Jalan Terjal Pendidikan Karakter Founding Father

Para founding father ikhlas mengabdikan diri tanpa pamrih untuk Indonesia merdeka.

Antara/Zabur Karuru
HOS Tjokroaminoto Rumah HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No 29, Surabaya, Jawa Timur. Rumah yang kini menjadi museum itu menjadi saksi bagaimana Tjokroaminoto menempa murid-muridnya menjadi para pelaku sejarah hingga pemimpin bangsa lewat pendidikan karakter.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Di tepi Sungai Kalimas, Surabaya, Jawa Timur, di dalam jalan kecil bernama Gang Paneleh VII, Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto bermukim. Di rumahnya bernomor 29-31, ia membuka "pemondokan" di mana sejumlah anak-anak kos sembari menimba ilmu perjuangan. Sejumlah pemuda mengabdikan diri sebagai santri di pondok tersebut, seperti Soekarno, Semaoen, dan Maridjan Kartosoewirjo. Ketiganya sebelum memilih jalan hidup berbeda adalah sahabat satu pondok yang mendapatkan pendidikan karakter dari guru yang sama, Tjokroaminoto, sang pemimpin abadi Sarekat Islam (SI).

Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia, Semaoen, Alimin, dan Musso menjadi tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), sedangkan Kartosoewirjo membentuk Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga akhirnya wafat dalam hukuman mati. Tak hanya itu, rumah Tjokroaminoto juga menjadi tempat sejumlah ulama bertukar pikiran, seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur. Di rumah itu pula Soekarno mengagumi KH Ahmad Dahlan.

Rumah HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No 29, Surabaya, Jawa Timur. Rumah itu kini menjadi museum dan menyimpan sejumlah koleksi yang berhubungan dengan perjalanan sejarah Indonesia, khususnya para pahlawan yang pernah bersentuhan dengan rumah tersebut. - (Antara/Zabur Karuru)



Pria yang oleh Belanda dijuluki De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota" itu memang menyihir para muridnya lewat buah pikirnya. Ia menjadi salah satu pelopor pergerakan di Indonesia sekaligus guru besar para pemimpin bangsa. Tak heran berangkat dari pemikiran-pemikirannya tersebut, lahir berbagai ideologi bangsa Indonesia pada saat itu.

"Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator," ucapan Tjokroaminoto inilah yang membuat salah satu murid kesayangannya, Soekarno terbius hingga saban malam di kamar kosnya, ia berteriak-teriak mempraktikkan ilmu retorikanya sambil berpidato.

Tjokroaminoto memang bukan hanya mengajar, tetapi menjadi inspirasi dan panutan bagi murid-muridnya. "Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat, menunjukkan integrasi komprehensif antara ilmu akademis, aplikatif, beretika dan bermoral," kata Tjokroaminoto suatu waktu. Bisa dibayangkan, Tjokroaminoto menyiapkan model pendidikan agar murid-muridnya memiliki karakter. Soekarno adalah salah satu yang banyak menyerap pendidikan karakter yang diajarkan Tjokroaminoto.

Foto Presiden pertama RI, Ir Soekarno di Museum HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No 29, Surabaya, Jawa Timur. - (Antara/Zabur Karuru)



Nama Soekarno masih harum hingga saat ini. Karakter kuatnya sebagai seorang pemimpin bangsa menjadi inspirasi banyak orang. Termasuk Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makariem yang mengaku sosok Bung Karno sebagai penggali Pancasila adalah inspirasinya.

Sejumlah kebijakan yang diambil Nadiem, seperti "Merdeka Belajar" ternyata terinspirasi dari Bung Karno dan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara. Merdeka Belajar adalah filsafat para pendiri bangsa yaitu kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan atas jajahan mental.

"Makanya kita menyebut tujuan dari transformasi pendidikan kita adalah profil pelajar Pancasila," kata Nadiem saat menjadi pengulas dalam acara "Sarasehan Nasional Indonesia Muda Membaca: Bung Karno" yang digelar Megawati Institute, secara virtual, Selasa (10/8). Profil pelajar pancasila yang ditetapkan Nadiem antara lain beriman bertaqwa kepada Tuhan YME, kebhinekaan global, mandiri, kreatif, nalar kritis dan gotong royong.

Cerita-cerita dari kakeknya tentang sosok Bung Karno seperti perannya dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 sampai Proklamasi Kemerdekaan, mendarah daging dan melekat di ingatan Nadiem. "Itu juga yang menjadi landasan dari berbagai macam keputusan saya di dalam hidup ini," ujar Nadiem.

Ada satu pemikiran Bung Karno yang membuat Nadiem kepincut, yakni filsafat marhaenisme, mengenai rakyat kecil, dan potensi rakyat kecil pada saat kita memerdekakan mereka. Di generasi Nadiem, alat instrumen kemerdekaan itu berbeda, bukan revolusi bukan melalui merdeka secara fisik, tetapi kemerdekaan dari ekonomi, kemerdekaan dari keterbatasan.

