Putin: Situasi di Afghanistan adalah Bencana Kemanusiaan

Presiden Rusia menentang upaya AS untuk mendominasi dunia

Presiden Rusia Vladimir Putin pada Jumat (3/9) menyebut situasi di Afghanistan sebagai "bencana kemanusiaan".
Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Rusia Vladimir Putin pada Jumat (3/9) menyebut situasi di Afghanistan sebagai "bencana kemanusiaan".

Baca Juga

Berbicara pada sesi pleno Forum Ekonomi Timur di kota Vladivostok Rusia, Putin menyampaikan harapannya bahwa pengalaman di Afghanistan akan membuat Washington menahan diri dari upaya untuk "membudayakan" negara lain.

“Memang ini malapetaka, ini kebenarannya. Ini bukan kata-kata saya, ini kata-kata analis Amerika sendiri,” tutur dia.

"Jika Anda melihat jumlah orang yang terlantar di Afghanistan, yang bekerja untuk kolektif Barat, untuk Amerika Serikat dan sekutunya, maka ini adalah bencana kemanusiaan," imbuh dia.

Putin mengatakan negara-negara Barat selalu berusaha memaksakan cara hidup mereka pada orang lain, pertama, melalui "menyebarkan agama Kristen," mengirim misionaris ke daerah-daerah terpencil, sekarang dengan "memaksa negara-negara menganut demokrasi."

"Demokrasi, jika ada yang membutuhkan, maka rakyat akan datang sendiri. Tidak perlu dengan cara kekerasan," ujar dia.

Dia juga menentang upaya AS untuk mendominasi dunia, dan mengatakan peran ini disediakan untuk PBB dan Dewan Keamanannya, dan struktur ini harus bertanggung jawab atas tatanan dunia.

Terkait pengakuan Taliban, Putin mengatakan semua perlu melihat apa yang ada di balik niat baik mereka. Tetapi dia percaya bahwa semakin cepat Taliban "memasuki keluarga negara-negara beradab", semakin mudah untuk menghubungi, berkomunikasi dengan gerakan tersebut, untuk mempengaruhi dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.

 

Putin sebut tak adanya perjanjian damai Rusia-Jepang 'omong kosong'

Sementara itu, Putin menyayangkan Rusia dan Jepang belum bisa membuat perjanjian damai sejak akhir Perang Dunia II, dan dia menyebut keadaan tersebut "omong kosong."

"Kami menganggap tidak adanya perjanjian semacam itu dalam hubungan kami adalah omong kosong. Terlebih lagi, baik Rusia maupun Jepang tertarik pada normalisasi penuh hubungan kami. Saya mengacu pada kepentingan strategis bersama kami dalam mengembangkan kerja sama," tutur dia.

Otoritas Rusia dan Jepang telah berulang kali setuju untuk bekerja sama di wilayah Kepulauan Kuril yang disengketakan, tetapi pihak Jepang telah mengubah posisinya berkali-kali, kata Putin.

Pada saat yang sama, Rusia mempertahankan keprihatinannya atas kemungkinan penyebaran infrastruktur AS di pulau-pulau itu jika terjadi transisi mereka di bawah kedaulatan Jepang, lanjut dia.

"Pertanyaan-pertanyaan ini sudah diajukan ke pihak Jepang, kami belum mendapat jawaban. Karena itu, saya yakin dalam pengertian ini, bola ada di pihak mitra kami itu," sebut dia.

Rusia dan Jepang belum menyelesaikan sengketa teritorial atas pulau-pulau itu sejak Perang Dunia II. Pada Konferensi Yalta 1945, Uni Soviet setuju untuk memulai operasi militer di front timur berdasarkan perjanjian dengan sekutu baratnya, dan sebagai gantinya, menerima beberapa wilayah Jepang, termasuk Kepulauan Kuril. Namun, setelah perang, Jepang menolak kedaulatan Uni Soviet atas pulau-pulau tersebut.

Karena perselisihan tersebut, Rusia dan Jepang tidak pernah menandatangani perjanjian damai dan secara teknis masih berperang. Karena kedua pihak mengklaim wilayah tersebut, pertanyaan tentang kedaulatan Kuril tetap tidak pasti. Tokyo secara berkelanjutan memprotes kunjungan pejabat Rusia ke pulau-pulau itu.

Otoritas Rusia mengkhawatirkan kemungkinan penyebaran sistem rudal AS di pulau-pulau itu jika mereka dikembalikan ke Jepang, yang artinya menciptakan ancaman militer langsung bagi Rusia.

 
Berita Terpopuler