya. Sesampainya di tempat ibadah itu, ia dengan penuh perhatian menyimak ceramah yang disampaikan Kiai Nurdin Ahma asal Kamung Parak Laweh.

Faktanya, Bey Arifin tidak sekadar mendengarkan orasi. Sebab, ia juga fokus pada sosok sang penceramah di kampung halamannya itu. Ia merasa, hebat sekali seseorang bisa tampil piawai di atas podium.

Setiap kata yang meluncur dari lisannya terus memikat para pendengar. Sejak saat itu, Bey mulai bercita-cita untuk menjadi seorang juru dakwah. Bahkan, ia sering mengikuti Kiai Nurdin dalam setiap acara keagamaan.

 

Bey kecil pun menjadi lebih rajin pergi ke surau untuk mengaji Alquran. Ia kian tekun mempelajari dasar-dasar ilmu agama Islam sehingga dalam usia muda dirinya menjadi alim dan gemar beribadah.

Ayahnya hanya seorang petani. Akan tetapi, kerja kerasnya berbuah manis. Bey Arifin dapat masuk sekolah umum tingkat dasar (Folkschool). Di kelas, ia fokus belajar, terutama mengingat perjuangan ayahnya dalam mencari nafkah. Tiga tahun kemudian, ia lulus dengan hasil yang memuaskan.

Karena masih haus ilmu pengetahuan, ia pun melanjutkan pendidikan ke Vervolgschool. Saat duduk di kelas empat, ia juga belajar agama di Ibtidaiyah Diniyahscholl, Simpang Empat. Sekolah Islam itu terletak tidak jauh dari desanya. Pada 1931, ia berhasil menyelesaikan studinya di Vervolgschool.

Sekitar tujuh tahun kemudian, Bey Arifin meneruskan pendidikan di Islamic College Kota Padang. Waktu itu, ia sudah terbiasa dalam kegiatan dakwah Islam. Kemampuan berceramah pun dikuasainya, terutama sejak usia 17 tahun. Ia sering berpidato atas nama Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII) di berbagai forum. Di antaranya adalah pengajian umum yang disebut sebagai Openbare Vergadering.

Di atas podium, ia kerap menyingkat namanya menjadi BJ dan menambahkan nama belakang ayahnya. Lengkapnya menjadi BJ Arifin. Namun, pada 1934 seorang sahabatnya, Tamarajaya, menyarankan agar penanda BJ diganti menjadi Bey karena lebih mudah dilafalkan. Sejak saat itu, namanya pun lebih dikenal sebagai Bey Arifin atau Ifin. 

Mengikuti tradisi Minangkabau, Bey Arifin pun merantau pada 1939. Dalam buku Nasionalisme Indonesia di Kalimantan Selatan, Wajidi menjelaskan, Bey saat itu menumpang kapal Slout van Dieman. Ia berangkat bersama temannya, Maisyir Thaib, ke Banjarmasin. 

Saat itu, Bey Arifin sudah menapaki usia 22 tahun. Begitu tiba di Banjarmasin, mereka lantas menuju daerah Rantau. Di sana, Bey mengajar pada Noormal School Islam, yaitu sekolah yang mendidik para calon guru.

 
Berita Terpopuler