Lalu Nadiem menceritakan pengalamannya sebelum mendirikan Gojek, ia lebih dulu menggali informasi dari para pengemudi ojek. Tak jarang Nadiem nongkrong di pangkalan ojek hanya untuk berbincang dengan para pengemudinya.

"Baru dengan diskusi itulah saya menemukan dekat dengan rakyat, baru kita menyadari potensi rakyat itu seperti apa," kata mantan pemilik Gojek ini.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Asvi Warman Adam dalam kesempatan terpisah berkata peran serta founding father Soekarno-Hatta dalam sejarah bangsa Indonesia. Fakta tentang kepemimpinan Dwitunggal masa awal Republik Indonesia berdiri, Soekarno-Hatta selalu bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan hingga keduanya memimpin bangsa ini.

Tidak ada proklamasi kemerdekaan tanpa Bung Karno. Tidak ada proklamasi kemerdekaan tanpa Bung Hatta. "Tidak ada proklamasi kemerdekaan tanpa Bung Karno dan Bung Hatta," kata Prof Asvi.

Semangat perjuangan Bung Karno dikisahkan salah satu putrinya yang juga Presiden Kelima RI, Megawati Soekarno Putri. Megawati yang lahir tahun 1947 mengalami sedikit masa perjuangan kemerdekaan RI, sehingga ia menanamkan dalam diri pentingnya semangat juang.

"Saya mengatakan bahwa salah satu yang penting buat anak muda, jangan lupa jadi diri kalian," kata Megawati "Sarasehan Nasional Indonesia Muda Membaca: Bung Karno" yang digelar Megawati Institute, secara virtual, Selasa (10/8).

Jadi di mata Megawati, sangat mudah para pemuda menemukan jati dirinya. "Jangan lupa sejarah bangsa," kata Megawati. Dalam usianya yang ke-74 tahun pun, Megawati tetap memegang teguh fighting spirit. Tak heran Megawati mengajak milenial menggandeng rakyat-rakyat kecil agar bisa mandiri.

Penghargaan besar memang seharusnya diberikan pemerintah kepada para pejuang dan founding father Indonesia yang secara ikhlas mengabdikan diri dan tanpa pamrih berjuang untuk Indonesia merdeka. Perjuangan para founding father juga bisa menjadi contoh teladan bagi generasi muda tentang bagaimana perjuangan mereka bukan hanya menggunakan pikiran dan tenaga, tetapi juga dengan pengorbanan nyawa.

Pendidikan karakter yang bisa ditiru founding father adalah sikap pantang menyerah, ulet, disiplin, berjuang sampai bangsa ini merdeka. "Satu tujuannya adalah bagaimana para pejuang memerdekakan bangsa ini dari belenggu penjajahan," kata Pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Prof Cecep Darmawan saat berbincang dengan Republika.co.id via sambungan WhatsApp.

Anak muda dikatakan Prof Cecep juga bisa belajar dari pemilihan kalimat yang sangat bagus dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, 'Berkat rahmat Allah dan keinginan yang luhur'. Berkat rahmat Allah menurut Prof Cecep adalah mencerminkan tekad keimanan yang kuat dari para pejuang. "Sementara keinginan yang luhur mencerminkan semua berjuang dengan keikhlasan tanpa pamrih," ucap dia.

Pendidikan Karakter di Generasi Muda
Masa depan bangsa Indonesia memang berada di pundak para pemuda. Generasi muda pun diharapkan senantiasa mengisi kemerdekaan dengan berkiprah membangun negeri sesuai keahlian di bidang masing-masing, agar Indonesia bisa cepat menjadi negara maju. Pendidikan pun menjadi salah satu jalan agar para penerus memiliki modal kuat membangun bangsa.

Dalam membangun negara, pendidikan memang menjadi sangat penting, seperti pendapat Nurhayati Subakat, pendiri sekaligus Komisaris Utama PT Paragon Technology and Innovation. "Negara yang masyarakatnya lebih terdidik akan lebih maju", kata Nurhayati saat menjadi pembicara pada Fellowship Jurnalisme Pendidikan Batch 2 yang digelar Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) bekerja sama dengan PT Paragon Technology and Innovation, Selasa (10/8)

Meski pendidikan menurut dia tidak harus ditempuh secara formal, masyarakat bisa belajar lewat online. "Belajar tidak harus di sekolah, bisa di mana saja. Apalagi saat ini sedang pandemi," kata Nurhayati.

Nurhayati berpesan agar kita selalu merasa kurang dan wajib belajar terus menerus dari mana saja dan kepada siapa saja. Pola pikir kita akan terus belajar. "Semangat itu yang harus kita miliki," kata dia.

Harapan kepada generasi muda juga disampaikan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi yang meminta semua yang sudah disumbangkan para pemuda melalui Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dapat dikembangkan.

"Jika hal tersebut berhasil dilakukan para pemuda, Indonesia tidak hanya menjadi negara maju, tetapi juga menjadi teladan di dunia terutama soal kebhinekaan," ujar Yudian.

