Anggapan Sial di Bulan Safar, Benarkah Demikian?

Islam datang membatalkan kepercayaan Arab kesialan Safar

Republika
Islam datang membatalkan kepercayaan Arab kesialan Safar. Ilustrasi
Rep: Rossi Handayani Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Safar menjadi bulan kedua dalam penanggalan hijriah. Bulan ini berlangsung setelah Muharram, akan tetapi bulan safar bukan lah bulan sial yang diyakini oleh sebagian orang. 

Baca Juga

Dikutip dari laman Elbalad pada Rabu (8/9), dinamakan Safar karena kebiasaan orang-orang Arab zaman dahulu yang meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka, sehingga kosong untuk berperang atau mencari makan, atau sekadar bepergian dari rumah karena panasnya musim panas. Dinamakan safar karena, hembusan angin kencang pada bulan ini, hingga menimbulkan suara seperti peluit. 

Sementara menganggap sial (tasyaum) di bulan safar tidak dibenarkan. Hal ini karena tidak didasarkan pada kitab suci Alquran dan sunnah Nabi ﷺ. 

Anggapan ini ada pada masa jahiliyah. Pada bulan ini diperbolehkan untuk berperang, setelah tiga buladan n berturut tidak dianjurkan yakni Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram.

Ketika Islam datang, Nabi Muhammad melarang anggapan sial di bulan safar itu. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ "Tidak ada 'adwa (meyakini bahwa penyakit tersebar dengan sendirinya, bukan karena takdir Allah), dan tidak ada shafar (menjadikan bulan Safar sebagai bulan haram atau keramat) dan tidak pula hammah (reinkarnasi atau ruh seseorang yang sudah meninggal menitis pada hewan)." (HR Bukhari).

Lewat hadits ini, Rasulullah ﷺ ingin meniadakan anggapan sial yang diyakini pada masa jahiliyah berkaitan dengan keyakinan palsu yang dapat mempengaruhi hati dan melemahkan keyakinan pada Allah SWT.       

 
Berita Terpopuler