Menjaga Nasib 16 Ribu Anak Yatim/Piatu akibat Covid-19

Mekanisme bantuan anak terdampak Covid disiapkan untuk tahun anggaran 2022.

AP/Tatan Syuflana
Anggota keluarga berduka saat pemakaman di bagian khusus Pemakaman Umum Jombang yang disediakan untuk mereka yang meninggal karena COVID-19, di Tangerang. Virus corona jenis baru telah berdampak serius ke belasan ribu anak Indonesia yang kehilangan orang tua atau pengasuh utamanya. Pemerintah sedang menggodok skema bantuan bagi anak-anak yang kehilangan pengasuh utamanya akibat Covid-19.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Amri Amrullah, Inas Widyanuratikah

Pandemi Covid-19 diperkirakan telah menyebabkan 16 ribu anak Indonesia menjadi yatim piatu. Jumlah anak yang kehilangan orang tua atau pengasuh utamanya akibat Covid-19 juga bisa terus bertambah seiring dengan masih tingginya angka kematian dari virus corona.

Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kemensos Kanya Eka Santi mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kemensos diberi amanat konstitusi untuk memelihara dan melindungi anak yatim. "Kemensos sendiri memperkirakan setidaknya 15 ribu hingga 16 ribu anak yatim/piatu atau keduanya akibat Covid-19. Sekarang pendataan masih berjalan, dan beberapa daerah terus melaporkan penambahan," kata Santi, kepada wartawan, Kamis (19/8).

Ia mengambil contoh, misalnya dari Jawa Timur. Data terakhir per Rabu (18/9), dilaporkan terdapat 927 anak yatim/piatu akibat Covid-19. Kemudian di Yogyakarta terdapat 526 anak, Jateng sekitar 200-an anak, Jabar sekitar 500-an. Data tersebut belum menyeluruh sebab masih dalam proses pendataan.

"Kita hitung angka yang meninggal dari usia produktif 31-45 tahun, angka meninggalnya mencapai sekitar 15 persen. Apabila 15 persen dikalikan jumlah yg meninggal saat kemarin 108 ribu kematian, itu ada 16 ribuan," imbuhnya.

Angka tersebut dilihat dari jumlah kematian usia produktif yang lalu diasumsikan memiliki paling tidak satu anak. "Dan angka kematian ini kan terus bertambah setiap harinya. Jadi itu per hari ini, (Kamis 19/8)," ujarnya.

Kemensos saat ini sedang menyiapkan mekanisme bantuan terhadap anak yatim/piatu akibat Covid-19, khusus untuk tahun anggaran 2022. Pada anggaran 2021, program bantuan anak yatim/piatu akibat Covid-19 masih menjadi bagian dari program bantuan reguler melalui asistensi rehabilitasi sosial yang memang telah rutin berjalan.

Sesuai instruksi Mensos, sekarang di kala pandemi, balai sosial juga harus multi fungsi, bukan hanya menangani gelandangan, tapi juga harus berfungsi sosial lebih luas, seperti merawat lansia, anak yatim dan orang miskin lainnya. Maka apabila anak yatim yang ditinggal meninggal orang tuanya akibat Covid-19, maka petugas sosial harus melakukan penelusuran.

Santi memaparkan bantuan untuk anak yatim/piatu akibat Covid-19 untuk sekarang sebenarnya sudah berjalan. Mekanismenya pihak keluarga atau warga yang di wilayahnya terdapat anak dari keluarga yatim/piatu akibat Covid-19 bisa melaporkan ke Dinsos setempat atau UPT Balai Sosial/Panti Sosial yang ada.

Kemudian, lanjut dia, tim dari Dinsos atau petugas sosial akan turun ke lapangan melakukan asesment terhadap keluarga dekat dan anak tersebut. Asesment ini perlu dilakulan untuk melihat kondisi dan sejauh mana kebutuhan yang diperlukan oleh anak. Karena ia menegaskan, selama masih ada keluarga dekat, maka anak tidak boleh dipisahkan dari keluarga dekat.

"Yang penting kalau masih keluarga dekat dan mampu merawat jangan dipisahkan dari keluarga dekatnya," ujar Santi.

Kemudian pengayaan juga dilihat kemampuan keluarga dekat. Apabila dirasa mampu maka bantuan akan diberikan untuk meringankan beban keluarga dekat. Apabila tidak mampu maka ada opsi lain, apakah dirawat di Balai Sosial/Panti atau menggunakan Orang Tua Asuh.

Jadi intinya, papar dia, sekarang pun program bantuan untuk anak yatim/piatu sudah berjalan. Karena program asistensi rehabilitasi sosial memang sudah mencantumkan penanganan khusus anak yatim. Dan macam bantuan beragam dan besaran beragam pula, sesuai hasil asesmen.

"Rata-rata bantuan anak yatim akibat Covid-19 pada 2021 sebesar Rp 2,4 juta, itu juga sesuai dengan kebutuhan. Ada yang cukup hanya dibantu harian karena ada kesanggupan keluarga dekat merawatnya, hingga ada yang harus dirawat di balai/panti atau hingga sedang dirawat di RS akibat Covid-19," paparnya.

Sedangkan untuk bantuan anak yatim 2022, Santi memastikan saat ini pihaknya masih menggodok bagaimana mekanisme bantuan yang akan diberikan. Perlunya penambahan bantuan ini, menurut dia, sebagai upaya penguatan bantuan sosial.

Alasan kenapa bantuan anak yatim akibat Covid-19 perlu diperkuat pada 2022, menurut dia, karena kematian orang tua akibat covid ini berlangsung cukup cepat. Sehingga memunculkan trauma dan mengguncang psikologis banyak anak anak.