Ada banyak kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengisi kemerdekaan, salah satunya dengan menjalankan kewajiban dan memanfaatkan hak sebagai warga negara. Di sinilah menurut Yudian peran pelajar dan mahasiswa dibutuhkan untuk mengisi kemerdekaan. Beberapa di antaranya dengan memfungsikan serta memanfaatkan hak sebagai warga negara. "Dengan menyumbangkan yang terbaik yang kalian miliki masing-masing," kata dia.



Para generasi muda saat ini pun bisa belajar dari para ulama yang memiliki ghirah  semangat mencerdaskan kehidupan bangsa dalam perjuangan kemerdekaan. Prof Cecep menceritakan peranan pesantren dan sekolah dalam mendidik anak bangsa guna mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul di masa depan.

"Saat ini yang penting bagaimana semua pihak membantu lembaga-lembaga pendidikan yang menciptakan manusia yang berkarakter selain memiliki kecerdasan," kata Prof Cecep.

Pendidikan karakter yang ditanamkan para ulama di era pra kemerdekaan juga tidak bisa dianggap remeh. Para ulama memperoleh spirit perjuangan dari agama, sehingga mereka berjuang berkat panggilan ruhaniah. Karena itulah bagi Prof Cecep pemerintah tidak boleh memisahkan agama dengan negara karena para ulama dan founding father sudah mencontohkan sulitnya menuntut ilmu sembari berjuang.

"Bangsa ini harus menghormati marwah ulama. Ulama dengan umaro harus menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan," kata Prof Cecep.

Selain Bung Karno, founding father yang bisa menjadi teladan adalah Mohammad Hatta. Generasi muda Indonesia disebut Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI, Muhammad Syarif Bando bisa menjadikan Bung Hatta sebagai panutan dalam hal nasionalisme.

Dari perjalanan hidup Bung Hatta tergambarkan para pemimpin bangsa sebelum meraih kemerdekaan tidak sibuk mengumpulkan harta dan persenjataan. Namun mereka sibuk membaca buku yang terbit di dalam maupun luar negeri.

"Semua orang harus tahu betapa tulus hati para pejuang-pejuang kita terdahulu," ujar Syarif dalam talkshow Internalisasi Pemikiran Bung Hatta yang mengangkat tema "Dengan Literasi Membangun Negeri", Kamis (12/8).

Di era sebelum dan setelah kemerdekaan, para pejuang harus menghadapi banyak tantangan, baik fisik, mental, bahkan jiwa untuk meraih kemerdekaan. Namun tantangan bangsa ini sekarang berubah. Persaingan global dalam menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas harus dipenuhi dan menjadi parameter dari capaian tertinggi tingkatan literasi.

Syarif tidak bisa menafikkan banyak capaian selama 76 tahun kemerdekaan, tetapi tantangan kita adalah menanamkan rasa nasionalisme, perjuangan terhadap generasi milenial, yang tidak pernah menghadapi tantangan fisik. "Mereka menghadapi tantangan global, sejatinya pertarungan global saat ini adalah tingkat kemampuan indeks literasi," ujarnya.

Atau para pemuda bisa belajar dari kisah perjalanan hidup Soedirman yang ditempa lewat kepanduan Hizbul Wathan Muhammadiyah hingga membuatnya memiliki jiwa dan karakter seorang pemimpin sampai menduduki jabatan jenderal besar. Kepanduan yang dibentuk karena Kiai Ahmad Dahlan melihat anak-anak JPO (Javansche Padvinders Organisatie), dengan pakaian seragam, latihan baris berbaris di halaman Mangkunegaran, Surakarta pada 1916. Pulang ke Yogyakarta, Kiai Dahlan pun membentuk Hizbul Wathan sebagai salah satu organisasi otonom di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah.

Militansi Soedirman muda sudah ditempa di Hizbul Wathan sehingga tertanam nilai-nilai cinta Tanah Air. Lewat Hizbul Wathan pula di dalam diri Soedirman yang juga seorang guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap itu terpatri jiwa kepemimpinan, kepahlawanan dan semangat mengorbankan diri untuk membela kemerdekaan bangsa dan negara. Maka tak aneh rasanya jika Jenderal Soedirman tetap memimpin perang keluar masuk hutan meski ditandu karena bernafas dengan satu paru-paru.

Dalam Almanak Muhammadiyah (1924:50) Hizbul Wathan memiliki simbol seperti, setia kepada ulil amri; sungguh berhajat akan menjadi orang utama, tahu akan sopan santun dan tidak akan membesarkan diri; boleh dipercaya; bermuka manis; hemat dan cermat; penyayang; suka pada sekalian kerukunan; tangkas, pemberani, tahan, serta terpercaya; kuat pikiran menerjang segata kebenaran; ringan menolong dan rajin akan kewajiban; menetapi akan undang-undang Hizbul Wathan. Simbol-simbol itulah yang membuat para kader Hizbul Wathan, termasuk Soedirman memiliki karakter seorang pemimpin.

Dengan pendidikan karakter yang didapatkan founding father hingga mengantarkan Indonesia merdeka, para pemuda diharapkan tidak malas mengejar ilmu. Seperti nasihat Ki Hajar Dewantara, "Lawan sastra ngesti mulya (dengan ilmu kita menuju kemuliaan)."

 
Berita Terpopuler