Fenomena Mana Dalilnya & Perlunya Memahami Alquran

Dalil merupakan hal suci yang bersumber dari Alquran dan hadits.

ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Fenomena Mana Dalilnya & Perlunya Memahami Alquran
Rep: Imas Damayanti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mempelajari dan mendalami agama tentu merupakan sikap yang amat baik. Mempelajari dan mendalami agama seyogyanya perlu dilakukan dengan kesadaran, kesabaran, dan pemahaman komprehensif terhadap ajaran agama.

Baca Juga

Belakangan, di tengah umat Islam terdapat fenomena banyaknya umat Muslim yang kerap mempertanyakan dalil terlebih dahulu jika hendak melakukan atau berargumentasi tentang sesuatu. Di satu sisi, sikap ini tentu saja menjadi hal positif, namun di sisi lain tak jarang menimbulkan benih-benih negatif.

Dalil merupakan hal suci yang bersumber dari Alquran dan hadits. Maka atas dasar ini, orang awam dan orang yang hanya memiliki pengetahuan agama sedikit dilarang menafsirkan Alquran dan memahami hadits secara serampangan. Fenomena mengenai banyaknya orang yang bertanya ‘mana dalilnya?’ pun harus memperhatikan etika serta niat yang lurus terlebih dahulu.

Sebab, memahami Alquran dan hadits harus dilandasi dengan berbagai macam diskursus ilmu pengetahuan yang tidak sederhana. Terdapat ilmu Alquran dan ilmu hadits yang kesemuanya itu membutuhkan waktu lama dan fokus pemahaman yang diperlukan.

KH Ali Mustafa Yaqub dalam kitab At-turuq As-Shahihah fi Fahm As-Sunnah An-Nabawiyyah menjelaskan jika merujuk pada ilmu hadits, maka ketika ditemukan sebuah riwayat yang pertama kali dilakukan adalah menganalisa otentitas sanad. Kemudian setelah itu barulah dilakukan analisis matan hadits (redaksional).

 

Sehingga andaikan sebuah hadits memiliki kadar shahih dan redaksinya juga tidak bermasalah, hadits tersebut belum tentu bisa diamalkan karena perlu ditinjau lagi dengan metode-metode pemahaman hadits (turuq fahmul hadits). Langkah-langkah ini perlu dilalui untuk memahami hadits agar tidak terjebak dalam kekeliruan dan kesalahan.

Sedangkan Prof Quraish Shihab dalam buku Mukjizat Alquran menjelaskan bahasa atau redaksi dalam Alquran memiliki keistimewaan dan keindahan tersendiri. Sehingga dalam penafsirannya, seorang mufassir harus menguasai beragam disiplin ilmu yang tidak sedikit. Mulai dari pemahaman bahasa Arab yang baik, sejarah, hingga disiplin ilmu lain seperti fikih dan hadits.

Salah satu karakteristik dari ayat-ayat Alquran, kata Prof Quraish, adalah redaksi ayat Alquran yang kerap kali singkat namun padat makna. Tidak mudah menyusun kalimat singkat sarat makna karena pesan yang banyak—apabila seseorang tidak pandai memilih kata dan menyusunnya—memerlukan kata yang banyak pula.

Sedangkan Alquran memiliki keistimewaan bahwa kata dan kalimat-kalimatnya yang singkat dapat menampung sekian banyak makna. Ia bagaikan berlian yang memancarkan cahaya dari setiap sisinya. Jika seseorang memandang dari suatu sisi, sinar yang dipancarkannya berbeda dengan sinar yang memancar jika dipandang dari sisi yang lain.

Bahkan jika seseorang membiarkan orang lain memandang, boleh jadi menurt Prof Quraish apa yang dilihatnya dapat berbeda pula dengan apa yang telah dilihat. Itu sebabnya, betapa pun berbeda-beda sekian banyak kelompok, madzhab, dan aliran, tentu saja kesemuanya menjadikan ayat-ayat Alquran sebagai rujukan.

Kayanya makna dan pesan dari ayat Alquran dapat ditafsirkan dengan beragam pula. Misalnya dalam Surat Al-Baqarah ayat 212, Allah berfirman, “Wallau yarzuqu man yasyaa-u bighairi hisab,”. Ayat ini bisa berarti banyak hal.

 

  • Pertama, Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa ada yang berhak mempertanyakan kepada-Nya mengapa Dia memperluas rezeki kepada seseorang dan mempersempit yang lain.
  • Kedua, Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa Dia (Allah) memperhitungkan pemberian itu (karena Dia Mahakaya, sama dengan seorang yang tidak mempedulikan pengeluarannya).
  • Ketiga, Allah memberikan rezeki kepada seseorang tanpa yang diberi rezeki tersebut dapat menduga kehadiran rezeki itu.
  • Keempat, Allah memberikan rezeki kepada seseorang tanpa yang bersangkutan dihitung secara detail amal-amalnya.
  • Kelima, Allah memberikan rezeki kepada seseorang dengan jumlah rezeki yang amat banyak sehingga yang bersangkutan tidak mampu menghitungnya.

 
Berita Terpopuler