AGH Muhammad Thahir Lapeo Sang Pembaru di Mandar (III-Habis)

AGH Muhammad Thahir merupakan seorang ulama besar di Sulawesi.

google.com
Santri tempo dulu tengah mengaji.
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, AGH Muhammad Thahir merupakan seorang ulama besar dalam sejarah syiar Islam di Sulawesi, khususnya Tanah Mandar. Imam Lapeo, begitu julukannya, menerapkan dakwah dengan tiga cara, yakni pernikahan, pendidikan, dan tasawuf. Hingga akhir usianya, ia tercatat pernah menikah sebanyak enam kali.

Baca Juga

Yang menjadi istri-istrinya ialah para putri sejumlah tokoh masyarakat daerah yang pernah dikunjunginya. Dengan ikatan perkawinan itu, Imam Lapeo pun terikat dengan komunitas Muslim lokal tempat masing-masing istrinya berasal. Anakanaknya pun tumbuh menjadi generasi yang turut mencerahkan tradisi keislaman setempat.

Setidaknya, ada empat istrinya yang merupakan keturunan tokoh, yaitu Rugayyah, Siti Halifah, Siti Hadijah, dan Siti Attariyah. Adapun dalam pernikahannya yang kelima, ia mempersunting seorang putri yang bernama Syarif Hidah. Namun, dari istrinya yang ini, Imam Lapeo tidak dikaruniai keturunan. Terakhir, Imam Lapeo menikah lagi dengan seorang putri keturunan Raja Mamuju, Siti Amirah.

Keduanya dikarunia empat orang anak. Selain menggunakan strategi pernikahan, Imam Lapeo juga melakukan penyebaran Islam lewat pendidikan. Hal ini dapat dilihat melalui kegiatannya. Di rumahnya, ia menggelar majelis ilmu. Banyak santri berdatangan tidak hanya dari Mandar, tetapi juga daerah-daerah sekitar.

 

 

Setelah muridnya terus bertambah, Imam Lapeo kemudian mendirikan sebuah pesantren. Lembaga pendidikan ini dinamainya al-Diniyah al- Islamiyah Ahlussunnah waljamaah. Dalam proses awal berdirinya, sang imam disokong beberapa orang guru. Santri yang berdatangan untuk belajar agama biasanya ditampung di rumah pribadinya.

Mereka tidak dipungut biaya sepeser pun. Namun, usaha pengembangan Islam yang dilakukan Imam Lapeo dalam pendidikan tidak hanya dilakukan di Lapeo. Dai alumnus Masjidil Haram ini juga melakukan safari dakwah dari kampung ke kampung di kawasan Madar. Bahkan, tidak jarang dirinya merambah pelbagai daerah di Sulawesi Barat.

Metode ketiga dalam syiar Islam yang dijalankannya ialah bertasawuf. Imam Lapeo merupakan seorang mursyid Tarekat Syadziliyah. Jalan salik ini pertama kali dipelajarinya saat ia sedang menuntut ilmu di Padang, Sumatra Barat. Minatnya terhadap tasawuf ala Syadziliyah tidak berkurang tatkala menuntut ilmu di Makkah al-Mukarramah.

Dalam setiap dakwahnya, Imam Lapeo selalu menganjurkan kepada jamaah untuk banyak-banyak beramal saleh. Di antara ibadah sunah yang dianjurkannya ialah shalat dan zikir kepada Allah SWT. Lakukan itu semua secara istikamah. Rata-rata, yang belajar tasawuf kepada Imam Lapeo sudah mengerti syariat Islam. Hanya saja, mereka merasa ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.

 

 

Dalam berceramah, Imam Lapeo selalu menggunakan tutur kata yang baik dan halus. Tidak pernah dirinya terkesan menggurui, apalagi sampai menyakiti perasaan orang. Karena itu, dakwahnya menarik perhatian masyarakat luas, termasuk mereka yang non-Muslim.

Setelah menyimak penuturan mubaligh tersebut, tidak sedikit warga yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan klenik ataupun syirik. Selanjutnya, mereka dibimbing untuk menjalankan Islam secara kaffah. 

Sebagai pembaharu Islam, dakwah Imam Lapeo juga tidak luput dari rintangan. Salah satu tantangan awal yang dihadapinya adalah kebiasaan golongan elite setempat. Mereka saat itu masih mencampuradukkan antara ajaran Islam dan kepercayaan animisme. Untuk menghadapi golongan tersebut, Imam Lapeo kemudian melakukan pendekatan terhadap penguasa, semisal Raja Balanipa To Milloli (Mandawari).

Dengan begitu, ia pun mendapatkan dukungan morel dari pemimpin masyarakat untuk memberantas kepercayaan sesat. Selain dihadapkan dengan tantangan tersebut, Imam Lapeo juga mendapat hambatan dari pihak penjajah, baik itu Belanda maupun Jepang.

 

 

Namun, semua upaya yang dilakukan para penjajah tidak dihiraukan olehnya. Kian keras ancaman yang disampaikan para kolonialis itu, Imam Lapeo justru bertambah gigih.

Perjalanan hidup Imam Lapeo sepenuhnya diabadikan untuk ilmu dan umat. Ia dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki banyak karamah. Setidaknya ada puluhan karamah yang ditulis oleh cucu Imam Lapeo sendiri, Syarifuddin Muhsin. 

Dalam keterangannya, lanjut Muhsin, Imam Lapeo diceritakan memiliki 74 karamah (kelebihan). Sebagian di antaranya, berbicara dengan orang mati, menangkap ikan di laut tanpa kail, memendekkan kayu, menghardik jenazah, serta mengatasi ilmu hitam. Imam Lapeo diperkirakan wafat pada 1952 dalam usia 114 tahun, tepatnya pada 27 Ramadhan 1362 Hijriyah.

 

Ia mengembuskan napas terakhirnya di Desa Lapeo, Kecamatan Campalagiang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Jenazahnya dimakamkan di halaman Masjid Nur al-Taubah, yang masyarakat Mandar sebut pula sebagai Masjid (Masigi) Lapeo.

 
Berita Terpopuler