Mantan Politisi UE Serukan Tindakan Segera Jammu dan Kashmir

Mantan anggota Parlemen Eropa mengkritik India atas pelanggaran hak asasi manusia

Beberapa mantan politisi Uni Eropa (UE), bersama pakar hak asasi manusia, menyatakan solidaritas dengan rakyat Kashmir.
Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Beberapa mantan politisi Uni Eropa (UE), bersama pakar hak asasi manusia, menyatakan solidaritas dengan rakyat Kashmir. Mereka mendesak dunia mengambil tindakan segera untuk mengatasi situasi HAM yang mengkhawatirkan di wilayah mayoritas Muslim di India.

Baca Juga

Berbicara pada konferensi virtual pada Selasa malam (3/8), yang diselenggarakan oleh lembaga think tank Islamabad Institute of Conflict Resolution (IICR), bekerja sama dengan LSM World Kashmir Freedom Movement, para pembicara mengkritik penggunaan kekerasan terhadap warga sipil di Kashmir yang dikelola oleh India.

Pada 5 Agustus 2019, pemerintah India mencabut status otonomi Jammu dan Kashmir dan membaginya menjadi dua wilayah yang diperintah secara terpusat. Mendukung perlawanan rakyat Kashmir, Julia Ward, mantan anggota Parlemen Eropa, mencatat bahwa ketika pemerintah mengambil hak-hak rakyat, mereka memiliki hak untuk melawan.

"Saya akan menentang orang-orang yang mengambil hak saya," ujar dia.

Mengkritik Perdana Menteri India Narendra Modi, Ward menambahkan bahwa dia bertanggung jawab atas situasi saat ini di Kashmir dan bagian lain di India.

"Saya tidak memiliki pertengkaran dengan orang-orang India, dan sangat penting setelah diskusi ini kami benar-benar jelas tentang siapa yang bertanggung jawab atas ini dan siapa yang melakukan ini, dan (itu) adalah pemerintah India khususnya Narendra Modi dan partai BJP," tutur dia.

Sejarawan dan penulis terkemuka Inggris Victoria Schofield mengatakan, "Kita tidak boleh menyerah soal Kashmir meskipun tragedi Kashmir telah berlalu dari generasi ke generasi."

"Sangat penting untuk melupakan permainan menyalahkan dan mencapai resolusi yang manusiawi," kata Schofield.

Dia juga menyoroti bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah India harus dikritik daripada menampilkan negara India sebagai pasar ekonomi yang besar.

 

Danielle Khan, dekan John Hopkins School of Advanced International Studies di AS, juga mengecam New Delhi atas penahanan warga Kashmir setelah Agustus 2019 dan mendesak AS untuk menekan dan memaksa India untuk merundingkan masalah Kashmir di atas meja.

"Pasukan India terlibat dalam pelanggaran HAM yang parah di Kashmir dan itu akan terus terjadi jika resolusi konflik tidak tercapai," kata Khan.

Phil Benion, mantan anggota Parlemen Uni Eropa dan wakil ketua Komite Hak Asasi Manusia Liberal, dalam pesan videonya juga menyampaikan solidaritas dengan warga Kashmir dan mengatakan "masyarakat internasional tidak cukup menekan India" untuk menahan diri dari mengambil tindakan ilegal dan melakukan pelanggaran HAM di Kashmir.

Dia mendesak masyarakat internasional, AS, dan Inggris untuk menekan India agar menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di Kashmir.

Sabah Aslam, kepala eksekutif IICR, dan Fahim Kayani, kepala Tehreek-e-Kashmir di Inggris juga berbicara dalam konferensi tersebut.

"Orang-orang di wilayah ini (Jammu dan Kashmir) telah menghadapi tujuh dekade pelanggaran HAM yang ekstrem, berbagai kejahatan yang merupakan tindakan genosida, dan keterlibatan India sendiri dalam kegiatan teroris yang menargetkan wilayah ini," kata Lee Rhiannon, mantan senator Australia.

“Saya ingin memberikan penghormatan kepada warga Kashmir, jurnalis, dan aktivis lokal yang selama dua tahun terakhir telah meningkatkan protes mereka, dan perlawanan mereka. Sayangnya, banyak yang telah meninggal. Jadi, banyak yang menderita dan saya yakin kita memiliki tanggung jawab untuk melakukannya dan berdiri di depan umum dengan orang-orang Kashmir," tambah dia.

Kashmir yang berpenduduk mayoritas Muslim telah menjadi tempat perebutan utama dalam persaingan yang telah lama memanas antara Pakistan dan India sejak kedua tetangga bersenjata nuklir itu memperoleh kemerdekaan dari Kerajaan Inggris pada 1947.

Lembah Himalaya yang indah dipegang oleh kedua negara di sebagian dan diklaim oleh keduanya secara penuh.

Sejak 1947, kedua tetangga telah berperang tiga kali, dua di antaranya memperebutkan Kashmir. Beberapa kelompok Kashmir di Jammu dan Kashmir telah berperang melawan pemerintahan India untuk kemerdekaan atau bersatu dengan negara tetangga Pakistan.

Menurut beberapa organisasi HAM, ribuan orang telah terbunuh dan disiksa dalam konflik di wilayah tersebut sejak 1989. Ketegangan yang sudah meningkat antara kedua negara mencapai titik terendah setelah India mencabut status semi-otonom wilayah itu pada Agustus 2019, mendorong Islamabad untuk menurunkan hubungan diplomatik dengan New Delhi dan menangguhkan perdagangan bilateral.

 

 
Berita Terpopuler