Yang Dilarang dan yang Boleh dari Musik Menurut Ulama

Pada dasarnya hukum musik merujuk pada perkara penyertanya

Wihdan Hidayat / Republika
Pada dasarnya hukum musik merujuk pada perkara penyertanya. Ilustrasi konser musik
Rep: Umar Mukhtar Red: Nashih Nashrullah

hangat untuk diperbincangkan dari dulu sampai sekarang. Apalagi, seiring berkembangnya zaman, musik semakin tumbuh di tengah masyarakat dengan beragam genre. Ada rock, pop, jazz, blues, rap, reggae, country, dan sebagainya. Belum lagi musik yang lahir dari kebudayaan Indonesia. 

Baca Juga

Lantas, sebetulnya bagaimana pandangan Islam terhadap musik? Wakil Ketua Dewan Fatwa PB Al-Washliyah, Dr Nirwan Syafrin, menyampaikan penjelasan dengan membaginya pada tiga hal, yakni nyanyian, alat musik, dan musik itu sendiri, yang dalam hal ini bisa dikatakan sebagai perpaduan nyanyian dan alat musik. 

Pertama, soal nyanyian yakni lantunan suara yang berirama. Nirwan mengatakan, jika nyanyian itu tidak mengandung sesuatu yang haram, kemaksiatan, kejahatan, kekufuran, dan kesyirikan, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mutlak membolehkan, mengharamkan, dan memakruhkan. 

"Untuk nyanyian seperti Tala' al-Badru 'Alayna, atau seperti nasyid yang isinya mengajak pada kebaikan, bahkan lantunan ayat suci Alquran, para ulama membolehkan," tutur pengajar filsafat dan pemikiran Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor itu kepada Republika.co.id, Senin (20/9). 

Namun, ketika nyanyian tersebut bercampur dengan sesuatu yang haram, misalnya disertai dengan minuman keras (miras), atau dinyanyikan di tempat yang penuh kemaksiatan, maka para ulama sepakat mengharamkannya. 

Nirwan juga menjelaskan, Rasulullah SAW pernah memuji sahabat bernama Abu Musa Al Asyari karena memiliki suara yang merdu. Nabi SAW juga pernah menyaksikan orang-orang badui merayakan hari besar dengan bernyanyi, dan beliau membiarkan Aisyah RA untuk menyaksikan pertunjukan tersebut. "Jadi banyak ulama yang membenarkan nyanyian itu, dengan syarat tidak mengandung unsur keharaman, kesyirikan, maksiat, kejahatan, kekufuran, dan kemunafikan," tutur dia. 

Kedua, mengenai musik, Nirwan memaparkan, memang ada ulama yang mengharamkannya secara mutlak. Pendapat ini mengharamkan musik secara mutlak dan bagi mereka mendengar musik sudah masuk kategori dosa besar sehingga apa saja jenis musiknya itu haram. 

"Tetapi pendapat ini tidak mainstream. Kita juga tidak sepakat kalau terlalu berlebihan. Bahkan, Yusuf Al Qaradhawi (ulama Mesir) sendiri mengatakan, jika musik haram dan sama dengan dosa besar, itu terlalu ekstrem," paparnya. 

 

Menurut Nirwan, kalaupun ingin menyebut haram, seharusnya tingkat keharamannya tidak sampai pada dosa besar, tetapi masih bisa dihapuskan  kebaikan-kebaikan lain. Sehingga termasuk kategori kemaksiatan yang dosanya bisa gugur dengan wudhu lalu sholat. 

Namun, dia mengingatkan, musik menjadi haram jika di dalamnya terkandung berbagai keburukan sebagaimana yang telah dijelaskan.

Ketiga, terkait alat musik. Sejumlah ulama klasik membolehkan beberapa jenis alat musik seperti seruling dan alat musik yang dipukul. Sedangkan, di zaman modern sekarang, alat-alat musik kian beragam. 

Mengutip pendapat Syekh Yusuf Al Qaradhawi, Nirwan menyampaikan, keberadaan alat musik modern sekarang ini mutlak dibolehkan berdasarkan kaidah fiqih 'al-ashlu fil asy-yaa'i al-ibaahah' (dasar segala sesuatu itu boleh). "Tidak ada dalil yang jelas mengharamkan alat-alat musik tertentu," ucapnya. 

Sebelum Al Qaradhawi, ulama Mesir lainnya, Muhammad Al Ghazali, pun membolehkan alat musik. Al Ghazali juga mempersoalkan pendapat yang mengharamkan alat musik berdasarkan riwayat hadits yang di dalamnya Nabi SAW bersabda: 

  لَيكونَنَّ من أمَّتِي أقوامٌ، يَستحِلُّون الحِرَ والحريرَ، والخمرَ والمعازفَ "Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutra, khamar dan alat musik." 

Mengutip pendapat Al Ghazali, Nirwan mengatakan, matan hadits tersebut bermasalah jika dijadikan dasar untuk mengharamkan alat musik. Sebab, kata ma'azif (alat musik yang ditabuh) dalam hadits itu sebelumnya disertai beberapa perbuatan lain. Artinya, keberadaan alat musik di dalam hadits tersebut tidak berdiri sendiri.

"Dengan demikian, yang diharamkan itu adalah yang berkenaan dengan perbuatan-perbuatan yang jelas-jelas haram tadi. Jadi tidak mutlak berkenaan tentang alat musik. Karena dalam satu kalimat itu ada yang lain, ada zina dan khamr," jelasnya.

Karena itu, Nirwan menjabarkan, Al Ghazali cenderung memilih bahwa alat musik seperti rebana, gendang, dan termasuk alat musik modern, itu boleh. Bila kemudian ada yang mengharamkan alat musik secara mutlak, mereka berpandangan bahwa musik membuat lalai dan tidak bermanfaat. Sebab, seorang Muslim harus menghindari hal yang tidak bermanfaat dan menyebabkan lalai. "Ini dalil mereka yang mengharamkan terkait alat musik," katanya. 

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai musik, Nirwan mengingatkan untuk tidak terlalu membesar-besarkannya. Umat Muslim harus moderat dalam beragama. Jika berpendapat musik haram, maka jangan kemudian haramnya disamakan dengan zina, atau dosa-dosa besar lainnya. 

 

"Kita harus posisikan ini pada tempatnya. Ini ada dalam ranah ikhtilaf, ranah di mana ulama berbeda pendapat. Jadi kita juga harus bisa menyikapinya dengan baik. Kalau ada yang membolehkan, dia punya dalil, dan yang mengharamkan juga punya dalil," imbuhnya.  

 
Berita Terpopuler