Muslimah Afsel Tuntut Negara Akui Pernikahan Agama (1)

Tidak diakuinya pernikahan Muslim berdampak pada hak perempuan.

EPA/MIKE NELSON
Muslimah Afsel Tuntut Negara Akui Pernikahan Agama (1)
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratusan wanita di Afrika Selatan (Afsel) menggugat pemerintah. Mereka menuntut agar negara mengakui pernikahan secara agama Islam.

Baca Juga

Mereka melayangkan gugatan setelah mengalami ketidakadilan negara yang enggan mengakui pernikahan agama mereka. Sebelumnya, pada 5 Agustus 2021, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan menyatakan definisi hukum tentang pernikahan mengecualikan pernikahan Muslim.

Afrika Selatan modern didirikan dengan warisan dari 100 tahun kolonialisme Euro-sentris-Kristen. Sejak itu pula pernikahan di bawah hukum syariah tidak diakui.

Namun, tidak diakuinya pernikahan Muslim itu memiliki implikasi yang luas bagi kaum perempuan dan anak-anak. Sementara itu, Muslim membentuk antara 1,3-tiga persen dari 60 juta penduduk Afrika Selatan sehingga menempatkan mereka di antara identitas minoritas terkuat di negara itu.

Namun, konstitusi Afsel yang dianggap salah satu yang paling liberal di dunia tidak menerima pernikahan yang dilakukan di bawah aturan agama syariah. Dalam sebuah wawancara dengan The New Arab, Direktur The Women Legal Center (WLC) Seehaam Samaai menegaskan hal itu.

"Ya. Pernikahan agama tidak diakui di Afrika Selatan. Secara umum, pernikahan agama, Muslim, Afrika, pernikahan Hindu semua berada di luar domain, meskipun negara menjamin kebebasan beragama," kata Seehaam, dilansir di The New Arab, Selasa (21/9).

Sejak 2014, Woman Legal Center, salah satu organisasi nirlaba hak-hak gender paling aktif di Afrika Selatan telah membawa presiden dan menteri kehakiman Afrika Selatan ke pengadilan atas nama ratusan wanita Muslim. Para wanita ini mendatangi kantornya setiap tahun untuk mencari pengakuan legal atas pernikahan Muslim di Afsel.

"Negara selama 27 tahun terakhir di berbagai forum yang berbeda, (sebenarnya) sejak 1994 (tahun kemerdekaan), (itu) telah menunjukkan mereka akan mengatur pernikahan Muslim secara luas. Sampai hari ini belum dilakukan," ungkap Seehaam.

Inti kekecewaan adalah sikap rasis Eurosentris yang melingkupi di mana Afrika Selatan dibangun. Pembicara TEDx yang juga kritikus anti-kolonial Yasin Kakande mengatakan kekuatan itu mengasosiasikan pernikahan Muslim dan tradisional Afrika dengan poligami.

Dalam hal operasional, Undang-Undang Perkawinan Afrika Selatan memiliki tiga undang-undang yang saat ini mengatur hubungan perkawinan. Hal itu di antaranya Undang-undang Perkawinan, Undang-Undang Pengakuan Pernikahan Adat, Undang-Undang Serikat Sipil.

Semua itu mengatur perkawinan/hubungan orang-orang. Secara sederhana ini berarti, seorang Muslim Afrika Selatan tidak dapat menikah secara syariah dan mendaftarkan pernikahan tersebut sesuai dengan persyaratan Undang-Undang Perkawinan.

"Undang-Undang Perkawinan (Afrika Selatan) tidak memperhitungkan pernikahan agama yang sangat menantang," kata Seehaam.

Bagi perempuan Muslim, hal itu berdampak sangat menyedihkan. Sebab Afrika Selatan secara global kerap disebut sebagai 'tujuan dari femisida (pembunuhan wanita/femicide), lantaran catatan mengerikan tentang kekerasan berbasis gender. Bersambung

 
Berita Terpopuler