Misalnya belum sepekan orang tuanya sakit dan masuk RS karena ganasnya varian delta, sang orang tua kemudian meninggal dunia. Akibatnya, psikologis anak terguncang. "Kematiannya mendadak, sedangkan keluarga dan anak belum siap dengan keadaan. Apalagi ketika meninggal karena covid, jenazah harus ditangani sesuai prokes, tidak boleh dilihat keluarga," tegasnya.

Karena itulah ia beralasan, pemerintah dalam hal ini Kemensos terus berupaya mencarikan jalan terbaik bagi pemberian bantuan sosial akibat pandemi Covid-19 ini. Tidak terkecuali, di dalamnya adalah anak-anak yatim/piatu akibat Covid-19.

Mensos Tri Rismaharini menyatakan, negara perlu mengalokasikan anggaran untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang mengalami keterpisahan dengan orang tuanya, termasuk anak yatim. Risma menyatakan tengah membicarakan kemungkinan adanya alokasi anggaran untuk keperluan itu dengan Kementerian Keuangan.

Baca Juga

Risma mengaku sudah berbicara dengan Menkeu agar bisa didukung dari anggaran. Pemerintah pun sedang mematangkan skema bantuan tersebut dengan Kementerian Keuangan dan Bappenas.

Karena memang tidak mudah memutuskan skema bantuan yang tepat disebabkan kondisi yang sangat beragam. "Sekarang ini sedang dimatangkan. Tidak mudah (menyusun skema bantuan) memang, karena Indonesia ini luas dan karakteristik daerahnya macam-macam," ujar Risma.  



Sedangkan menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), terdapat 3.367 anak dari 13 provinsi yang kehilangan pengasuhnya selama pandemi. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KPPPA, Nahar, menjelaskan data tersebut masih berproses karena belum semua provinsi yang dicatat.

Kemungkinan angka tersebut akan bertambah ketika seluruh provinsi sudah masuk hitungan. "Ini gambaran yang bisa diperoleh per hari ini. Ini belum semuanya. Karena ini kan baru 13 provinsi. Terbanyak dari Jawa Tengah, Jawa Timur, kemudian Yogyakata dan Kalimantan Selatan," kata Nahar, dihubungi Republika, Kamis (19/8).

Ia menjelaskan, data ini digambarkan dengan anak yang kehilangan ibu saja atau ayah saja, tinggal dengan kakek nenek dan kerabat lainnya. Saat ini kementerian dan lembaga masih terus mengumpulkan data untuk bisa menentukan kebijakan ke depan.

Data ini, kata Nahar menjadi penting berkaitan dengan bantuan yang akan diberikan. "Karena pemerintah sudah menegaskan sedang menyiapkan pola bantuan yang bisa diberikan, tapi di tahun 2022," kata Nahar menambahkan.

Fokus KPPPA yakni memastikan anak-anak yang saat ini kehilangan pengasuhnya dapat ditangani dengan baik. "Dengan membuat kebijakan, misalkan dari 2020 pandemi muncul kan kami bersama kementerian/lembaga dan satgas merancang protokol pengasuhan anak yang orang tuanya meninggal karena Covid-19. Itu per tanggal 30 April 2020," ujar Nahar.

Saat ini merupakan situasi darurat, sehingga perlindungan anak harus terus digencarkan. Anak saat ini juga berada dalam situasi darurat, karena sudah terkait dengan persoalan keselamatan dan keamanan terhadap diri dan anak itu.

Dalam perkembangannya, anak harus dipenuhi kebutuhan dasar, pengawasan, dan pengasuhannya. "Upaya ini harus dilaksanakan secara bersamaan. Oleh karena itu, maka terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar, bagaimana memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan lainnya, kalau kita tidak tahu anaknya ada dimana dan kondisinya seperti apa," kata dia lagi.

Kepala Divisi Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi KPAI Jasra Putra mengatakan, pendataan anak kehilangan anak orang tua perlu melibatkan tokoh lintas agama dan kepercayaan. Jasra mengatakan para tokoh lintas agama adalah garda terdepan dalam menjangkau anak yatim piatu akibat pandemi.

"Meski data belum bisa mengungkap fakta kondisi anak, namun yang sebenarnya anak-anak kehilangan aktor atau figur pengasuhan telah dijangkau para tokoh lintas agama dan kepercayaan baik di pusat maupun daerah," kata Jasra, dalam keterangannya.

Saat ini, data-data anak terlantar yang masuk ke pemerintah bersumber dari informasi data dari kementerian-kementerian. Jasra mendorong agar besarnya data anak-anak terlantar dan anak kehilangan orang tua untuk segera direspons.

Biasanya, melalui rumah ibadah atau amal usaha berbasis umat-umatnya anak-anak ini akan dijangkau. Jasra mengatakan, masalah-masalah di masyarakat seringkali direspons melalui persatuan umat di rumah ibadahnya.

Kerjasama dengan tokoh lintas agama dan kepercayaan, menurut Jasra bekerja sangat baik. "Hal ini biasa diatasi dengan rutinnya para tokoh lintas agama dan kepercayaan, dalam pelaksanaan-pelaksanaan ibadah. Sekaligus mereka mendata lagi umatnya," kata dia lagi.

Ia menegaskan, kerja sama pendataan akan sangat strategis bila melibatkan organisasi masyarakat keagamaan yang ada di Indonesia. Saat ini, menjadi tanggung jawab bersama untuk menjemput bola anak-anak terlantar agar tidak menjadi ledakan masalah sosial di mana-mana.

Saat anak terpaksa ikut keluar rumah, pastikan mereka juga menerapkan protokol kesehatan. - (Republika)



 
Berita Terpopuler